Delapan

153 52 4
                                    

Hujan deras tiba-tiba mengguyur kota Jakarta ketika Siera baru saja keluar dari toko roti, membawa sekotak kue untuk Diana. Permintaan sederhana dari Diana membuatnya rela berhenti di toko ini, padahal hari sudah mulai larut. Dia melihat ke langit yang gelap dan berharap hujan segera mereda. Tapi tanpa payung dan tanpa mobil—karena mobilnya masih di bengkel—Siera hanya bisa menunggu. Apalagi, ponselnya mati, membuatnya tak bisa memesan taksi.

Di tengah deru hujan, sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Seorang pria dengan jas kerja turun, membawa payung. Siera langsung mengenal sosok itu. Bratama.

"Siera?" Bratama mendekatinya, ekspresinya sedikit terkejut. "Kenapa kamu ada di sini? Lagi ngapain ada di depan toko roti?”

Siera menatapnya datar. "Cuma beli kue, Mas.”

Bratama menatapnya, lalu melirik ke arah langit. “Mobilmu nggak ada, ya? Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.”

Siera buru-buru menggeleng. “Terima kasih, tapi aku bisa cari cara lain.”

“Cari cara lain? Hujan deras begini?” Bratama memandangnya tak percaya. “Siera, nggak usah repot. Aku antar.”

"Tidak apa-apa, Mas. Biar saya ...."

"Kalau begitu saya ikut menunggu di sini, kalau kamu nggak mau saya antar."

Siera merasa tak punya banyak pilihan. Jadi, dengan sangat enggan, ia mengangguk. “Baiklah.”

Mereka berjalan ke mobilnya, dan Siera segera duduk di kursi penumpang. Suasana di dalam mobil begitu hening. Bratama mencoba mencairkan suasana.

“Aku sebenarnya penasaran, Siera. Sampai mana perkembangan desain untuk resort itu?” tanyanya, mencoba membuka pembicaraan.

Siera hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela. “Proyeknya akan berjalan sesuai jadwal.”

Bratama tersenyum. “Aku yakin kamu sudah menciptakan sesuatu yang luar biasa. Aku senang kita bisa bekerja sama untuk ini.”

Siera tetap dingin. "Saya hanya melakukan tugas saya, Mas Bratama," jawabnya singkat, berusaha tak memperpanjang percakapan.

Bratama terdiam sejenak, merasa sedikit frustrasi dengan sikap dingin Siera, tapi ia menahan diri. Ia tahu, untuk bisa mendekati Siera, dibutuhkan kesabaran.

Ketika mereka tiba di depan rumahnya, Siera buru-buru membuka pintu dan keluar, tanpa menunggu kata perpisahan. Namun, di depan gerbang rumahnya, ada sosok yang tak asing—Hanan, mantan suaminya, berdiri dengan wajah menunggu. Pria itu menatap mobil yang baru saja ditumpangi Siera dengan tatapan menyelidik.

“Kamu baru pulang?” tanya Hanan, ekspresinya tegang. “Diantar siapa?”

Siera melewati Hanan tanpa menjawab, hatinya membeku seketika. Kenangan buruk dari pernikahannya membuatnya tak ingin menyisakan sedikit pun waktu untuk pria ini. Dia segera membuka gerbang dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Namun, Hanan kembali mendekat. “Siera, aku mau bertemu Diana. Apa dia ada di rumah?”

Siera berhenti, tangannya mengepal. Namun ia tetap menahan diri, lalu melanjutkan langkahnya ke dalam, mengunci gerbang dengan suara tegas, membuat Hanan tertahan di luar.

Di dalam rumah, Diana menyambutnya dengan senyum penuh harap. “Kuenya sudah dibeli?”

Siera tersenyum tipis dan mengulurkan kotak itu. “Iya, ini untukmu.”

Diana mengambil kue itu dengan gembira, tapi Siera segera memegang bahunya, ekspresinya berubah serius.

"Diana, dengar,” kata Siera lembut tapi tegas. “Aku tidak ingin kamu bertemu dengan Hanan, meskipun dia mencoba menemui kamu.”

Diana memandang Siera dengan bingung. Kenapa harus membahas Hanan? Padahal, Siera sudah memperingatkan nya berulang kali, dan dia mengerti tentang kekhawatiran Siera yang pernah tersakiti oleh Hanan.

Siera menatapnya penuh perhatian, mencoba meredam perasaannya. “Diana, ada hal-hal yang pernah terjadi yang membuatku memilih jauh dari dia. Bukan karena kamu, tapi karena aku khawatir dia bisa membawa dampak buruk.”

Diana terdiam sejenak, namun akhirnya mengangguk dengan berat hati. "Siap, Mbak.”

Siera mengelus rambut Diana dengan penuh kasih. “Terima kasih sudah mengerti. Aku hanya ingin melindungimu.”

Setelah Diana menuju kamarnya, Siera menghela napas panjang. Pertemuan tadi dengan Bratama dan Hanan membuat pikirannya campur aduk. Bratama adalah pria yang terlihat tulus dan penuh perhatian, tapi pengalaman pahit dengan Hanan membuatnya takut membuka diri. Meskipun Bratama tak memberi alasan buruk, ia masih sulit membayangkan mempercayai orang lain lagi.

Siera mencoba menenangkan diri, menatap keluar jendela yang basah oleh hujan yang mulai reda. Malam yang sunyi dan dingin terasa semakin sepi dengan pikiran yang memenuhi kepalanya. Pertemuan singkat dengan Bratama di toko kue tadi dan momen tak terduga dengan Hanan di depan rumah membuat hatinya terasa berat. Ia mengambil secangkir teh yang telah mendingin di meja, menyesapnya pelan, meski rasanya sudah hambar.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ternyata pesan dari Bratama.

"Sudah sampai rumah dengan baik? Semoga enggak kehujanan tadi," pesan Bratama muncul di layar, disertai emoji senyum.

Siera menghela napas dan mengetik balasan singkat. "Sudah, terima kasih sudah antar."

Tak lama kemudian, ada pesan balasan masuk lagi. "Siera, aku ingin sekali bisa mengenal kamu lebih baik. Bukan cuma sebagai partner kerja."

Siera tertegun membaca pesan itu. Ia tahu, Bratama adalah pria yang serius dan penuh perhatian. Meskipun dalam beberapa kesempatan ia tetap bersikap formal, tak dapat dipungkiri bahwa Bratama selalu berusaha menunjukkan ketulusannya. Tapi, apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi?

Setelah terdiam beberapa saat, Siera akhirnya hanya menjawab, "Terima kasih, tapi saya ingin fokus pada proyek yang kita jalani. Maaf, aku enggak bisa berpikir lebih jauh dari itu."

Siera menaruh ponselnya di meja, memandang ke sekeliling rumah.

Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Diana. Siera terkejut, menyadari bahwa suara ketukan itu terlalu pelan untuk ukuran Diana yang biasanya begitu energik.

Ia berdiri dan menghampiri pintu kamar Diana. Begitu pintu terbuka, Diana menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

"Mbak Siera, maaf mengganggu malam-malam gini," kata Diana lirih. "Aku cuma pengen bilang... aku tahu Mbak selalu berusaha melindungi aku, makasih ya. Tapi kalau suatu saat aku harus ketemu Hanan, Mbak nggak usah khawatir. Aku tahu batasan kok.”

Siera terenyuh, merasa bangga sekaligus sedih. "Diana, aku cuma ingin yang terbaik buat kamu. Kamu sudah seperti adik kandungku sendiri.”

Diana mengangguk, lalu tersenyum kecil. "Aku juga sayang banget sama Mbak. Eh, ngomong-ngomong cowok yang tadi ngantar, kayaknya punya perhatian lebih pada Mbak Siera."

Siera terdiam, lalu hanya mengangkat bahu. "Dia bukan siapa-siapa," jawabnya sambil tersenyum tipis.

Diana terkikik, tapi kemudian meraih tangan Siera, menggenggamnya dengan erat. “Mbak, kalau emang dia baik, dan Mbak nyaman, enggak ada salahnya buat kasih kesempatan, kok. Mbak juga berhak bahagia.”

Siera menggelengkan kepalanya. Masih terlalu dini jika menyimpulkan Bratama menyukainya. ()



Dendam SieraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang