14 : the rainy night I

290 33 6
                                    

'Today feels like yesterday
And yesterday is like today
I'm standing still
The sad memories seep into
Even the gaps of my heart that can't be seen.'
.
.

Maaf agak terlambat teman-teman
Selamat membaca!
.
............

"Ini delusi."

Satu perkataan dari Liandra membuat semua orang yang berada di sofa sontak saling menatap lalu memandang ke arah pintu bercat cokelat tua yang tertutup rapat didepan mereka.

Arren menghela nafas, "Kayaknya udah cukup lama, kalau gak, mana mungkin Jendral bisa ngumpulin kue sebanyak itu dalam satu waktu."

Malven mengangguk pelan, "Sepertinya begitu, tapi gimana bisa gue gak tau semuanya?"

Azka ikut merasa bersalah, "Gue juga salah disini, seharusnya gue rajin jengukin dia dan ajak dia jalan-jalan."

"Semuanya salah, kita salah." Ujar Liandra menengahi, bahkan dirinya kini juga dikuasai rasa bersalah, "Gue juga orang yang mempelajari orang-orang seperti Jendral, tapi gue selama ini malah gak paham sama keadaan orang terdekat gue."

Sean memijat keningnya, "Terus gimana kita harus atasin masalah ini?"

Diantara riuh sibuknya suara dalam kepala masing-masing, suara pintu apartemen yang dibuka membuat mereka menoleh ke asal suara. Disana, ada Sangga yang baru saja datang dari toko kue yang Jendral datangi selama beberapa hari.

"Gimana Ngga?" Tanya Liandra.

Lelaki bungsu itu menghela nafasnya dengan wajah murung, Ia mendekat dan ikut duduk di sofa, di tengah-tengah para abangnya.

"Bang Jendral mana?" Tanyanya.

Malven menunjuk pintu kamar dengan dagunya, "Masih mandi."

Sangga menatap para sahabatnya dengan serius sebelum melontarkan kalimatnya, "Gue udah tanya Agatha, katanya, udah sekitar tiga minggu yang lalu."

Sean berujar dengan nada terkejut, "Tiga minggu? Itu artinya beberapa minggu setelah bundanya meninggal?"

Arren menatap khawatir, "Tapi waktu itu dia masih masuk kerja kan?"

Malven mengangguk, "Dia bahkan udah masuk kerja di hari ketiga setelah bundanya gak ada."

"Biar gue yang ngomong sama Jendral pelan-pelan." Ujar Liandra pada akhirnya.

Teman-temannya menatap ragu lelaki itu, namun mengangguk yakin setelah mengingat bahwa lelaki itu memang bekerja di bidang kesehatan mental, jadi pasti Liandra akan lebih paham.

Hari bahkan sudah menunjukkan jam setengah sembilan malam, itu berarti sudah sekitar tiga jam mereka berada disana dan mendengarkan segala cerita Jendral beberapa saat lalu tentang bundanya yang berulang tahun.

"Sean, lo masih ada kerjaan kan?" Malven menatap lelaki itu, "Lo ke rumah sakit duluan aja, disini biar kita yang urus."

Lelaki Tionghoa itu mengangguk, "Masih, tapi gue juga gak akan tenang ninggalin Jendral disini."

Malven menggeleng, "Ada gue sama yang lain, lo gak boleh ninggalin tanggung jawab lo sebagai pemimpin."

Liandra mengangguk setuju, "Malven bener, lo bisa kesini lagi setelah pekerjaan lo selesai." Ia menatap teman-temannya yang lain, "Azka sama yang lain juga, kalian boleh pulang dulu kalo masih ada kerjaan."

Lelaki dengan senyum manis dan gigi kelinci itu menggeleng, "Gue disini aja, gue udah izin tadi, lagian kerjaan gue tinggal tahap akhir editing."

Akhirnya semua yang berada disana memutuskan untuk tetap tinggal, terkecuali Sean yang memang berada dalam situasi mendesak mengenai pekerjaannya. Liandra menatap Malven yang sedari tadi menunduk seperti memikirkan banyak sekali perkara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

From Home [NCT DREAM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang