5. Jangan Nangis

784 129 15
                                    

Malam pertama pasutri baru itu dihabiskan dengan tidur semata, tidak ada adegan iya-iya terjadi di antara Narayan dan Winata. Mereka berdua sepakat menjalani pernikahan selayaknya dua manusia dewasa; mau berusaha untuk menerima satu sama lain. Toh, walaupun Winata bersikap kekanak-kanakan demi membuat Narayan tak suka, pada akhirnya ia menyadari ikatan ini tak main-main. Ikrarnya langsung di hadapan Allah.

"Wi, salat Subuh dulu, yuk?" Narayan yang sudah membersihkan diri dan berpakaian rapi, meremas pelan bahu Winata yang masih meringkuk di kasur sambil memeluk erat guling. Lelaki itu menggeleng samar dan ukir senyum tipis kala Winata bergumam meminta diberi waktu satu jam lagi. "Kelamaan atuh, Wi. Keburu siang."

Winata mengerang, lalu mengibaskan lengan demi mengenyahkan jemari Narayan yang menusuk-nusuk lembut bahunya. Masih sambil memejam, ia menggerutu, "Jangan sentuh aku, Mas. Jangan! Aku ngantuk! As a stranger yang tiba-tiba jadi suamiku, kamu ini nggak berhak ngusik rutinitasku, ya! Aku Subuhan jam enam kok biasanya."

"Mama bilang kamu jarang salat."

"Aduh, nyonya Amira cepu banget," gumam Winata, terpaksa ia membuka mata. Ia memicing agar muka ganteng Narayan jelas di pandangannya. Ia diam sesaat untuk mengumpulkan kesadaran, lalu berdusta, "Aku mens."

Narayan mengusap wajah Winata, praktis tuai dengkusan perempuan itu. "Aku udah cek jadwal mens kamu ya, Wi. Jangan ngibul. Ayo bangun, abis salat nanti boleh bobo lagi," bujuknya.

Winata menghela napas panjang macam disuruh menanggung beban seluruh umat manusia di dunia, kemudian bergerak ogah-ogahan mendudukkan diri. Ia pandang Narayan dengan mata sayunya.

"Yuk?" Narayan mengulas senyum, jemarinya dengan telaten benahi rambut Winata yang acak-acakan. "Mama sama Ayah udah nunggu di bawah, yuk cuci muka yuk?" Macam merayu anak kecil, Narayan sangat sabar sekali sekarang ini. Sebab seperti yang Haris katakan tempo hari, perihal keluarga Jonathan yang awam soal agama-betulan minim ilmu pengetahuannya-Narayan coba luaskan lagi pemaklumannya atas sikap malas-malasan sang istri. Tentu tak mudah mengajak Winata untuk taat, sedikit demi sedikit mengubah kebiasaan buruk Winata pasti banyak hambatannya, tetapi Narayan telah mengucap janji di hadapan Allah untuk membimbing perempuan ini, maka sesulit apa pun itu, ia harus berusaha. Ada tanggung jawab besar yang Narayan emban di punggungnya.

Winata mengernyit. "Nunggu? Lah emang mau salat di mana?" tanyanya.

"Mesjid, berjamaah."

"What?" Winata langsung melek, sukses dibuat tercengang. Ada apa gerangan sampai-sampai Amira dan Jonathan tumben-tumbenan salat? Ke masjid pula? Wah, kehadiran Narayan di rumah ini membawa angin segar.
"Bentar ... siapa yang lagi nungguin?"

"Ayah sama Mama."

Kemudian tiba-tiba prasangka buruk menyeruak di benak Winata. Ia lepas dengkusan sambil menyibak selimut. "Itu mah udah pasti cuma pencitraan."

"Orang tua kamu itu." Tapi Narayan terkekeh juga. Ia lalu diam, memilih memperhatikan punggung sempit Winata yang menuju kamar mandi. Namun, atensinya lantas tersita suara getaran ponsel di nakas, ternyata ada pesan dari Haris yang memberitahu kalau dia beserta orang tuanya akan pergi ke masjid duluan. Diiyakan oleh Narayan. Ia senang mengetahui fakta orang rumah mendadak pada rajin salat, terlepas dari apa pun alasannya, bahkan meski benar sekalipun hanya untuk pencitraan. Semoga Allah ubah niatan mereka ke niat yang lebih baik.

Berselang lima belas menit, Winata selesai mencuci muka dan wudhu. Ia melipir ke lemari, bergerak santai mengganti setelan piyama dengan satu-satunya gamis yang ia miliki, dan Narayan yang menyaksikan kelakuan Winata cuma bisa senyum-senyum sendiri. Ada kelegaan meliputi benak Narayan mendapati sang istri terlihat tak sungkan di depannya. Syukurlah.

NARAYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang