Bab VIII

287 25 1
                                    

"Nara."

Nara menatap Jimin yang menyentuh televisi.

"Dimana Yoongi?"

Nara menyerit. "Kau kenal Yoongi?"

Jimin mengangguk. "Dia temanku sebelum aku tau bahwa dia adalah terapis yang kau kirimkan untuk menjagaku di sekolah."

"Terapis? Yoongi anakku bukan terapis."

"Hah? Selama ini Yoongi menemaniku mengajakku melihat awan, bermain kucing, bahkan ia menautkan jemari kami. Dia bukan terapis?"

Nara menggeleng. Ia bangkit dari kursi kerja dan menghampiri Jimin. "Aku bahkan baru tau kau menyukai awan dari Yoongi karena itu kita kadang melakukan terapi di luar ruangan."

Jimin tersentak. Yoongi bukan terapis seperti yang ia kira.

"Aku bahkan baru tau kau mengenal Yoongi. Kalian sekelas? Berarti kau kenal Kim Namjoon juga? Dia dan Yoongi saling kenal."

"Aku dan Yoongi berbeda kelas. Aku kenal Namjoon, dia sahabatku," jelas Jimin.

"Aku bahkan mempersiapkan diri saat Yoongi memberitahu bahwa kau mendapat surat dari mantan kekasihmu. Aku takut dia muncul namun kau hebat bisa menahannya," ucap Nara.

Jimin terdiam. Yoongi melakukannya?

"Darimana Papa tau dirimu Nara?"

Pintu terbuka menampilkan Luna dan Papa. Mereka menutup pintu pelan.

"Ayo bersiap, Nak," ujar Papa lembut.

"Papa tau Nara darimana?" tanya Jimin penasaran.

"Dari secarik kertas di dalam kotak surat kita," jawab Papa ragu karna melihat binar semangat di manik Jimin.

Nara terkekeh. "Saat itu kita bertemu Jimin. Aku tidak tau bahwa yang dikatakan putraku soal teman sekolahnya yang mengalami penyakit mental adalah kau."

Jimin terkesiap. Dadanya mengembang dengan senyum merekah. Nara terkekeh menggoda.

"Ah, rupanya sosok manis penyuka kucing dan gelato ini yang sering Yoongi ceritakan," ucap Nara jahil.

Jimin tersipu. Luna beserta Papa tertawa kecil. Nara menyentuh bahu Jimin lembut. Mereka saling tatap tanpa kata seakan saling menyakinkan satu sama lain.

"Kau ingin menemuinya?" Jimin mengangguk. "Ingin bertemu Namjoon juga? Dia adiknya Luna. Yoongi yang menyarankan untuk mengajak Luna di sesi terapi terakhir kita karna dia mengatakan kau sering lemas di sekolah hingga di gendong kemana-mana."

"Tidak! Jangan Namjoon cukup Yoongi. Aku tidak ingin Namjoon tau aku masih hidup," jelas Jimin.

"Baiklah, aku mengerti. Kita akan bertemu Yoongi dulu."

***

Ponselnya bergetar di saku celana. Yoongi meraih dan melihat nama Mama di sana segera saja ia mengangkat dan menjauh dari aula yang masih dipenuhi siswa bahkan Seokjin setia di sana bersimpuh bersama Jungkook untuk berdoa.

"Halo, Ma? Mama baik?"

Yoongi bertanya dengan gusar. Mama terjun bersama Jimin dari atap rumah sakit membuatnya hampir gila, beruntung Mama selamat dan hanya mengalami patah lengan.

'Bisa ke rumah sakit? Mama butuh kamu.'

Yoongi mengangguk walau tau Mama tidak melihatnya. Segera ia matikan ponsel dan berlari menuju parkiran. Sekolah menjadi longgar dalam 3 hari untuk memperingati kematian Jimin.

Bersama motornya Yoongi membelah jalan dalam kecepatan sedang. Kepalanya penuh pertanyaan. Mengapa? Kenapa? Apa?

Di depan meja resepsionis ada Luna berdiri menanti Yoongi. Mereka saling menunduk kemudian Luna membawa Yoongi menuju ruang kerja Mama. Jujur ia tidak pernah berada di sini sebelumnya.

Anxiety | YoonMin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang