1

4.7K 529 20
                                    

Terik matahari pukul tiga sore, tak membuat perempuan itu terusik meski tangan dan kakinya terasa hangat diterpa sinar ultraviolet yang katanya mampu membakar kulit dan membuatnya kusam. Ia masih duduk tenang di halte bus GBK Jakarta, menatap kumpulan gedung pencakar langit yang megah dan mewah di depannya. Sorot matanya kosong, hampa, tetapi ada gejolak perasaan yang saling bertengkar di pikirannya. Benarkah yang ia lakukan sekarang? Menyesalkah ia dengan keputusan yang telak mengubah hidupnya? Inikah yang memang ia inginkan? Atau ... ini adalah kesalahan karena dulu termakan cinta dan mencoba tak peduli dengan panasnya bara di antara hubungan yang ia lakoni sekarang?

Bus berhenti di depannya. Pintu otomatis itu terbuka, lalu menampilkan kondektur berseragam rapi yang menatapnya penuh tanya, barangkali ingin menumpangi armada jurusan yang menjadi tanggung jawabnya saat ini. Tak melihat ada respons dari perempuan berlanyard Coach warna kuning labu di dadanya itu, sang kondektur melambaikan tangan, meminta supir Transjakarta untuk menutup pintu otomatis itu dan kembali melajukan armada.

Perempuan itu masih duduk tenang. Tangannya bersedekap dada, menutupi kartu identitas pegawai yang tersemat rapi pada lanyard pemberian pria itu. Kakinya bertumpu, tapi tetap terlihat anggun karena dres formal warna krem yang ia kenakan saat ini. Kaki itu tak perlu lelah, karena sneakers yang pria itu berikan bersama pakaian yang saat ini ia kenakan. Sneakers yang mereka beli di Pavilion Mall Kuala Lumpur Malaysia, saat ia menemani pria itu mengunjungi acara peragaan busana, peluncuran busana model terbaru milik perusahaan tempat pria itu bekerja.

Ada sesak di dalam dada, yang membuat perempuan itu akhirnya mengembuskan napas panjang, berharap oksigen masih mau memberinya kekuatan untuk tegar dan menjalani hidup yang mengenaskan. Iya, mengenaskan. Apa yang lebih mengenaskan dari menikahi pria yang telak memiliki anak di luar pernikahannya? Apa yang lebih mengenaskan dari mencintai pria yang tak mencintainya sepenuh cintanya kepada pria itu?

"Betah aja dari tadi di situ."

Giza terenyak dari lamunannya. Ia menoleh ke arah pintu stasiun MRT yang tak jauh dari tempatnya duduk. Pria menggemaskan itu datang. Menenteng tas punggung dengan rambut yang diterpa angin. Rambutnya ikal dan sedikit keriting. Meski tidak gondrong, tetap saja terlihat lucu saat ada keriting yang mencuat di beberapa sisi paska angin mengacak tatanan rambutnya.

"Aku pikir kamu langsung masuk hutan kota karena sudah jam tiga," ucapnya seraya duduk di samping Giza yang masih mematung di posisinya. Mata pria itu ikut mengarah pada kumpulan gedung indah yang terangkum di kawasan Sudirman Central Business Distric. Tempat perempuan yang menunggunya selalu terlihat penuh kepedihan ketika menatap salah satu gedung di sana. "Mau cancel aja? Barangkali emang kamu lagi kangen yang di sana," lanjutnya seraya menunjuk satu gedung dengan dagu.

Giza menggeleng. "Aku butuh relaxing. Aku butuh duduk di Hutan Kota sampai mereka tutup, lalu ... pulang," jawabnya dengan desahan pedih di akhir ucapan. "Setidaknya, aku masih punya waktu untuk memberikan tubuhku 'istirahat'."

Si keriting menggemaskan mengangguk. Ia mengusap asal kemeja slim fit yang membungkus tubuhnya dengan apik, lalu menyeringai saat pria tua dengan sepeda lewat di depan mereka. "Mau starling? Kayaknya minum seduhan Milo enak."

"No, thank you." Giza menggeleng seraya tersenyum santai. "Aku pernah lihat ada abang-abang starling yang isi air seduhan dia pake air keran di belakang pos sekuriti. Aku jadi takut jajan starling."

"Gak semua starling begitu, Giz." Prasetya tertawa santai. "Hanya karena satu abang starling yang begitu, kamu jadi takut dan trust issue ke semua starling. Gak semua abang starling begitu dan gak selalu kalau kita minum air keran, lalu kita jadi penyakitan."

A Love RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang