Prolog

349 19 5
                                    

Seorang laki-laki paruh baya bersurai abu melangkah tergesa. Bergerak cepat dan berhenti di depan pintu hitam yang terletak di ujung bangunan. Tangan kirinya terlipat dengan beberapa berkas yang didekapnya erat di depan dada, sedang tangan kanannya yang bebas dia arahkan pada sensor sidik jari di bawah pegangan yang akan mengeluarkan cahaya hijau saat aksesnya diterima.

Laki-laki itu mengedarkan pandangan sekilas pada ruangan yang dia masuki. Menatap kumpulan orang yang sudah duduk melingkari sebuah meja bundar di tengah ruangan dengan penerangan temaram. Total ada 10 orang di sana, tapi sunyi seolah tak terusik dengan banyaknya presensi di ruangan sempit itu.

"Maaf mengganggu waktu bermimpi kalian, bukan maksudku, tapi kupikir kalian ingin tahu ini," ucap laki-laki bernama Sam itu membuka percakapan.

Salah satu di antara mereka mengangguk singkat, laki-laki muda bersurai hitam yang duduk tepat si seberang Sam berdiri.  Tangannya terangkat seolah memberi tanda agar Sam melanjutkan apapun yang menjadi alasan mereka harus berkumpul di tempat ini, pukul 2 pagi.

"Orang-orang itu mulai bergerak. Di sini, di Tora, " lanjut Sam sambil membagikan berkas yang ada di tangannya. Membuat sebagian besar yang ada di ruangan itu melebarkan mata. "Beberapa dari mereka terlihat di penginapan pinggiran kota Kulipa. Sepertinya pemula karena terkesan ceroboh sampai orang-orang kita bisa menyadarinya."

Tak ada yang mengeluarkan tanggapan. Sunyi itu tergantikan dengan suara gesekan kertas saat masing-masing dari mereka membalik halaman berkas yang sedang mereka baca.

"Entah memang ceroboh atau mereka mulai terang-terangan bergerak." ucap salah satu di antara mereka sambil menutup berkas di depannya, seorang pemuda berbadan paling tinggi dengan suara dalam yang khas. "Yang jelas, hanya butuh beberapa hari sampai kita mendengar kabar mereka di ibukota. Dengan informasi yang masih seminim ini, aku takut kita akan kecolongan kembali."

"Apa kita perlu memberitahu pamanku agar pemerintah juga ikut waspada?" tanya seseorang lagi.

"Kau percaya pada pamanmu?" tanya yang lain.

Si pemuda menggeleng tanpa ragu. Membuatnya merutuki diri sendiri karena baru saja mengusulkan hal yang tidak masuk akal.

"Benar situasi kita tidak menguntungkan karena belum tahu apa tujuan mereka kali ini, tapi memberitahukan apa yang terjadi pada orang-orang yang kita tidak tahu berada di pihak siapa adalah tindakan bodoh. Maaf jika membuatmu tak nyaman, tapi aku benar-benar tidak percaya pada Kelan."

"Sama sekali tidak. Maafkan aku."

"Ayolah, Boys, jangan terlalu tegang. Setidaknya kali ini kita satu langkah di depan. Kita tahu siapa mereka sedangkan mereka mungkin sama sekali tidak menduga ada orang-orang seperti kalian yang siap berada di garis depan. Kita hanya perlu untuk tetap saling percaya."

"Semoga saja."

The Hidden Prince (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang