Sembilan

207 52 5
                                        

Proyek resort di Lombok semakin mendekat. Siera merasakan tekanan yang meningkat seiring dengan tenggat waktu yang semakin dekat. Ia ingin memastikan semuanya sempurna sebelum keberangkatan. Satu hal yang mengganggu pikirannya adalah kehadiran Bratama yang terus mengawasi setiap langkahnya.

Di Vistara Architects, Siera memfokuskan diri pada desain yang sedang dikerjakan. Ruang kerjanya selalu dipenuhi dengan sketsa dan bahan referensi. Namun, tetap saja, bayang-bayang Bratama tidak dapat dihindari. Setiap kali mereka bertemu, Siera berusaha mempertahankan sikap profesional, tetapi Bratama selalu saja bisa membuatnya merasa tidak nyaman.

Suatu pagi, saat Siera sedang duduk di meja kerjanya, Bratama tiba-tiba muncul di sampingnya. “Siera, ada yang ingin aku tunjukkan,” katanya, sambil memegang beberapa sketsa.

Siera menatapnya, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh senyumnya. “Apa itu?”

“Ini adalah konsep yang kupikirkan untuk resort. Aku ingin tahu pendapatmu,” jawab Bratama, menunjuk sketsa yang dia pegang.

Siera mengambil sketsa tersebut dan mulai memeriksa. “Bagus, tetapi konsep ini sepertinya terlalu umum. Kita perlu sesuatu yang lebih unik untuk menarik perhatian pengunjung,” ujarnya, berusaha menahan nada skeptis.

“Jadi, kamu punya ide?” tanya Bratama, matanya bersinar penuh semangat.

“Ya, mungkin kita bisa menambahkan elemen tradisional Lombok dalam desainnya. Seperti penggunaan atap limas dan material lokal,” saran Siera, semakin terlibat dalam diskusi.

“Bagus! Itu ide yang menarik,” puji Bratama, mencatat saran Siera. Namun, ketika melihat antusiasme Bratama, Siera merasakan kebingungan. Mengapa dia bisa sebaik ini?

“Apakah ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?” Siera berusaha menjaga jarak, mengingat tujuannya untuk tetap fokus pada pekerjaan.

“Tidak ada, aku hanya ingin memastikan kita berada di jalur yang benar. Aku tahu betapa pentingnya proyek ini bagimu,” jawab Bratama dengan nada serius.

Siera hanya mengangguk. Namun, ia merasa jantungnya berdebar mendengar pujian itu. “Baiklah, kita harus segera membuat perubahan pada desain ini.”

Setelah beberapa jam berdiskusi dan menggambar, Bratama berdiri dan bersiap untuk pergi. “Siera, terima kasih atas bantuanmu. Aku sangat menghargainya,” katanya dengan tulus.

Siera tidak menjawab, memilih untuk tetap fokus pada layar laptopnya. Dia merasa lelah dengan semua interaksi yang berlangsung. Namun, ketika Bratama pergi, ia merasakan sedikit kesedihan yang tidak bisa dijelaskan.

Sementara itu, di luar ruangan, Hanan yang kebetulan melewati kantor Vistara Architects melihat Bratama keluar. Rasa cemburu menyelimutinya. Dia merasa Siera semakin menjauh darinya, dan semakin dekat dengan pria lain.

Malam harinya, ketika Siera berada di rumah, suasana hati dan pikirannya masih berkisar pada proyek tersebut. Tiba-tiba, telepon berdering. Itu adalah pesan dari Diana.

Kak, apakah kita bisa bicara?

“Ya, Di, ada apa?” balas Siera, sambil mencemaskan apa yang mungkin diinginkan adik iparnya itu.

Aku ingin tahu lebih banyak tentang proyekmu. Kapan kita bisa bertemu?

Siera menghela napas. Dia tidak ingin membebani Diana dengan masalah kerjanya. Aku sibuk, Di. Kita bisa bicara nanti.

Diana tidak menjawab. Siera merasa sedikit bersalah, tetapi dia tahu bahwa ini adalah tanggung jawabnya. Dia harus fokus pada pekerjaan ini, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk menjaga reputasi Vistara Architects.

Keberangkatan ke Lombok semakin dekat, dan Siera merasa harus mempersiapkan segalanya. Di dalam pikirannya, dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan kemampuannya, tetapi dia juga menyadari bahwa akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi.

Beberapa hari kemudian, saat Siera sedang mempersiapkan dokumen terakhir untuk presentasi proyek, Bratama tiba-tiba muncul lagi. “Siera, aku butuh waktu untuk membahas beberapa hal sebelum kita berangkat,” katanya.

“Sekarang? Saya sedang sibuk,” jawab Siera dingin, berusaha menahan emosi.

“Tapi ini penting. Kita harus memastikan bahwa semua aspek proyek sudah jelas sebelum kita sampai di sana,” balas Bratama, terlihat khawatir.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” Siera berusaha menekan rasa jengkel di hatinya.

Bratama menjelaskan beberapa detail penting yang perlu disepakati. Namun, di tengah percakapan itu, Siera merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Dia berusaha untuk tetap tenang, tetapi sesuatu dalam dirinya terasa ingin meledak.

“Kenapa kamu selalu bertindak seperti ini? Seakan-akan kamu yang memimpin proyek ini!” serunya tanpa sadar.

Bratama terkejut, “Siera, aku hanya berusaha membantu. Kita perlu bekerja sama untuk mencapai hasil terbaik.”

“Baiklah, kita akan bekerja sama, tetapi aku ingin kamu menghormati batasan-batasanku,” Siera menekankan, merasa lebih berani.

“Fine! Aku hanya ingin yang terbaik untuk proyek ini,” jawab Bratama, nada suaranya berubah menjadi tegas.

Siera merasa terjebak di antara rasa tanggung jawab dan keengganan untuk terlibat lebih dalam dengan Bratama. Dia tidak ingin terjebak dalam hubungan emosional yang rumit, terutama dengan mantan suaminya yang masih berusaha mengganggu hidupnya.

Setelah pertemuan itu, Siera kembali ke ruang kerjanya, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Keresahan dan kekhawatiran menyelimuti pikirannya, tetapi ia tahu bahwa dia harus tetap fokus pada proyek ini.

Keesokan harinya, saat mereka bersiap untuk berangkat ke Lombok, Siera berusaha menenangkan pikirannya. Namun, sebelum naik pesawat, dia mendapatkan pesan singkat dari Hanan.

“Kita perlu berbicara. Ada sesuatu yang penting.”

Siera mengabaikan pesan yang dikirimkan oleh Hanan. Dia tidak ingin masa lalu masih merantai langkahnya. Ia sudah move on. Meladeninya hanya akan membuat dirinya bodoh untuk kedua kalinya. Ketika dia melangkah menuju pesawat, tekadnya untuk membuktikan dirinya semakin menguat. Siera ingin fokus pada proyek Lombok, meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Karena harus sering meninggalkan Jakarta.

Dendam SieraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang