Bab XI : Daniel Radfield

58 7 0
                                    

Belum genap 24 jam menjadi murid di Torac dan Zach merasa sudah punya musuh. Entah kenapa dia yakin satu dari tiga teman asramanya terlihat sangat tidak menyukai dirinya. Dia pikir semalam hanya sekedar canggung karena baru bertemu makanya mereka tidak banyak bicara. Bahkan, si roommate yang lupa membangunkannya pagi tadi pun dia anggap karena alasan yang sama, canggung.

Namun, semua anggapannya sirna saat dilihatnya sang roommate yang belum dia tahu namanya itu terang-terangan mendengkus saat dia, Jason dan Aiden memilih duduk di meja yang sama dengannya saat di kantin. Jika tidak ingat kalau mereka sudah berjalan cukup jauh untuk mencari meja kosong, Zach pasti langsung beranjak dari sana. Memaksa berada di tempat yang pemilik sebelumnya tidak menyukainya sungguh membuat tidak nyaman.

"Makanlah dengan tenang, Rein, kami hanya menumpang duduk. Meja yang lain penuh. Kakiku sudah tidak sanggup kalau harus keliling lagi, " ucap Jason akhirnya saat melihat kecanggungan di meja mereka. Dia duduk di sebelah anak itu sedang Zach dan Aiden berada di depan mereka.

Rein, anak laki-laki berambut hitam gelap dengan mata yang memicing tajam ke arah mereka sejak tadi akhirnya kembali fokus pada makanannya. Memilih tidak menanggapi.

"Beberapa kali kami berada di kelas yang sama dulu. Dia juga murid lama Torac. Anaknya memang lebih suka sendirian, " bisik Aiden pada Zach yang masih memandang anak bernama Rein itu. "Sudah, makanlah, kau bilang tidak sabar ingin makan ikan tadi. "

Zach yang awalnya memasang wajah dingin mendadak tersenyum cerah saat Aiden menyebut tentang ikan. Dia yang pecinta seafood jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Dulu, baik saat di istana atau di Owlsville, pengasuhnya tidak akan pernah mengizinkannya memakan olahan seafood apapun yang masih dalam bentuk utuh seperti ini, merepotkan katanya.

Zach menatap nampan di depannya penuh minat. Sekolah ini jelas memperhatikan kebutuhan gizi murid-muridnya. Menunya cukup beragam. Selain salad yang menjadi menu wajib, ada pilihan antara menu oriental, makanan barat, sandwich bahkan sup. Belum lagi makanan penutup dan aneka buah lainnya.

Di antara banyaknya menu makananan itu, Zach, Aiden dan Jason memilih makanan oriental yang lebih berat dibanding yang lain mengingat mereka bahkan melewatkan sarapan pagi tadi.

Ketiganya kelaparan sampai tidak memperdulikan sekitar. Apalagi Zach yang bahkan tidak menyentuh makanan apapun sejak kemarin siang. Dia terlalu bersemangat memasukkan apapun ke dalam mulutnya sampai kemudian sesuatu menghentikan kunyahannya.

Diletakkannya asal sendok yang dipegangnya saat tenggorokannya tiba-tiba terasa sakit. Ada sesuatu yang tajam yang menusuk dan membuatnya susah menelan. Zach terbatuk beberapa kali sambil berusaha meraih botol air mineral yang dia ingat sempat dibawanya tadi.

Aiden yang menyadari batuk Zach yang tidak berhenti segera meraih botol itu dan membukanya, menyerahkannya ke depan mulut Zach agar dia bisa langsung meminumnya.

"Bagaimana bisa tersedak, sih! Astaga, pelan-pelan!" ucap Aiden sambil terus mengelus punggung teman asramanya itu. Jason dan Rein bahkan juga mengangkat wajahnya karena batuk Zach yang tak kunjung mereda.

Zach meminum air itu dengan rakus, berusaha merasakan perih di tenggorokannya yang perlahan membaik tapi tetap tidak menghilang.

"Bagaimana?" tanya Jason.

Zach mengangguk dan mengangkat jempolnya, masih dalam keadaan menunduk. Berusaha menyampaikan bahwa dia sudah merasa lebih baik. Tapi sungguh, sakitnya masih terasa dan dia enggan menggunakan suaranya hanya untuk menjawab mereka. Apakah tersedak duri memang sesakit ini, batinnya.

Saat ketiganya sepakat bahwa Zach memang sudah lebih baik dan akan kembali pada makanan di depannya, mereka yang ada di meja itu dikejutkan oleh kedatangan sekelompok murid dari arah belakang Zach dan Aiden. Bukan murid-murid biasa sepertinya, karena hampir semua yang ada di sana mulai memperhatikan meja mereka saat murid-murid itu mendekat.

"Hi, Bro, long time no see, " Zach mendengar suara tak asing yang sudah cukup lama tidak didengarnya. Mengangkat kepalanya pelan untuk melihat empat anak laki berdiri di dekat meja mereka. Zach melihat sekilas tiga anak laki-laki yang ada di belakang sebelum kembali fokus pada yang paling depan.

Bukan pertemuan pertama karena mata mereka sempat bersitatap saat berada di aula tadi, tapi berada sedekat ini dengan seseorang yang sempat menjadi masa lalu buruknya membuat sesuatu di dalam diri Zach bergemuruh. Ada sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya bahkan mengalihkan rasa sakit di tenggorokannya untuk sesaat. Daniel Radfield, satu nama yang akan membekas di kepala Zach selamanya, bukan dalam artian yang baik.

Suasana di sekitar mendadak sunyi. Ada ketegangan yang hampir dapat dirasakan oleh semua yang ada di sana. Kendati anak laki-laki yang baru datang itu menyapa dengan senyum, tapi mereka bisa merasakan aura permusuhan di antara keduanya. Di tambah lagi, mereka semua yang sudah mengenal Daniel akan bergidik ngeri dengan senyum yang jarang sekali diperlihatkan itu. Anak beasiswa yang dikenal karena prestasi dan kedekatannya dengan sang Ratu Tora itu bahkan jarang sekali mengeluarkan suara sebelumnya.

"Kau mengenal anak baru itu, Dan?" tanya anak laki-laki di belakang Daniel. Dia sedikit penasaran pada anak yang bisa memancing Daniel si dingin untuk bicara sebanyak ini.

"Siapa yang tidak mengenalnya? Murid dengan nilai ujian masuk terbaik tahun ini, Zachary Lautner yang terkenal. Dan kebetulan kami teman lama, benar begitu, Zach?" ucap Daniel kembali, membuat beberapa dengungan di sekitar mereka mulai terdengar.

Zach tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Dia melihat sekitar dan semakin tidak nyaman saat mata-mata yang awalnya acuh mulai tertarik padanya. Di tambah lagi, tiga teman asramanya juga seolah menunjukkan rasa penasaran yang sama. Tak mau semakin membuat keributan, Zach menghela napas dan memilih mengalah kali ini.

"Siapa teman yang Senior maksud? Maaf, sepertinya Senior salah orang, " kata Zach sambil beranjak dari duduknya dengan tiba-tiba, membuat Aiden, Jason dan Rein ikut terkejut. "Permisi, " lanjutnya.

Zach bergerak cepat meninggalkan meja kantin yang masih menjadi pusat perhatian itu. Di belakangnya dia mendengar suara Aiden yang berteriak tentang makanannya yang bahkan belum banyak berkurang. Zach mengacuhkannya. Di hari biasa dia akan dengan senang hati meladeni Daniel yang menyebalkan. Tapi tidak untuk kali ini. Tidak saat dia merasa tenggorokannya semakin sakit dan ada sesuatu yang memaksa keluar dari mulutnya.

Zach menutup mulutnya dengan sebelah tangan sambil terus bergerak cepat mencari toilet terdekat. Beruntung karena tidak jauh dari pintu kantin dia melihat ruangan yang dicarinya dan merangsek masuk, menunduk sekilas saat tidak sengaja menabrak murid lain yang akan keluar. Tanpa menunggu lagi, Zach masuk ke dalam salah satu bilik di sana dan menutupnya rapat.

Dia membuka dekapan tangan pada mulutnya saat sesuatu yang berlendir dan berbau amis memaksa untuk keluar. Matanya membola seketika saat melihat darah segar bercampur dengan air liur memenuhi lantai di sekitar kakinya berada. Zach segera membuka keran dan berkumur saat merasakan cairan itu lagi-lagi memaksa ingin keluar.

Zach merasa tenggorokannya benar-benar sakit sekarang. Ada sesuatu yang tajam yang sepertinya tersangkut di tenggorokannya. Dia sengaja batuk dengan hebat agar benda asing itu segera keluar. Namun, nihil. Cairan dengan aroma besi dan air ludahnya sendiri yang masih setia keluar sejak tadi.

Zach mulai putus asa dengan kondisinya, dia bahkan tidak lagi punya cukup energi untuk membuat batuk kembali. Dengan tangannya yang mulai lemas dia berusaha menyeka apapun yang keluar dari mulutnya. Duduk di atas kloset yang tertutup dengan punggung bersandar pada dinding yang dingin.

"Ini bahkan masih hari pertama, Drew, kau payah sekali, "ucapnya pada diri sendiri.

Matanya memanas saat membayangkan wajah sang ibu dan surat perjanjian yang dia buat sendiri. Dia bahkan belum memulai apapun tapi tubuhnya sudah membuat banyak perlawanan.

Zach mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menekal tombol panggilan cepat dan langsung berbicara bahkan tanpa mengucap salam pada seseorang di seberang panggilan, "Aku di toilet dekat kantin, bilik terakhir. Cepat ke sini. Bisakah Dokter menolongku tanpa membuat kehebohan? Aku masih ingin di sini, ku mohon. "

*******

The Hidden Prince (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang