Jimin menangis kencang tak peduli jika seseorang yang tengah duduk di hadapannya menatap dengan pandangan sendu. Kedua tangan mereka tertaut. Jimin masih bergetar, ia masih tidak bisa merelakan Rose. Mereka memang baru 2 tahun, namun sikap manis Rose melekat kuat dalam memorinya.
"Sudah minum obatmu?" Jimin mengangguk.
"Mau kuambilkan air?" Jimin menggeleng.
Sosok itu menghela napas kasar. "Walaupun mereka semua membencimu, aku akan ada disini bersamamu. Aku bisa mengerti dirimu."
Jimin mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Kenapa?"
Sosok itu tersenyum sambil mengusap air mata Jimin. "Semuanya berkembang dengan sendirinya. Sejak awal kita bertemu saat pengenalan sekolah."
Jimin mengerjap. Apa maksudnya?
"Terima kasih, Yoongi." Jimin menerima tisu. Ia lelah menangis.
Bel berbunyi saatnya jam pelajaran berikutnya dimulai. Yoongi bangkit dan mengulurkan tangannya, Jimin menyambut.
***
"Dari mana?" bisik Seokjin saat melihat mata Jimin yang sembab.
Jimin tersenyum. "Makan siang bersama Yoongi di atap."
Namjoon di belakang mereka menganga. Hobi bahkan yang suka matematika sampai tidak fokus.
"Kenapa?" Hobi bertanya. Jimin menggeleng.
Namjoon menyentuh lengan Hobi. "Ada waktunya untuk dia cerita biarkan saja dulu."
Hobi menghela napas dan kembali fokus. Saat ini adalah waktu krusial menunggu Jimin pulih selain mereka tentu Jimin juga sama terkejutnya dengan mereka.
***
Jimin bangun dengan sekujur tubuh diguyur keringat. Mimpinya layak nyata. Kepalanya sakit dan segera bangkit namun belum kakinya melangkah ia ambruk. Tak mampu menggerakkan kaki Jimin menangis sekencang yang ia bisa. Tubuhnya seakan kaku.
"Papa! Papa!" rapal Jimin dalam hati.
"Jimin! Kenapa, Nak?" Papa muncul. Meraih Jimin dalam pelukan.
"Aaa ... aaa ..." Jimin seakan gagu sambil menunjuk kakinya.
"Hey, tenang, Nak!" Papa menggendong Jimin menuju mobil. Lalu, semua gelap.
Langit abu-abu menjadi pemandangan yang menyapa netranya. Suara halus penyaring udara membuat Jimin mendudukkan dirinya, ia di tempat asing.
"Papa?"
Ruangan minimalis dengan cat putih. Selain ranjangnya ada sebuah meja dan kursi kerja, tak jauh dari sana ada sofa beludru hijau dengan meja kaca rendah diatasnya ada dua cangkir. Apa Papa disini?
Jimin merosot turun namun pintu terbuka menampilkan seorang wanita cantik berambut bob dengan kacamata. Senyumnya teduh begitupun tatapannya.
"Hai, manis!" sapanya ramah. "Mau minum?" Diambilkannya secangkir air untuk Jimin.
"Namaku Nara. Aku psikolog yang akan menjadi temanmu mulai sekarang. Ada yang kau rasakan? Kakimu masih sakit? Masih belum bisa bicara?" Wanita itu bertanya dengan pelan sambil membantu Jimin minum.
"Lebih baik. Kakiku masih sakit namun bisa berjalan sepertinya dan aku ... bisa bicara." Jimin menjawab setelah minum.
Nara tersenyum. Ia menarik kursi mendekati ranjang Jimin. Tangannya meraih tangan Jimin, membawa mereka saling bertaut.
"Dia baik? Bisa dia bicara denganku?"
Jimin mengerjap lalu mengangguk. "Tolong biarkan dia tidur setelahnya."
Nara mengangguk. Jimin menunduk kemudian menangis kencang. Nara meraih Jimin dalam peluknya.
"Bicaralah. Aku disini," ucap Nara lembut.
"Mereka jahat! Apa salahku, Nara?! Aku yang ingin penyakit ini?! Bukan! Papa dan Mama yang membuatnya! Aku benci mereka sampai kapanpun bahkan hingga aku mati! Tapi ..."
Nara menatap Jimin. "Katakan semuanya."
"Aku tidak bisa hidup tanpa Papa. Aku hanya punya Papa di duniaku. Hanya Papa yang mau menerima monster sepertiku. Aku aib, Nara! Mereka menganggap aku penyakit menular!"
Nara merengkuh Jimin lebih kuat. Bukan! Bukan salah Jimin jika ia menciptakan Jimin lain di dalam dirinya. Sosok yang lebih rapuh dan membenci segalanya. Jimin kecil, kita sebut sama begitu. Jimin kecil yang selama ini diam dan menikmati segalanya harus tertekan hingga berubah menjadi retak mental yang membuat Jimin menahannya di dalam.
"Aku sekarang apa?! Aku mau mati, Nara! Tolong bunuh aku hanya kamu yang bisa! Buat aku hilang! Jimin sudah cukup terluka dengan adanya aku! Bunuh aku, Nara!"
Jimin pingsan. Nara membaringkan tubuh yang jauh lebih kecil darinya itu. Menyelimuti Jimin dan mengusap sayang rambut blonde Jimin.
Pintu terbuka menampilkan Papa dengan air matanya. Sosok pria berkepala 6 itu menangis sesenggukan, sakit menerima bahwa ia yang menciptakan monster di putranya.
"Jimin mengalami keadaan psikis yang sangat hancur, Pak. Jimin yang muncul tadi hanya akan ada jika Jimin yang biasanya lelah. Jimin kecil adalah Jimin dari bayi hingga remaja, tepat saat Bapak dan istri bercerai," jelas Nara. Tangannya membawa Papa duduk di kursi yang tadi ia duduki. Mereka berbicara terpisah meja kerja. Nara di kursi kerjanya melepaskan kacamata.
"Ini sangat berat, Pak. Jimin mungkin akan meminum obatnya sampai mati bahkan obat yang ia konsumsi akan terus naik dosisnya dan itu akan membunuhnya."
Papa menangis. Bahu tegapnya bergetar. "Jimin ... melihat Mamanya melompat dari lantai dua."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anxiety | YoonMin [✓]
FanfictionBagaimana rasanya dijauhi karna memiliki penyakit mental? YOONMIN AREA "Aku mencintaimu" "Jimin bunuh diri" WARNING AREA THIS IS STORY ABOUT BOYSLOVE AND 100% FICTION