Sepiring roti isi dan segelas susu diletakkan Giha di meja kaca dekat jendela, di mana Kathleen duduk di kursinya, sambil melihat ke arah luar. Ruang tengah lantai dua ini jadi lebih mirip kafe, apalagi pemandangan kota juga cukup bagus.
"Terima kasih, Bibi."
Setelah Giha pergi, Kathleen tak segera menyentuh roti isi. Gadis itu kembali memandang ke luar jendela dan melamun.
Tak lama kemudian, Namjoon datang. Dia langsung duduk di kursi hadapan Kathleen dan meletakkan tas jinjing miliknya di atas meja. Kathleen tak terkejut, lebih tepatnya tak peduli.
"Kenapa aku tidak boleh masuk ke kamar ayahku?" tanya Kathleen, karena kemarin Giha menolak mengantarkannya.
Namjoon masih memasang wajah datar. "Itu wasiatnya. Yang boleh masuk ke ruangannya hanya aku, saja."
Sampai sini, Kathleen paham. Percuma merasa bersalah atau apa pun itu, karena mungkin, Song-ja ayahnya juga tak pernah ingat tentang putrinya.
"Antarkan sku ke Seoul pagi ini."
"Ya, setelah pembicaraan ini."
"Ada apa lagi?"
Namjoon mengeluarkan sebuah map kulit hitam, membukanya, kemudian menyodorkannya ke depan Kathleen. Dengan keraguan, Kathleen meraih dan membaca surat di dalamnya.
"Hah?" desisnya. "Ini- apa aku tidak salah baca?"
"Tidak," jawab Namjoon, jelas. "Kau adalah putri satu-satunya. Wajar bila dia menginginkanmu meneruskan semuanya."
Kathleen terpaku. Bukan karena segunung harta yang akan dimiliki olehnya dalam semalam, melainkan karena berbagai bisnis yang harus dilanjutksn.
"Ini gila. Aku tidak pernah satu suara dengan bisnis kalian. Aku tidak mau."
"Kau boleh menolak, tapi artinya ini semua akan berhenti."
"Maksudmu?"
"Aku akan menjual semua aset ke pebisnis lain dan memberikan semua uangnya ke yayasan."
"Oh, itu sangat bagus tentu saja."
Namjoon tidak membalas. Dia membatin dalam hati, benar kata Song-ja, Kathleen sama sekali tidak tertarik dengan kekayaan. Semua yang dia miliki adalah hasil kerja lepas dan warisan dari Catarina, mendiang ibunya.
"Tapi akan ada banyak orang yang kehilangan pekerjaannya," seloroh Namjoon. "Jumlahnya lebih hanyak dari mahasiswa di kampusmu."
Kathleen mengerutkan dahi. "Beri mereka semua hasil kau menjual aset."
Sejujurnya, Kathleen sedikit ragu dengan solusi yang keluar dari bilah bibirnya. Sebagai wartawan kampus yang masih sangat idealis, dia tahu solusi semacam itu kurang tepat.
"Kau yakin?"
Tuk!
Sebuah batu kecil membentur kaca. Bukan kaca jendela samping mereka, melainkan kaca pintu balkon. Untuk sejenak, keduanya termenung. Lalu, bersama-sama berdiri dan berjalan menuju balkon.
Namjoon membuka pintu dan melangkah lebih dulu, kemudian Kathleen. Mereka melihat ke arah bawah, dan betapa terkejut gadis yang kurang tidur itu mendapati seseorang, terkapar berlumuran darah dengan mata terpejam.
"Astaga!"
Berbeda dengan Kathleen, Namjoon tampak lebih tenang. Pria itu memilih untuk beranjak dari balkon. Kathleen yang masih syok spontan mengikuti Namjoon dari belakang. Keduanya menuruni tangga, sedikit berlari, kemudian berhenti di hadapan sebujur jasad itu.
"Leo," desis Namjoon dengsn gigi-gigi menggertak.
"Kau mengenalnya?" Kathleen masih tampak tak menyangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN: Wild Flower
FanfictionKathleen hanya ingin menjadi jurnalis, sambil berpacaran dengan Jungkook setiap hari. Tapi, tiba-tiba, ayahnya yang mafia itu meninggal dan mewariskan semua-muanya, kepadanya. SEVEN: Wild Flower © @charuandati In cover : @baasmabwsy