Part 6

17.4K 461 11
                                        

Rafael yang kini tengah menyetir mobil belum berani menebak apa yang membuat Friska memanggilnya ke rumah sakit. Ia hanya berspekulasi, kemungkinan adik Friska kembali kambuh. Anak kecil sakit-sakitan itu hanya menjadi beban untuk Friska. Dan wanita bodoh itu terus bekerja seperti mesin demi membiayai obat jalan adiknya, sungguh miris.

Sebenarnya Rafael sudah menawarkan jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa bekerja seperti mesin, namun wanita itu terlalu bebal dan tetap menganut prinsip kunonya. Rafael akan melihat, sampai mana gadis culun itu bisa bertahan dengan semua prinsip kuno itu. Ia yakin, jika anak kecil itu keadaannya semakin parah, prinsip sialan itu pasti akan dilanggar. Dan Rafael hanya tinggal menunggu waktu, gadis culun dan bodoh itu pasti akan dengan sukarela naik ke atas ranjangnya.

Sesampainya di rumah sakit, Rafael segera menghubungi Friska dan menanyakan keberadaan wanita itu. Namun, ketika ia hendak melakukan panggilan, suara pesan masuk dari Friska, wanita rupanya menunggu di restoran yang ada tepat di depan rumah sakit.

Rafael menoleh ke arah restoran, di sana tampak Friska yang melambaikan tangan padanya. Rafael tersenyum miring, kemudian berjalan menghampiri budak bodohnya itu.

"Hai, sayang, kenapa ada disini? Ku pikir ada yang sakit." Sapa Rafael sambil duduk di kursi seberang Friska. Perempuan itu tampak salah tingkah, entah karena apa, Rafael malas bertanya.

"Sebenarnya, eeehm, Marcell sakit. Tapi, sekarang udah mendingan."

"Benarkah? Kalau begitu aku akan mengunjunginya."

"Nanti saja. Dia sedang istirahat."

"Begitu? Baiklah. Nanti aku akan menengoknya. Sekarang, aku bertanya, ada apa tiba-tiba kau memanggilku kemari? Apa ada sesuatu yang darurat? Atau yang serius dengan kondisi Marcell?"

"Sebenarnya, aku, eeeeeh, aku, aku tidak tahu harus mulai dari mana, Raf."

"Maksudnya apa? Mulai apa? Katakan yang jelas, aku tidak paham."

"Marcell, dia, dia harus segera dioperasi. Aku pikir, mungkin, eeeem, aku akan menerima tawaranmu." Ucap Friska sambil menunduk malu.

Rafael tersenyum miring, nyaris tidak terlihat. Sudah ia duga, mau tidak mau, si bodoh ini pasti akan sukarela naik ke atas ranjangnya. Dengan iming-iming uang tentu saja. Dasar sok jual mahal, ujung-ujungnya mau juga.

Rafael mendekatkan kursinya ke Friska. Ia meraih tangan wanita itu dan mencium punggung tangannya. Friska mendongak, matanya memerah menahan tangis.

"Tidak usah bersedih. Kau tahu, aku sangat bahagia. Akhirnya kau mau menjadi milikku seutuhnya. Dengan begitu, aku tidak akan takut lagi kehilanganmu. Jangan khawatir, aku akan menanggung semua biaya pengobatan adikmu hingga sembuh."

"Tapi, Raf, aku ___"

"Tidak usah ragu-ragu, kau sudah mengambil keputusan yang tepat."

"Tapi aku tidak yakin."

"Yakinlah, ini yang terbaik untuk kita semua. Adikmu, aku, dan kau sendiri. Sekarang, ayo kita urus administrasinya."

"Maksudmu, kau akan membayar biaya pengobatan Marcell sekarang?"

"Tentu saja. Semakin cepat dioperasi akan semakin baik bukan?"

Friska mengangguk, ia hanya menurut saat Rafael berdiri lalu menuntunnya ke rumah sakit. Pria itu dengan sigap mengurus semua biaya operasi Marcell, bicara dengan dokter Salman tentang apa saja yang diperlukan oleh Marcell. Friska terheran-heran, dibalik sifatnya yang kadang mengeluh lelah, Rafael sebenarnya adalah pria yang cakap dan cerdas. Pria itu juga punya uang yang sangat banyak. Dari mana Rafael mendapatkannya? Tidak mungkin Rafael berbuat kriminal kan? Friska hanya pernah mendengar dari temannya jika Rafael anak orang berada. Tapi, sekaya apa, Friska tidak tahu dan enggan mencari tahu.

Setelah menyelesaikan semuanya, dokter Salman mengatakan akan mengoperasi Marcell besok. Adiknya itu harus puasa beberapa jam agar bisa dioperasi. Friska lega mendengarnya. Sekarang, ia tidak lagi dihantui ketakutan karena Marcell tidak dapat tertolong.

Rafael menjenguk Marcell dan memberikan semangat pada pria kecil itu. Setelahnya, pria itu pamit pulang dan berkata akan kembali besok saat Marcell dioperasi. Friska mengantarkan pria itu sampai ke depan pintu ruang rawat inap Marcell yang sudah dipindahkan ke VIP atas permintaan Rafael.

"Raf, makasih ya." Ucap Friska begitu ia menutup pintu agar Marcell tidak mendengar pembicaraan mereka.

"Makasih untuk apa?"

"Kamu udah mau nolongin Marcell. Biayanya tidak sedikit. Aku merasa berhutang banget sama kamu."

"Nggak usah kamu pikirin. Itu uang tabungan aku selama ini yang aku kumpulin buat modal kita hidup bersama. Jadi, nggak ada salahnya sekarang aku gunain buat bantu kamu."

"Raf, tapi aku___"

"Huuus, nggak usah kamu pikirin masalah uang. Kamu pikirkan yang happy-happy aja. Besok aku ke sini lagi. Sekarang aku pulang dulu."

Friska mengangguk, ia menatap punggung Rafael yang berjalan menjauh kemudian kembali masuk ke ruang rawat inap Marcell. Suara deringan ponsel Rafael bahkan Friska tidak sempat mendengarnya. Rafael segera mengangkat panggilan itu setelah terlebih dahulu memastikan Friska sudah masuk ke ruang rawat.

"Sabar Al, bentar lagi aku ke sana. Aku masih dalam perjalanan. Nggak sabaran banget sih. Kamu ada dikamar hotel nomer berapa."

"Kamar 386. Cepetaaaan!!"

"Oke oke." Rafael menutup panggilannya kemudian segera mengendarai mobilnya menuju hotel dimana ia dan Alisa janjian untuk bersenang-senang.

**

"Gimana operasinya, lancar kan?" Tanya Rafael begitu tiba di ruang inap adiknya Friska. Rupanya jadwal operasi dimajukan, jadi ketika Rafael tiba, operasinya sudah selesai.

"Alhamdulillah, semuanya lancar. Kata dokter Salman tinggal menunggu waktu untuk Marcell sadar saja. Sekarang masih ada pengaruh obat bius."

"Baguslah, aku khawatir tadi. Ini aku bawakan makan siang. Makanlah, kau terlihat sangat pucat."

Friska duduk di samping Rafael. Ada sofa di tengah ruangan. Mereka menata makanan kemudian makan siang bersama. Rafael tampak antusias mendengarkan cerita Friska seputar operasi adiknya. Meskipun dalam hatinya, Rafael sama sekali tidak peduli. Yang ada di otaknya saat ini adalah, gaya apa yang akan ia terapkan ketika nanti Friska sudah naik ke atas ranjangnya. Hanya itu saja.

"Raf, sekali lagi aku berterima kasih. Aku nggak bisa ngebayangin gimana paniknya aku jika nggak ada kamu."

Rafael menertawakan Friska dalam hati. Perempuan itu memperlakukan Rafael seolah Rafael adalah pahlawan. Padahal, tidak ada yang gratis di dunia ini. Termasuk biaya pengobatan Marcell. Friska harus membayar semua itu, meskipun tidak menggunakan uangnya.

"Kamu nggak usah pikirin hal itu lagi. Dengan begini, sekarang aku lega karena kamu akan sah menjadi milikku." Rafael memegang tangan Friska, kemudian mencium punggung tangan wanita itu.

"Aku mencintaimu Friska, kamu akan segera menjadi milikku, dan aku tidak akan takut lagi kehilanganmu." Rafael meraih tengkuk Friska, kemudian menciumnya dengan lembut. Friska mematung, semenjak berpacaran, baru kali ini Rafael menciumnya. Dan Friska tidak tahu harus bagaimana.

"Buka mulutmu. Ini pelajaran pertama dan sebagai tanda, kau akan jadi milikku selamanya." Rafael kembali mencium Friska sambil tersenyum miring. Akhirnya, gadis bodoh itu sebentar lagi akan menjadi miliknya. Friska Aryani, akan jadi milik Rafael seutuhnya. Setelahnya, ia bebas menendang pergi wanita itu kapan saja jika dirinya sudah bosan.

My Ex Slave (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang