7. Tulang Rusuk

883 129 34
                                    

Pada akhirnya Winata melunturkan niat untuk memajang poster-poster sang idol di kamar. Dua kardus itu kini berakhir di gudang, disimpan. Namun, meskipun habis diceramahi sedemikian menohok oleh Narayan, tak lantas bikin Winata jadi shalihah. Winata ibarat batu, Narayan adalah tetesan air—masih butuh banyak usaha bagi lelaki itu untuk membawa sang istri ke jalan yang Allah ridhai.

Malam itu, Narayan baru saja kembali dari mushola ketika membuka pagar rumah dan menemukan Mini Cooper terparkir di halaman, entah milik siapa, baru ini Narayan melihatnya. Begitu memasuki rumah, lelaki itu langsung disambut Winata dan tiga perempuan lain. Narayan otomatis mengernyit hebat lantaran sekarang, persis di hadapannya, Winata pakai gamis lengkap dengan jilbab yang ujungnya menjulur hingga menutupi dada. Penampilan teman-teman Winata yang Narayan kenali sebagai Rina, Gina, Nina pun tampak serupa.

Sontak Narayan bertanya, "Mau ke mana kamu, Wi?" Sebab sungguh aneh melihat Winata dalam balutan baju tersebut, mengingat bagaimana Winata biasanya berpakaian, apalagi ini teman-temannya juga ikut-ikutan.

"Mau pengajian, A." Malah Rina yang menyahut, sambil senyum-senyum mencurigakan. "Pinjem dulu Wiwi ya, A Narayan. Gak sampe jam sebelas pasti kami pulangin, kok. Janji, A."

"Kajian di mana?" Dan kajian macam apa yang sampai jam sebelas malam? Dari sini Narayan mulai menaruh kecurigaan. "Biar saya aja yang anter kalian. Ayo, sekalian saya ikut juga kajiannya. Wi, kamu bareng saya—"

"Gak boleh, Mas!" Winata menggeleng keras. "Ini pengajian khusus wanita, kamu kan lakik! Gak boleh ikutan."

"Kalau gitu kasih tau lokasinya di mana," pinta Narayan. "Winata biar sama saya. Saya kasih dia izin pergi kalau berangkatnya dianter saya."

Rina dan Gina praktis saling tatap, lalu kompak garuk-garuk kepala yang tak gatal. Bibir Rina bergerak tanpa suara, membisikkan sesuatu yang cuma dipahami oleh Gina. Winata yang mendapati betapa keras kepala Narayan hanya bisa menghela napas. Alamat bakal susah dapat izin sih ini.

Melihat raut muram sang istri, Narayan menghela napas samar, kemudian ulas senyum tipis dan berkata, "Ya udah boleh pergi—" Kata-kata lainnya tertahan di ujung lidah, tak sempat mengudara lantaran Winata keburu menghambur ke pelukan Narayan. Bikin kaget, bikin Narayan lupa cara brenapas barang sekejap. Tidak siap menerima perlakuan manis Winata. Narayan sadar besar kemungkinan Winata impulsif melakukannya, efek kesenangan, tetapi tetap saja—ugh, degdegan! Dapati Winata semringah dan tanpa perlu disuruh mencium punggung tangan Narayan, lelaki itu pun merasa keheranan. Reaksi ini terlalu excited untuk ukuran orang yang mau kajian padahal salat saja jarang. Mau husnudzon, tetapi patut dicurigai. "Mas juga izin mau keluar ya, Wi? Mau ketemu temen, tadinya mau ngenalin kamu ke dia, tapi kayaknya next time aja. Ya udah berangkat, gih."

Winata cengengesan, terulur lagi tangannya ke hadapan Narayan.

"Apa?" tanya Narayan. "Mau jajan?"

"Ish! Mau sun tangan Mas."

"Barusan udah."

"Lagi."

Sambil menggeleng geli, Narayan beri apa yang Winata mau. Kali ini ketika perempuan itu merunduk, Narayan mengusap kepalanya demi bisikkan doa. "Allahumma faqqihhu fiddiin wa a'llimhuttakwil." Sehabis itu usap pipi Winata dengan punggung tangannya.

"Widih, dikasih jampi-jampi," bisik Rina pada Gina yang mana sampai ke telinga Narayan. Rina meringis kecil kala perutnya disikut pelan oleh Nina.

"Apa tadi artinya?" tanya Winata.

"Yaa Allah, berilah kepahaman kepadanya dalam urusan agama,
dan ajarkannya takwil," balasnya.

Winata manggut-manggut, tetapi diam-diam meringis. Ada sedikit rasa bersalah menelusup dada, kok jadi seserius ini, sih? Winata jadi tak tega membohongi Narayan. Ah, whatever, Winata hanya melakukan yang biasa ia lakukan, Narayan cuma orang baru yang harusnya tidak jadi pengganggu.

NARAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang