9

1K 237 39
                                    

"Mix seafood Hoytod lo, nih!" Wina meletakkan kotak plastic berisi cumi, udang, dan omelet kerang di meja yang Prasetyo duduki. "Sama es jeruk." Satu gelas air jeruk dengan batu es itu diletakkan di samping makanan pesanan Pras, sebelum Wina duduk dan menikmati kuetiaw goreng sapi yang ia pesan di stand makanan dekat dengan Hoytod. "Giza mana?"

Pras melirik pada satu stand makanan, lalu menggerakkan wajahnya menunjuk ke satu arah. "Antri matcha bae. Dia lagi malas makan katanya, nanti ini biar gue berdua aja sama dia." Mata Pras terus mengarah pada Giza yang masih berdiri dan berbincang dengan kasir penjual minuman itu. "Paling dia beli donat nanti."

Wina menatap Pras dengan tatapan menilai, menilik, memindai setiap gurat dan raut wajah pria itu hingga akhirnya Pras sadar tengah diperhatikan dengan detail oleh rekan kantornya.

"Kenapa? Ada yang salah sama muka gue?" Pras bertanya dengan kebingungan yang bercokol di kepalanya. Ia bahkan mengusap sekitar ujung bibir hingga rahang, barangkali ada kotoran yang membuat wajahnya tak enak dilihat.

Tak langsung menjawab pertanyaan Pras, Wina memindai Giza yang seperti sedang menunggu pesanan sambil mengitari stand lain sekitar Matchabae, lalu menatap Pras dengan wajah serius. "Lo tahu dengan sadar betul, kan, kalau Giza udah punya lakik?"

Pras mengernyit bingung dengan pertanyaan Wina.

"Gue bukannya apa, sih, hanya saja gue ingin mengingatkan lo tentang status Giza dan—kedekatan kalian."

"Gue gak ngerti lo ngomong apa?" Pras yang baru menyuap udang dan sepotong oyster itu, meletakkan garpunya dan melipat tangan di meja, dengan gestur serius yang siap berdiskusi dengan Wina tentang apapun topik dan arah perbincangan yang rekan kantornya buka. "Kenapa lo jadi bahas gue dan Giza?"

"Gue gak buta, Pras." Wina berujar santai, tapi serius dan hati-hati. "Lo masih suka Giza dan kalian sangat dekat. Giza gak pernah menolak apapun yang lo kasih ke dia. Perhatian, waktu, hadiah, dan apapun yang bikin Giza mungkin saja lupa kalau sebenarnya dia sudah terikat dengan pernikahan."

Pras membuang pandangan sesaat. "Jaman udah merdeka, Win. Setiap orang berhak memiliki pergaulan."

"Tahu," jawab Wina. "Tapi kalian terlalu dekat untuk ukuran rekan kerja."

"Kami bersahabat. Kita. Lo juga sahabat kami, kan? Kita udah barengan dari pertama kali melangkah di gedung kantor kita." Pras mencoba mengingatkan Wina, bahwa kedekatan mereka ini sudah lama dan seharusnya lumrah jika Pras memberikan porsi yang sedikit lebih besar untuk mereka, terkait waktu, tenaga, harta, juga mungkin—perasaan. Ah, untuk yang terakhir sepertinya hanya ia berikan kepada Giza.

Wina mendesah putus asa. "Lo emang pinter banget ngeles. Membahas ini kayaknya Cuma memancing perdebatan yang gak aka nada hasilnya. Gue gak mau kita jadi renggang kalau gue dirasa terlalu keras menegur lo."

"Lo gak usah negur gue, Win. Gue tahu apa yang gue lakukan terhadap Giza. She's hurt. We know it! Lakinya berengsek banget. Selain penjahat kelamin, si berengsek itu juga kasar sama Giza. Gue lihat sendiri bagaimana pria itu menarik Giza dengan kasar sampai es krim yang baru dia makan terjatuh. Kita tahu kan, kalau dia itu suka banget sama es krimnya Harman and Cordon? Dia selalu ke sana hanya untuk mendinginkan hatinya yang lagi galau. Kita tahu itu! Dan si berengsek itu—"

"Mas Benny," ralat Wina, kurang nyaman dengan sebutan Pras kepada suami Giza. "Dia punya nama, Pras, dan kuping gue pengang setiap lo nyebut suami Giza dengan kata kasar itu."

A Love RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang