five

392 44 2
                                    


🌻🌻🌻

Tiga hari yang lalu kedua orangtuanya pulang ke rumah, perasaanya tidak tenang saat surat berlogo 'pengadilan agama' itu sudah tergeletak didepannya. Ya orangtuanya memutuskan untuk bercerai. Marka yang baru saja menerima fakta itu tentu saja terkejut. Ia sebisa mungkin mencoba untuk mencegah perceraian itu tapi keputusan mereka benar-benar tidak bisa di ganggu gugat. 

Karena bagaimanapun marka masih butuh sosok orang tua di hidupnya.

Rafa? Dia masih bersikap datar seolah tidak perduli dengan keputusan yang mereka buat. Bahkan ia terlihat baik-baik saja. Berbeda dengan marka yang terlihat lebih kecewa dengan keputusan orangtuanya. Semenjak itu, marka sering menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran.

Khawatir! rafa benar-benar dibuat khawatir dengan kondisi marka yang tiba-tiba demam. Dirinya memutuskan untuk bolos sekolah demi menjaga marka. Karena marka tidak mau dibawa ke rumah sakit.

Tangan mungil itu mengecek kening marka, beberapa menit yang lalu ia baru saja selesai mengompres nya.

"Syukurlah demam nya udah pergi," ucapnya lega. Marka terkekeh melihat raut serius di wajah rafa. "Sekarang abang makan dulu ya." Ucapnya riang, marka mengangguk pelan. Dengan telaten rafa mulai menyuapi marka bubur.

Baru beberapa suap marka sudah menggelengkan kepalanya. Dengan cemberut rafa mengangguk, ia menaruh mangkuk berisi bubur itu ke nakas yang ada di sebelah kasur tak lupa mengambilkan minum untuk marka.

"Sini." dengan lemah marka menepuk kasur agar rafa bisa duduk disebelahnya. Rafa menurut ia melingkarkan tangan nya pada pinggang marka.

"Cepet sembuh rumah nya afa~" bibirnya mengerucut lucu. Lagi-lagi marka tersenyum melihat tingkah sang adik.

***

Selama marka sakit rafa selalu berada disamping nya, bahkan ia tidak mau meninggalkan rumah barang sedetikpun. Karena takut orang yang disayang kenapa-kenapa.

"Sini adek bantuin," tangannya mengapit lengan marka, membantu memapahnya ke kamar mandi.

"Kalau masih pusing bilang ya, adek tungguin"

"Iya bawel" marka mengacak rambut rafa sekilas, lalu memasuki kamar mandi. Sedangkan rafa mengerucut sebal. Ia menyenderkan tubuhnya pada pintu kamar mandi menunggu marka sambil memainkan jari tangannya, walaupun demamnya sudah turun, tapi tubuh marka masih terlihat lemas.

Setelah beberapa menit marka keluar kamar mandi, rafa kembali menuntun marka ke kasurnya, ia menyelimuti marka sebatas dada. Tadi siang marka sudah diperiksa oleh dokter, katanya marka kelelahan dan terlalu banyak pikiran sehingga membuat tubuhnya drop.

Rafa tahu marka memang sering menghabiskan waktunya untuk belajar katanya sudah tingkat akhir, padahal rafa sudah menasihatinya agar tidak terlalu ambis dalam belajar, mungkin karena ini marka jadi kelelahan. Tapi tunggu ada hal lain yang jadi pikiran marka, apakah ini karena keputusan orang tuanya?. Rafa benar-benar memikirkannya.

Puk

Marka menepuk bahu rafa, anak itu terlonjak kaget.

"Kenapa hm?" tanyanya.

Rafa menggeleng lalu tersenyum,

"Abang udah mendingan?."

Marka mengangguk, "bukan mendingan lagi dek, tapi udah sehat, besik juga udah bisa sekolah kok" ucapnya sambil mencubit hidung mancung rafa.

"Boong! tadi aja masih keliatan lemes," gerutunya. "Sok sok an mau sekolah, pokonya adek ga bakal izinin abang sekolah, kalo abang belum sehat beneran!" tangan nya menyilang di depan dada, bibirnya mengerucut lucu, ngambek khas anak kecil.

Bukan nya kesal, marka malah memekik gemas. Tangan nya reflek mencubit pipi rafa.

Rafa mendengus sebal.

***

Setelah dua hari tidak sekolah, akhirnya hari ini ia pergi  sekolah. Rafa benar-benar konsisten dengan ucapannya tempo lalu. Ia akan mengijinkan marka sekolah kalo sudah benar-benar sehat.

"Akhirnya lo sekolah juga bro, sorry gue ga jenguk lo, gue ada urusan." luky menepuk bahu marka.

"No problem, lagian gue juga udah muak liat muka lo" kekehnya.

"Sialan, btw lo kenapa bisa sakit?" Tanyanya, saat ini kedua tengah berada di rooftop.

"Kepo.." sahutnya. Luky mendengus.

"Mark gue ga bego, lo sakit karena mikirin nyokap bokap lo kan?" tutur luky, marka menghela napas, matanya menatap lurus pada langit.

Luky tahu soal itu karena memang marka yang menceritakannya, bukan hanya luky tapi juga bang dyo.

"Kenapa harus keluarga gue luk?." tanyanya, ia menghadap luky. "Rasanya sakit banget, gue emang ga suka sama sikap orangtua gue yang selalu mementingkan kerjaan dibanding anak-anaknya, tapi di satu sisi gue juga masih butuh mereka luk, gue masih butuh kasih sayang mereka, gue ga munafik saat gue berusaha membujuk mereka buat balik lagi itu karena gue ga mau kehilangan mereka gue ga mau keluarga gue pisah kayak gini, gue sayang mereka luk." Luky segera memeluk tubuh marka yang bergetar.

"Gue mau keluarga gue utuh " tangis marka pecah dalam pelukan luky.

'ternyata bener lo sakit karena mikirin mereka' lirihnya.


tbc.

finally aku bisa up juga...

Clingy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang