Empat

521 118 9
                                    

Macet. Itulah Jakarta jika di waktu pulang kerja. Jalan padat dengan mobil dan kendaraan bermotor, suara klakson saling bersahutan membuat kepala Siera tambah pusing. Wanita itu menghembuskan napasnya kuat-kuat. Kekesalan menumpuk dalam hatinya.

Makin malas pulang saja kalau situasi macet kayak gini. Entah kapan kemacetan akan terurai. Pulang ke rumah, di sampingnya ada rumah tetangga baru yang pernah menjadi mantan suami satu malamnya, bikin Siera tambah muak.

Kembali tergingat dengan kejadian tadi siang. Sepulang bertemu dengan klien, Siera wajahnya bahagia. Proyek pemerintah yang dijalaninya berjalan dengan lancar. Tetapi senyum di wajahnya mendadak luntur, demi melihat di kantor ada penampakan yang bikin moodnya rusak.

"Ra, kenalkan ini Pak Hanan. Beliau menginginkan rumahnya di renovasi dan ingin menggunakan jasa arsitek di sini. Beliau menginginkan design rumahnya menggunakan jasa kamu." Penjelasan Mas Raka membuat Siera membulatkan matanya. Tanpa sadar tangannya terkepal, darahnya mendidih ingin menghajar objek yang hari ini bikin perasaannya kacau balau.

Siera masih diam. Otaknya mendadak blank. Mas Raka kembali melanjutkan pembicaraannya.

"Pak Hanan ini menyukai hasil rancangan kamu. Beliau sering berkunjung ke website kita."

Siera melihat sekilas pada Hanan. Laki-laki itu memamerkan senyumnya yang dulu selalu bikin dada Siera berdebar.

"Betul seperti yang dikatakan Pak Raka, Bu Siera. Saya sangat mengagumi gaya arsitektur minimalis yang ibu rancangan. Rumah saya yang sekarang terasa kebesaran untuk ditinggali sendiri. Jadi, saya menginginkan rumah yang minimalis. Biar terasa lebih hangat, homey, dan nature," jelasnya. Senyumnya kembali terukir.

"Maaf, saya menolak. Saat ini, fokus saya mengerjakan proyek yang membutuhkan tanggung jawab besar. Saya tidak bisa mengerjakan dua pekerjaan dalam satu waktu. Bapak bisa mencari arsitek lain, atau Pak Raka bisa merekomendasikan arsitek lain." Siera menatap Mas Raka.

"Saya tidak sedang terburu-buru kok, Bu. Bu Siera bisa menyelesaikan dulu proyek yang Ibu kerjakan sekarang sampai tuntas. Bisa dikerjakan lain waktu, yang penting saya bisa menggunakan jasa Ibu dalam renovasi rumah saya nanti." Hanan tetap kukuh dengan keinginannya.

Rasanya Siera ingin membanting meja. Atau kalau perlu mengangkat kursi, lalu membantingnya ke kepala laki-laki itu.

"Baiknya, kamu terima permintaan Pak Hanan, apalagi beliau tidak menuntut buru-buru untuk mengerjakannya. Kita harus profesional, Ra. Kantor kita masih tergolong baru, dan harus bisa menerima setiap tawaran klien agar biro arsitek kita berkembang," ujar Mas Raka saat mereka hanya berbicara berdua.

Rasanya Siera ingin menangis. Jika mengingat luka yang dilakukan Hanan padanya. Tidak masalah jika ia dikatakan tidak profesional karena ia bukan strong woman. Teapi, lidahnya terasa kelu untuk berucap jujur pada Mas Raka. Kalau diantara dia dan Hanan pernah terjalin ikatan suci. Sedihnya, ikatan itu harus koyak dalam satu malam.

"Apakah di antara kalian pernah ada masalah? Pernah saling mengenal sebelumnya? Yang membuat kamu enggan menerima tawarannya." Selidik Mas Raka.

"Dia mantan suamiku, Mas. Dan meninggalkanku sehari setelah pernikahan, karena dia lebih memilih perempuan lain. Apakah aku salah kalau menolaknya, karena aku masih sakit hati?" Mending jujur sekalian dari pada Mas Raka menekannya.

Ada binar keterkejutan di wajah Mas Raka. "Maaf ...," lirihnya merasa bersalah.

"Profesionalisme memang tidak harus mencampur adukan pekerjaan dengan perasaan. Tetapi, maaf Mas, aku juga manusia biasa. Laki-laki yang mengandalkan logika pun, jika sudah berurusan dengan perasaan akan sama saja jika sudah merasa dirinya tersakiti."

"Iya, Maaf, Siera ... Mas nggak tahu. Jika kamu bicara dari awal, Mas akan mencari yang lain saja, meskipun dia tetap menginginkan kamu yang mengerjakan rancangan rumahnya," sesal Mas Raka.

"Dan yang harus Mas Raka tahu, dia sekarang tinggal tepat di samping rumahku. Apakah ini namanya kebetulan atau direncanakan?"

Itulah sekelumit kejadian tadi siang yang membuat kepala Siera berasap. Dari mana Hanan tahu kantor tempatnya bekerja? Apakah membuntutinya, atau bertanya pada Diana? Bodo amatlah, yang penting ia tidak mau mengerjakan proyek yang ditawarkan mantan suami baj*ng*nnya itu.
***
Rumah sudah bersih dan rapi ketika Siera pulang. Bau masakan tercium ke hidungnya. Ada angin apa dengan Diana, tiba-tiba dia berubah?

Ketika Siera mampir ke dapur, Diana sedang membuat tumis udang di campur brokoli. Sudah ada goreng tempe dan sambel terhidang di meja.

"Masakan itu untuk tetangga sebelah?" tanya Siera dingin.

"Ih, ogah, Mbak. Ngapain harus ngasih orang jahat macam Mas Hanan. Masakan ini buat kitalah," jawab Diana cepat.

"Tumben?"

"Aku harus jadi orang yang tahu diri. Kebaikan Mbak Siera itu nggak terhitung buat aku. Dan aku sekarang mau balas budi dengan jadi anak yang rajin. Aku juga sakit hati dengan apa yang dilakukan Mas Hanan sama Mbak di masa lalu. Pantas saja dia ditinggalin istrinya, orangnya emang pantas ditinggalin. Ganteng juga percuma, kalau bisanya cuma nyakitin! Diana terlihat berapi-api.

"Sadar kamu, nggak sesaat kan? Karena mata kamu itu kalau sudah lihat yang ganteng gampang lumer kayak kerupuk kehujanan."

"Swear! Aku sudah tobat tentang cowok ganteng." Diana mengangkat ke dua tangannya.

Siera tidak percaya begitu saja. Lihat saja besok-besoknya bagaimana sikap Diana.

Suara bel berbunyi menyadarkan mereka. Diana dan Siera saling pandang. Biasanya Sangat jarang ada tamu yang datang di sore hari seperti ini. Kalau pun ada petugas dari RT yang mau nagih iuran sampah, acara komplek, pasti akan ada pemberitahuan di group RT.

"Lihat, gih, siapa yang datang." Suruh Siera pada Diana.

Diana menurut dan meninggalkan dapur. Tidak lama ia sudah datang kembali dan memberi laporan pada Siera.

"Mas Hanan, Mbak. Dia mau numpang makan di sini, katanya nggak sempat makan, makanya masuk angin."

"Modus," decih Siera. "Dia bisa beli makanan di aplikasi, kenapa harus merepotkan tetangga."

"Tetapi aku kasihan, wajahnya terlihat lemas."

Nah, kan. Diana selain suka cowok ganteng, dia nggak tegaan, dan gampang ketipu.

"Terserah kamulah, Mbak mau masuk kamar. Jangan sampai dia masuk ke dalam rumah ini. Mbak nggak sudi rumah ini dimasuki dia."

"Iya, Mbak"

"Kamu kasih minum dulu aja tapi di teras," usul Siera.

Bukannya mau berbuat baik, tapi ada ide licik yang muncul di otaknya. Ia akan memasukan obat pencahar yang dibelinya tadi ke dalam makanan  yang akan diberikan Diana. Tetapi terlebih dahulu ia harus menyisakan masakan yang dibuat oleh Diana untuk orang rumah. []








Dendam SieraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang