Bab 1 : The Boy Who Hide His Feelings

216 9 9
                                    


Seekor kuda hitam bersurai gelap melesat lincah mengelilingi pagar pembatas yang tidak terlalu tinggi. Di atas pelananya, seorang remaja berbadan tinggi tengah mencari posisi yang tepat untuk menyeimbangkan tubuhnya, tidak terlalu membungkuk, tidak pula terlalu membusung. Setelah cukup nyaman dan dirasa aman, tangannya menarik tali kekang untuk mempercepat laju kudanya. Saat berada di belokan, sang penunggang kembali melakukan hal yang sama untuk memberi sinyal pada hewan itu agar segera berbelok.

Tepat saat mencapai lintasan lurus, remaja itu menegakkan tubuhnya secara perlahan, kakinya menjejak sanggurdi untuk mempertahankan posisi, dan mengangkat busur panah di tangannya, mencoba fokus pada target di tengah lapang yang terlihat kecil dari jaraknya. Matanya memicing mencari angka sepuluh dan menarik busur itu tanpa ragu.

Bingo!
Anak panahnya mengenai tepat di pusat papan target, membuatnya menarik senyum sekilas sebelum tangannya kembali menarik tali kekang, menegakkan tubuh, menarik anak panah dan kembali membidik sasaran. Beberapa kali dia melakukan gerakan serupa sampai empat anak panah yang dia bawa tertancap sempurna.

Tersisa satu anak panah lagi. Targetnya kali adalah papan target berbentuk manusia yang posisinya cukup jauh dari papan sebelumnya. Dia mengincar bagian dada, salah satu titik vital favoritnya.

Diketatkannya pegangan tali kekang , tubuhnya menegak kaku agar keseimbangannya tidak goyah. Pandangannya fokus pada titik incarannya, tali busurnya mengetat saat targetnya terkunci. Tepat di detik terakhir dia akan melepas anak panahnya, terdengar suara keras yang membuat konsentrasinya sempat terganggu.

"Apa yang kakek katakan tentang pelindung, Zach? Jangan bilang kalau kau lupa, karena itu mustahil."

Anak panah itu sudah terlanjur dilepaskan. Keraguannya di detik-detik terakhir membuat remaja bernama Zach itu tidak terlalu yakin dengan hasil akhirnya. Dia mengurangi kecepatan laju kuda tunggangannya sambil terus memerhatikan anak panahnya yang melesat.

Dan benar saja, bukannya di dada, ujung anak panah itu justru menancap pada leher sasarannya. Memang sama-sama vital, tapi hal itu membuatnya berdecak sebal karena bukan target yang ingin dia capai sebelumnya.

Dengan tetap berada di atas kuda hitamnya yang mulai melambat, Zach mencoba meraih anak panah di punggungnya. Namun, nihil. Lima anak panah setiap kali berlatih, padahal dia sudah tahu itu, tapi dia tetap mencobanya dengan harapan bahwa Sam, asisten kakeknya yang sekarang juga menjaganya, menambah satu saja jatah anak panah untuknya.

Zach mendengkus sebal. Sama sekali tidak puas dengan hasilnya hari ini. Dia mungkin bukan jenius dalam segala hal, tetapi jika menyukai sesuatu, dia suka kesempurnaan.

Dan hasil latihannya kali ini cukup untuk membuatnya menggerakkan dengan lesu kuda jantan kesayangannya itu menuju dua orang laki-laki paruh baya yang berdiri di pinggir lapangan dengan tatapan yang berbeda, pak tua dengan pengeras suara di tangannya memandangnya marah, sedang laki-laki yang memegang handuk tampak pucat pasi.

Remaja bersurai hitam legam dan bermata besar itu menuruni kudanya dengan pelan ketika sampai di depan keduanya. Bukannya langsung menyapa, dia justru mengulur waktu. Bermain-main sebentar dengan Hero, kuda kesayangannya, mengelus sayang kepala dan surainya lalu menciumnya pelan.

Saat seorang laki-laki lain datang dan memegang tali kekang Hero untuk di bawa kembali ke istal, mau tidak mau dia berbalik untuk menghadap kakek dan asistennya itu.

"Pagi, Kakek!" sapanya ceria. Menunjukkan deretan giginya yang rapi dengan dua yang paling depan tampak lebih menonjol dari yang lain, berharap dapat mengendurkan gurat kaku di wajah kakeknya. Kakeknya marah, dia tahu.

The Hidden Prince (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang