4. Takdir

616 137 33
                                    

Winata memang tak menginginkan pernikahan dadakan ini, tetapi janji suci yang pagi tadi Narayan ikrarkan di depan Tuhan tidak akan Winata permainkan. Boleh jadi Winata tak begitu memahami agama, hanya saja pernikahan adalah hal sakral baginya. Jadi, ia akan berusaha dalam banyak hal supaya rumah tangganya bersama Narayan bertahan seumur hidupnya.

Winata menyadari hidup harus terus berjalan kendati ada beberapa hal yang tak selaras dengan harapannya. Sudah dua puluh empat tahun, sudah bukan remaja lagi walaupun Winata belum mampu bersikap dewasa. Ia tak boleh lagi mengedepankan ego, juga harus mulai mengesampingkan gengsi.

Kenangan di masa lalu bersama yang terkasih pun pelan-pelan perlu dilupakan. Tentang Sagara beserta berderet-deret memori indah, yang Winata pikir tak mungkin tergantikan, mulai detik ini harus ia paksa diri untuk menghapusnya sedikit demi sedikit. Dan kepada Narayan, Winata harap dapat temukan kenyamanan yang lebih candu ketimbang yang Sagara berikan dulu. Semoga, ya. Winata mau kok berusaha cintai lelaki itu. Mau belajar menerima Narayan.

Pada jam tujuh malam ini, setelah seharian menjamu kerabat dekat hingga bibirnya pegal lantaran harus terus ukir senyuman, Winata dapat bernapas lega juga di kamarnya. Ia duduk di depan meja rias seorang diri, melamun panjang. Sementara Narayan sedang menunaikan salat Isya berjamaah di mushola tak jauh dari rumah Winata. Haris yang salat di rumah saja biasanya ogah tiba-tiba ngintil Narayan—pemandangan yang sungguh membuat Winata tercengang. Baru sehari Narayan jadi suaminya, perubahan sedemikian besar sudah terjadi di rumah Winata. Pertanda baik, 'kah? Lagi-lagi, semoga saja, ya.

Winata menatap lekat-lekat refleksi wajah sendiri pada cermin, lantas menghela napas lemah lantaran di depan sana matanya tak sedikit pun pendarkan binar. Dalam upayanya menerima situasi, Winata masih menggenggam sedikit harap perihal Sagara. Namun, coba ia enyahkan dengan kilasan kejadian pagi tadi di mana Narayan menitikan air mata saat menyambut kedatangan Winata ke sisinya selepas lelaki itu ucapkan qabul. Winata tidak tahu alasan apa yang membuat Narayan mengurai air mata, tetapi melihatnya benar-benar bikin terharu, seolah-olah tangis itu hadir untuk mensyukuri fakta tentang Winata yang resmi menjadi istrinya.

Sementara itu di balik pintu kamar Winata, Narayan sudah lima belas menit mematung. Ia ragu-ragu untuk membuka pintu, bergemuruh dadanya hanya dengan membayangkan akan sekamar bersama seorang perempuan. Ia tidak polos-polos amat soal kisah cinta, walau kerap digembor-gembor shalih oleh orang-orang, sejatinya Narayan tidak sebaik itu. Narayan hanya lelaki biasa yang masih kurang di sana-sini dalam memahami agama. Lelaki itu masih belajar, masih sedikit pengetahuannya. Ia malu sekali saat dibilang shalih padahal tak demikian faktanya. Dan Winata, dia bukan yang pertama Narayan genggam jemarinya. Sebelum ini, hangat genggaman lelaki itu pernah dirasakan perempuan lain.

Narayan mengembuskan napas pelan, kemudian mendekat ke pintu dan mengetuknya. "Assalamualaikum, Wi. Aku boleh masuk gak?" tanya lelaki itu sembari berusaha meredam degup jantung yang masyaa Allah—berisik.

Tidak ada sahutan dari dalam, tetapi tidak berapa lama pintu terbuka dan menampilkan sosok cantik dalam balutan piyama merah bata dengan rambut sepinggang tergerai indah. Narayan refleks berpaling sambil menggumamkan istighfar, sesaat lupa kalau aurat Winata sudah halal baginya. Maka usai memejam sebentar demi mentertawakan kekonyolan diri sendiri dalam hati, Narayan lekas menyambut tatapan lugu Winata. Ia jadi ingat kejadian minggu lalu di ruang tamu rumah Winata, ingat bagaimana lucunya perempuan ini berusaha membuat Narayan tak suka.

"Waalaikumussalam," balas Winata sembari memindai penampilan sang suami dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perpaduan tampang ganteng dan setelan baju Koko plus sarung adalah pemandangan yang adem sekali. Ubin masjid kalah jauh, sih. "Mau masuk?"

Narayan berdeham, mendadak merasa canggung. Ia bertanya-tanya, kenapa suasana pertemuan dengan Winata di momen ini begitu beda dengan minggu lalu? Kemarin Narayan mampu hadapi perempuan ini tanpa rasa grogi, tetapi sekarang, duh—degdegan. "Boleh gak?"

NARAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang