"Hari ini ceritanya sedikit lebih panjang ya?"
"Ya, pak Liandra, saya memiliki banyak teman di sekitar saya yang membuat saya harus menulis lebih untuk menceritakannya."
"Teruskan." Lelaki dengan jas putih dan kaca mata yang bertengger di hidungnya itu mengulum senyum dan meletakkan kembali sebuah kertas dengan tulisan tangan di mejanya, "Akan lebih baik jika cerita-cerita menarik ini bisa membawa anda untuk menciptakan sebuah karya."
Sosok seumurannya yang duduk di kursi pasien itu terkekeh, "Akan saya pikirkan."
"Kalau begitu konsultasi hari ini, saya izin akhiri ya. Sudah banyak kemajuan, dan saya berharap saya tidak perlu menerima anda sebagai pasien lagi di masa depan."
Lelaki yang tak lain adalah Liandra Naraka itu bangkit dari posisi duduknya seraya melepas kacamatanya dan menyalami sosok didepannya.
"Terima kasih pak."
Sang lawan bicara, lelaki dengan Hoodie abu tua itu tersenyum tipis dan bangkit untuk keluar dari ruangan psikologi tersebut.
Selang beberapa detik setelah keluar, pintu ruangan milik Liandra kembali dibuka, Ia mendapati sosok yang sama seperti yang baru saja hadir sebagai pasiennya tadi.
"Mau ikut gak lo?"
Liandra mendengus dan menahan tawanya, "Wah, anda sangat profesional sekali ya pak Haidan Azzarren."
"Kenapa masalahnya? Gue bukan pasien sekarang, dan lo bukan psikolog gue."
"Yayaya, kemana?"
"Galeri, Sangga mau kesana."
"Yang lain?"
"Yang lain mah kerja ege, kan cuma si Sangga yang selalu free."
Mendengar itu Liandra mengangguk paham, benar juga, kan hanya Sangga yang anak tunggal kaya raya dan bebas dari beban.
"Duluan aja, nanti gue nyusul, gue masih ada pasien setelah ini."
Arren mengangguk, Ia lalu kembali menutup pintu setelah melambaikan tangannya. Namun dua detik kemudian kembali membukanya.
Liandra menghela nafas, sepertinya hari ini mereka bertukar kepribadian. Liandra si paling sabar, dan Arren si biang onar.
Tapi kenapa saat dirinya yang menjadi biang onar aka anak tantrum di tongkrongan, dia tidak merasa lelah? Kenapa jika menjadi yang menghadapinya malah menguras tenaga?
Sepertinya lain kali Ia harus berbaik hati dengan Malven dan Arren yang selalu sabar menghadapi tingkahnya ini. Tapi lain kali saja, saat Ia ingin menambah pahala.
"Apa lagi sat?"
Arren tersenyum tanpa dosa, "Eh gak boleh bicara kasar dengan pasien, anda mau saya laporkan ke atasan anda?"
Lelaki dengan kulit Tan itu menghela nafas dan memaksakan senyumnya, "Tadi katanya lo bukan pasien gue?"
Arren balik tersenyum, "Oh iya, Malven mana?"
"Libur hari ini."
"Kalo Jendral?"
"Di ruangan bundanya."
"Oke." Arren mengangguk paham, "Sean?"
"Tidur di apartemennya."
"Ngapain? Makan gaji buta tuh CEO?"
"Katanya sakit perut." Liandra mengangkat kedua bahunya acuh, "Lagian dia walaupun makan gaji buta gak akan dipecat."
Arren mengangguk pelan, iya juga. Tapi memangnya dokter bisa sakit juga ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home [NCT DREAM]
FanfictionO N G O I N G Katanya hidup adalah tentang bertahan. Bertahan untuk penyesalan, bertahan untuk ketertinggalan, bertahan untuk kesempatan, bertahan untuk kewarasan, bertahan untuk harapan, bertahan untuk melanjutkan perjalanan, juga bertahan untuk se...