Bab XVII : Kisah Tiga Sahabat

90 7 4
                                    

Zach hampir menutup matanya saat kesadarannya mulai di ambang batas. Tapi tepukan berkali-kali di pipinya membuatnya kembali membuka mata dengan enggan. Sayup-sayup dia mendengar suara Daniel yang memberi perintah.

"Jaga dia tetap sadar. Jangan dibaringkan! Angkat kepalanya ke pangkuanmu, buat agar lukanya berada lebih tinggi dari jantung. Aku akan mencoba menahan darahnya agar tidak terus keluar. Oh, shit! Kain mana kain! "

Zach yang mendengar umpatan keluar dari mulut si sempurna Daniel terkekeh pelan.

"K-kau bisa mengumpat ternyata, " ucapnya lemah. Kepalanya yang berada di pangkuan Rein terasa sakit sekali. Belum lagi tenaga di tubuhnya yang seolah diserap habis oleh dementor. Dia meringis sakit saat Daniel menarik kencang kain yang membebat lengan atasnya.

"Simpan tenagamu. Jangan mengeluarkan kata-kata tidak berguna, " ucap Daniel setelah selesai membebat dua luka Zach. Dia mengangkat telapak tangan yang sudah terbungkus kain yang diambilnya dari kemeja orang-orang yang tidak sadarkan diri itu dan meletakkannya di atas betisnya yang sengaja dia tekuk tinggi.

Namun, Daniel kembali meringis saat merasakan darah Zach yang merembes keluar. Daniel tidak berani membayangkan seandainya pertolongan untuk mereka tidak segera datang.

"Kalian mencemaskanku? " goda Zach. Dia tahu kedua temannya dalam keadaan kacau. Jadi dengan sisa-sisa tenaganya, dia akan berusaha mengurangi kekhawatiran mereka. Zach kembali terkekeh saat dua temannya tidak ada yang menjawab. "Apa kalian tidak penasaran bagaimana anak-anak akademi akan berkomentar jika melihat kita bertiga? Benar-benar kombinasi yang tidak pernah mereka bayangkan."

"Diamlah, Drew. "

"Baik, aku akan diam. Tapi setelah mengatakan ini. Aku tidak tahu apa aku akan bisa mengatakannya nanti pada kalian. Karena kalaupun aku selamat, keluargaku mungkin tidak akan membiarkanku kembali ke akademi lagi. Jadi, di sini, aku akan bilang terima kasih. Haha.. konyol sekali. Terima kasih karena setidaknya waktuku yang singkat tidak monoton karena ada kalian. Walau jujur saja, kalian benar-benar menyebalkan. Jangan lupa berkunjung ke Owlsville saat libur nanti."

Ketiganya larut dalam pikiran masing-masing sampai tidak peduli pada apa saja yang terjadi di luar. Zach yang sepertinya mulai kehabisan tenaga memutuskan untuk diam. Di ambang batas sadarnya, dia berjanji pada diri sendiri, jika dia masih diberi kesempatan untuk membuka mata nanti, dia akan meminta maaf dengan benar pada Daniel.

*****

"Siapa mereka?" tanya Martin penasaran. Dia yang mengambil duduk di samping sang Kakek mulai tidak sabar saat orang-orang tua itu justru memilih diam.

Mereka ada di istana saat ini. Tepatnya di kamar lama Zach yang mulai digunakan lagi belakangan ini. Ada dirinya, Andreas, William dan Joan duduk mengitari meja bulat di ujung ruangan. Sedangkan Selena dan Sybill memilih duduk di kanan kiri Zach yang masih memejamkan mata.

"Kami dulu menyebutnya untouchable atau unnamed. Karena mereka benar tidak tersentuh dan tidak bernama. Mereka cukup besar dulu saat Kakek masih sebagai tentara aktif. Tapi seperti kemunculannya, mereka juga bisa menghilang tiba-tiba. "

"Lalu 'apa' mereka sebenarnya? Maksudku, tujuan mereka," tanya Joan ikut penasaran.

"Sebelum menebak apa tujuan mereka, Kakek akan menceritakan sesuatu lebih dulu. Sejarah yang sebenarnya tapi dihilangkan dari buku dengan alasan untuk kebaikan. Kakek salah satu yang menentangnya saat itu. Tapi raja dan perdana menteri yang saat itu menjabat sepakat untuk tetap melakukannya walau ada beberapa pihak yang kukuh menolak.

"Kalian pasti sudah pernah membaca tentang sejarah Tora yang mengatakan bahwa sebelum negara kita berubah menjadi Monarki Konstitusi, sebelumnya kita menganut Monarki Absolut. Di buku-buku sejarah dijelaskan bahwa perubahan itu karena Raja sebelumnya yang menyalahgunakan kekuasaan dan menyebabkan kudeta oleh adik raja sendiri.

"Di buku yang kita temui sekarang dijelaskan bahwa kudeta itu dilakukan oleh dua orang yang setelahnya menjadi raja dan perdana menteri pertama. Yang sebenarnya terjadi adalah, ada tiga orang berjasa saat peristiwa itu terjadi. Bahkan satu orang ini dianggap yang paling berjasa karena terlalu banyak yang dia korbankan. Di masa-masa awal aksi mereka, seseorang ini sampai kehilangan istrinya karena kekejaman raja, meninggalkan dirinya dengan seorang anak yang saat itu masih berusia tiga tahun.

"Bukannya menyerah dan melampiaskan dendamnya sendiri, orang ini justru yang paling giat memperjuangkan kebebasan untuk para rakyat. Mereka bertiga berhasil, keluar sebagai pahlawan yang dielu-elukan semua orang. Namun, pertentangan kembali terjadi saat mereka akan memilih perdana menteri pertama. Banyak petinggi negara yang tidak setuju orang ini menjadi perdana menteri. Kalian tahu apa alasannya? Karena walaupun dia lahir dan besar di Tora, ada darah asing yang mengalir dalam dirinya. Para petinggi negara itu tetap yakin bahwa tidak boleh ada orang asing yang menjadi orang nomor satu di negara ini. Bahkan setelah dia menumpahkan banyak darahnya sendiri untuk rakyat yang tidak mendukungnya itu. "

Martin dan Joan menggeleng tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Bagaimana bisa sejarah seperti ini dihapus dari ingatan semua orang. Bahkan, generasi penerus seperti mereka juga tidak akan pernah tahu sejarah mereka yang sebenarnya jika orang-orang dewasa seperti kakeknya memilih untuk bungkam. Ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba memenuhi hati keduanya. Kebanggaan yang mereka punya untuk negaranya seolah ternoda.

"Kami menyebut dirinya The Third Person. Pahlawan berdarah asing yang memutuskan untuk menghilang itu membuat negaranya sendiri. Negara bayangan yang sampai sekarang kita tidak tahu ada di mana dan sebesar apa. Mereka mengumpulkan orang-orang dengan latar belakang yang sama. Kesepian, ditinggalkan, dikucilkan, tidak dianggap. Mereka berada di balik layar pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di negara-negara itu.

"Mereka yang memasok senjata, mengalirkan dana ilegal pada kandidat-kandidat yang tampak haus kekuasaan. Mereka ingin menghancurkan negara-negara yang terlihat maju tanpa harus turun tangan. Orang ini lah yang sedang kita hadapi sekarang. Dan firasat ku mengatakan, Kelan sudah masuk jebakan mereka. "

Keempat laki-laki itu masih sibuk dengan pikirannya masing-masing saat terdengar lenguhan dari ujung yang lain. Mereka semua serentak beranjak dari tempat duduknya dan bergegas mendekat.

"Cerita Kakek tidak seru. Aku bahkan sudah membaca bukunya. Jauh lebih lengkap dari yang Kakek ceritakan, " ucap Andrew sambil menguap lebar. Membuat sang ibu reflek menutup mulutnya cepat.

"Dasar nakal. Pantas saja orang itu langsung curiga padamu. Mana ada anak seumuran kalian yang tahu sejarah negara yang asli jika bukan berasal dari keluarga yang berpengaruh. "

"Biarkan saja. Lalu bagaimana dengan orang-orang itu? Apa bisa dilacak lewat Mr. Mourice? "

"Mourice itu pembelot yang mengkhianati kelompoknya sendiri. Dia lebih mengutamakan dendam pribadinya dan tergesa-gesa dalam membuat keputusan. Kau tahu? Dia orang yang mengejar ibunya saat di peringgi dulu. Itulah kenapa dia sangat terobsesi pada keluarga kerajaan.

"Tentu saja unnamed tidak butuh orang seperti itu. Tidak ada bantuan saat kami menangkapnya. Walau seperti itu, dia menutup mulutnya rapat, tidak mau membuka apapun. Dia cukup setia."

"Jadi, setelah semua yang ku alami kita tetap tidak tahu siapa yang kita hadapi? "

Martin mengusap lembut rambut adiknya. Wajah itu belum menunjukkan rona bahkan setelah tiga hari dirawat, tapi, sang adik sudah kembali cerewet seperti sedia kala.

Keputusan untuk berhenti dari akademi sudah diambil malam sebelumnya. Sesuatu yang membuatnya semakin sakit adalah respon sang adik yang justru menurut tanpa perlawanan.

Kemarin malam, saat mereka punya waktu berdua dan Martin berkesempatan menanyakan alasan kenapa dia tidak menolak, Andrew menjawab tegas.

"Aku tahu batasanku. Aku tidak mau melewatinya dan membuat orang lain mengorbankan diri mereka hanya karena keiinginanku. "

**End**

The Hidden Prince (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang