Tujuh

139 46 8
                                    

Siera sampai di kantornya. Ia merasa semuanya berjalan seperti biasa. Di mana ia sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk pekerjaan di Vistara Architects, salah satu biro arsitek yang kerap menangani proyek-proyek besar. Ruangan desainnya dipenuhi sketsa dan model bangunan, menciptakan suasana kreatif yang menginspirasi. Namun, saat Mas Raka, pimpinan Vistara, memanggilnya ke ruangannya, hati Siera sedikit berdebar.

“Mas Raka, saya masuk,” ujar Siera sambil mengetuk pintu.

“Masuk, Siera,” jawab Raka dengan senyum tipis. Di dalam, Siera mendapati seorang pria berjas yang duduk santai, namun aura percaya dirinya tak terbantahkan. Siera terdiam sejenak, mengingat wajah itu—Bratama Antasena, pria yang beberapa waktu lalu tak sengaja ditemuinya di warung bubur.

“Siera, kenalkan, ini Pak Bratama Antasena,” kata Raka memperkenalkan. “Pak Bratama ingin kita membantu merancang resort baru di Lombok. Saya pikir kamu akan jadi arsitek yang cocok untuk proyek ini.”

Siera terdiam, tidak menyangka akan bertemu dengan pria yang sebelumnya hanya menganggapnya sebagai orang asing yang menyebalkan. Namun, Bratama justru tersenyum ramah dan mengangguk.

“Halo, Siera,” sapa Bratama. “Senang akhirnya bisa bertemu lagi di situasi yang lebih formal.”

Siera membalas anggukan dengan sopan.

"Kalian sudah saling kenal?" Tanya Mas Raka.

"Oh, kebetulan Ibu saya dulu pernah memakai jasa Siera untuk membuat kantornya. Dan Ibu sering cerita tentang Siera."

Mas Raka takjub, ia menatap Siera sambil tersenyum aneh. Ia akhirnya tahu tujuan Britama kedatangannya kemari, dan menginginkan Siera yang menangani proyeknya.

“Jadi bagaimana, Siera?” tanya Mas Raka. “Apakah kamu siap untuk proyek besar ini?”

Siera menarik napas dalam-dalam. Dia tidak bisa menolak perintah atasannya, dan tidak ada alasan profesional baginya untuk menolak proyek sebesar ini. Namun, rasa ragu-ragu mengusik hatinya. “Mas Raka, saya—”

“Tidak ada yang lebih cocok daripada kamu, Siera,” potong Raka tegas. “Tim kita saat ini sedang sibuk dengan proyek lain, dan aku sudah melihat kemampuanmu. Aku butuh kamu di proyek ini.”

Siera merasakan tekanan dalam suara Mas Raka. “Tapi, Mas, saya belum terbiasa bekerja di tempat yang jauh dari Jakarta,” jawabnya, berusaha menjelaskan keraguan yang mengganjal.

“Makanya dicoba. Supaya pengalaman kamu bertambah luas.” jawab Raka dengan nada lembut namun penuh keyakinan. “Kamu adalah arsitek berbakat, dan aku percaya kamu bisa menanganinya. Proyek ini penting untuk reputasi kita, dan aku tidak ingin mengambil risiko dengan yang lain.”

Siera terdiam sejenak. Dalam pikirannya, ada pertempuran antara rasa tanggung jawab sebagai profesional dan ketakutannya untuk berhadapan dengan Bratama secara lebih intim. “Tapi…,” ia mencoba mencari alasan lain, “saya khawatir tidak bisa memenuhi ekspektasi.”

Bratama menyela dengan senyuman, “Siera, aku di sini bukan untuk menambah bebanmu. Aku hanya ingin berkolaborasi denganmu. Mari kita buat proyek ini menyenangkan.”

“Dan jika kamu mau, aku bisa menjelaskan semua detail proyeknya, supaya kamu tidak merasa kesulitan,” lanjut Bratama, matanya berbinar penuh antusias.

Mendengar kata-kata Bratama, Siera merasakan ketegangan di hatinya sedikit mengendur. Ia tahu bahwa tidak ada cara untuk menghindari proyek ini. Dengan semua alasan yang masuk akal, ia akhirnya menyerah. “Baiklah, Mas Raka. Jika itu keputusan yang terbaik untuk perusahaan, saya akan melakukannya.”

Bratama tersenyum lebar. “Terima kasih, Siera. Aku sangat menghargainya.”

“Baiklah, kalau begitu kita mulai persiapan untuk berangkat ke Lombok,” kata Mas Raka, merasa lega. “Pastikan semua detailnya sudah siap, ya?”

“Siap, Mas,” jawab Siera, sambil merasa ada bagian dari dirinya yang mulai berdebar-debar.

Setelah pertemuan itu, Siera merasakan campuran perasaan antara cemas dan bersemangat. Proyek di Lombok ini adalah peluang besar, tetapi juga menimbulkan kecemasan akan kehadiran Bratama.

---

Beberapa hari berlalu, dan Siera tidak dapat menghindari perasaan enggan yang menghantuinya. Di ruang kerjanya yang penuh dengan sketsa dan dokumen proyek lain, ia sering merenung. Proyek Lombok semakin mendekat, namun hatinya masih ragu. Ketika ia teringat pada Bratama, bayangan pertama yang terlintas adalah pertemuan mereka di warung bubur yang membuatnya merasa tidak nyaman. Kini, ia harus bekerja sama dengan pria itu, dan ketidakpastian tentang hubungan mereka mengganggu pikirannya.

Siera tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Proyek ini adalah langkah besar dalam kariernya. Namun, entah mengapa, ia tidak bisa mengabaikan perasaan dingin terhadap Bratama. Dalam setiap pertemuan dengan tim, saat nama Bratama disebut, Siera akan merasa suasana hatinya mendung.

Suatu pagi, saat Siera sedang mempersiapkan dokumen untuk presentasi, Mas Raka menghampirinya. “Siera, sudah siap untuk presentasi hari ini?”

“Belum sepenuhnya, Mas. Saya masih ingin menambahkan beberapa detail,” jawab Siera, berusaha mengalihkan perhatian dari topik Bratama.

“Jangan khawatir. Semuanya akan berjalan lancar. Aku yakin kamu bisa,” Raka menyemangati.

Siera hanya mengangguk, tetapi hatinya tetap tidak tenang. Saat itu, Bratama masuk ke dalam ruangan, membawa aura yang hangat dan penuh semangat.

“Halo, semuanya!” serunya dengan ceria. Siera tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan senyumnya yang menawan, namun ia segera menetralkan ekspresinya.

“Selamat pagi, Mas Bratama,” jawab Siera datar, berusaha untuk bersikap profesional meski hatinya bergolak.

“Siap untuk presentasi? Aku sangat bersemangat,” kata Bratama, tidak menyadari ketidaknyamanan Siera.

“Iya, saya sudah menyiapkan semuanya,” jawab Siera, sedikit menghindari tatapan Bratama. Ia merasa seperti dikejar oleh bayang-bayang masa lalu, dan kehadiran Bratama hanya mengingatkannya pada perasaannya yang tidak nyaman.

“Jika ada yang perlu dibahas sebelum kita berangkat, aku di sini,” tawar Bratama dengan nada bersahabat.

“Saya rasa semuanya sudah jelas, Mas,” jawab Siera singkat. Dalam hatinya, ia bertekad untuk bersikap profesional dan tidak membiarkan emosinya mengganggu pekerjaan.

Bratama mengerutkan keningnya, seolah merasakan adanya jarak antara mereka. “Siera, aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik. Ini adalah proyek besar, dan kita perlu bekerja sama dengan baik.”

Siera menahan napas, merasa sedikit tertekan. “Saya tahu, Mas Bratama. Saya akan melakukan yang terbaik,” balasnya dengan suara dingin.

“Jangan sungkan untuk meminta bantuanku. Aku di sini untuk mendukungmu,” jawab Bratama, dengan nada lembut. Namun, Siera tidak bisa membiarkan diri terpengaruh. Ia berusaha menahan emosi, takut jika ia menunjukkan sisi lain dari dirinya, maka ia akan terlihat lemah.

Setelah pertemuan singkat itu, Siera merasa keinginan untuk menjauh dari Bratama semakin kuat. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, mencoba mengalihkan perhatian dari pria itu. Namun, ia juga menyadari bahwa kehadiran Bratama membuat atmosfer di kantor lebih hidup. Rekan-rekannya pun mulai memperhatikan interaksi antara Siera dan Bratama.

“Kenapa kamu bersikap dingin seperti itu pada Mas Bratama?” tanya salah satu rekan kerja Siera saat mereka sedang istirahat di pantry.

Siera tersenyum kecut. “Saya hanya ingin fokus pada proyek ini.”

Rekannya menggelengkan kepala. “Kau tahu, kadang-kadang kamu perlu membuka diri. Siapa tahu, dia bisa jadi teman baik.”

Siera menggelengkan kepala, merasa tidak nyaman dengan ide tersebut. “Saya tidak ingin terlibat dalam hal lain. Fokus saya adalah pekerjaan.”

Setelah percakapan itu, Siera merasa semakin tertekan. Ia menyadari bahwa meskipun ia berusaha keras untuk bersikap profesional, ketidaknyamanan yang ia rasakan terhadap Bratama tidak dapat dihindari. Saat sore menjelang, ia melihat Bratama bercengkerama dengan rekan-rekan lainnya, tertawa dan berbagi cerita. Senyumnya yang tulus membuat Siera merasa terasing. Ia mengalihkan pandangan, berusaha untuk tidak memperhatikan. ()

Dendam SieraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang