Koridor dengan lampu remang tak membuat Jimin mengurungkan niatnya melangkah mantap menuju salah satu ruangan yang sangat familiar. Ketukan pintu Papa bubuhkan pada pintu dengan sebuah papan nama 'Nara Min'.
"Hai!" Nara membuka pintu dengan senyum manis. Rambutnya blonde. Dua minggu lalu ia bertukar warna rambut dengan Jimin kecil.
Jimin tersenyum. Nara merengkuh Jimin dan membawanya masuk. Papa disana melambai tanda ia akan menunggu di luar hingga sesi terapi berakhir.
Jimin ikut melambai. Pintu tertutup tersisa Nara yang ceria membawa Jimin menuju ranjang. Bahkan ranjang sudah terisi satu boneka bebek kesukaan Jimin kecil.
"Jadi? Ada sesuatu yang baik? Siapa yang ingin bicara?" Nara membuka sesi terapi dengan lembut dan hati-hati. Bau aromaterapi mengisi dada Jimin.
Sandal Wood. Aroma yang tidak asing namun Jimin lebih fokus pada Nara.
"Aku yang akan bicara." Nara tersenyum lebar. Seluruh atensinya ada pada Jimin.
"Baiklah. Bicara apa?"
Jimin merogoh kantung kemejanya. Sebuah surat yang cukup lecek disana, namun aromanya masih ada. Nara mengerjap. Jimin perlahan merobek amplop dan mengeluarkan sebuah kertas berwarna merah jambu.
"Hai, pasti surat ini sudah ada di tanganmu, Minnie. Aku sangat sedih saat tau kau di diagnosis penyakit mental yang cukup rumit namun yang lebih menyedihkan saat tau seluruh siswa kelasmu bahkan enggan menatap wajahmu."
Jimin bernapas perlahan. Air mata menggenang. Nara disana masih setia tersenyum dan menyatukan tangan mereka.
"Minnie, maaf jika aku terlalu penakut untuk bertemu denganmu. Aku takut tidak bisa merelakanmu. Aku takut memelukmu dan melukaimu. Minnie, bahkan aku menangis setiap malam karna ingin menghubungimu. Aku menangis saat Yoongi menarikmu pergi."
Jimin menangis. Rose benar-benar gadis yang sama yang berubah hanya keadaan mereka. Bahunya bergetar dan Nara sigap memeluknya.
"Minnie, izinkan aku mencintaimu sampai disini. Bukan. Izinkan aku menjagamu dari jauh. Izinkan cintaku tetap begini. Izinkan aku melihatmu bahagia. Jangan membenciku, Minnie, apalagi orang tuaku. Cinta kita tidak berada di waktu yang tepat, namun izinkan pada kehidupan berikutnya kita untuk bersama. Rossie for Minnie."
Jimin meraung. Hatinya lega namun sakit. Rose tidak salah. Ia yang salah. Penyakit sialan ini yang membuat mereka begini.
"Dia gadis yang baik sekali. Benar, Jimin?" Nara mengusap rambut Jimin perlahan.
"Rose ..."
Nara memeluk Jimin lebih erat. "Jangan salahkan siapapun, Jimin. Ini bukan keinginanmu."
Jimin tiba-tiba hening.
Nara melepaskan pelukan. Melihat manik sayu berubah penuh emosi. Jimin kecil. Nara menyentuh bahu Jimin kecil pelan. Membawa pandangan mereka bertemu.
"Bunuh aku, Nara." Nara menggeleng.
"Aku hampir membunuh Jimin di sekolah! Aku hampir melompat dari lantai 4! Aku menyakitinya! Jimin pasti kelelahan, Nara! Bunuh aku! Lihat! Bahkan ia putus dengan kekasihnya! Aku hanya benalu! Persetan dengan Papa biarkan ia mati tersiksa dengan rasa bersalah! Biarkan aku bertemu Mama di neraka!"
Nara tak gentar. Tak ada senyum di bibirnya namun ia tak melepaskan kontak mata. Jimin kecil menangis.
"Mereka egois, Nara! Bocah mana yang tahan melihat seseorang yang sudah melahirkanmu melompat dari lantai 2 lalu mengotori paving teras dengan darahnya! Itu mimpi buruk, Nara! Mama menghantuiku setiap hari dengan teriakan dan cakarnya! Jimin masih ingat dengan jelas saat wajahnya di cakar dan ditendang dari tangga! Manusia itu tidak pantas disebut Mama! Dia iblis!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anxiety | YoonMin [✓]
FanfictionBagaimana rasanya dijauhi karna memiliki penyakit mental? YOONMIN AREA "Aku mencintaimu" "Jimin bunuh diri" WARNING AREA THIS IS STORY ABOUT BOYSLOVE AND 100% FICTION