Bab XII : Call Me Zach

64 7 0
                                    

Selena menatap sendu remaja lima belas tahun yang terbaring di depannya dengan jarum infus yang menancap di tangan kiri. Sudah lebih dari sepuluh jam berlalu sejak Martin menghubunginya dan memberitahu kabar tentang Andrew yang dibawa ke rumah sakit universitas, tapi anak itu bahkan masih setia dalam pejamnya.

Dr. Marvin bilang adiknya sempat bangun tadi. Namun, efek obat yang mereka berikan membuat Andrew mengalami demam dan mengeluh sakit kepala. Bulir keringat bahkan memenuhi dahinya sejak tadi. Anak itu pasti lebih memilih terus terpejam daripada terbangun dan harus merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Selena mengelus punggung tangan Andrew yang bebas jarum infus. Sesekali mengangkat dan menciuminya pelan. Sesuatu yang hanya bisa dia lakukan saat seperti ini karena Andrew pasti mengamuk setiap kali dia melakukan kontak fisik. Anak itu benar-benar tidak suka saat Selena memeluk atau menghujaninya dengan ciuman gemas. Kekanakan, katanya.

Hubungannya dengan Andrew seperti kakak perempuan dan adik laki-laki pada umumnya. Mereka berdebat sesekali, saling menggoda, bahkan saling mengejek. Tapi seperti pada Martin, Andrew akan lebih memilih mencarinya dibanding orang tua mereka saat mengalami kesulitan.

Namun, semuanya sedikit berubah sejak tiga tahun lalu. Andrew meninggalkan istana tanpa diizinkan menggunakan alat komunikasi terlalu sering, membuat hubungan mereka sedikit merenggang.

Belum lagi kegiatan Selena sejak menjadi mahasiswa dan ketua Sacred Seven yang tidak ada habisnya. Selena selalu menyesali waktu-waktu absennya dalam hidup sang adik. Bahkan sebagian besar pertemuan mereka setelah itu selalu dalam keadaan seperti ini, di rumah sakit dan Andrew tidak baik-baik saja.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Martin yang juga memilih datang saat sudah hampir tengah malam. Menghindari tatapan penasaran dari banyak pihak.

Mereka ada di rumah sakit universitas saat ini. Bangunan yang berada dalam satu kawasan dengan Tora Academy itu termasuk salah satu rumah sakit di Tora dengan fasilitas yang lengkap. Dokter Marvin memutuskan langsung membawa Zach ke mari melihat kondisinya yang mengkhawatirkan dan butuh penanganan segera.

"Anak itu menelpon dan memintaku datang ke toilet dekat kantin. Aku berusaha sampai secepat mungkin karena suaranya terdengar tidak baik. Sampai di sana, ku lihat ada satu anak yang berdiri ragu di depan bilik terakhir. Aku mendorong pintunya pelan dan terkejut saat melihat Andrew terduduk di kloset dengan bersandar pada dinding. Ku rasa kesadarannya mulai hilang saat itu. Ada banyak bercak darah di lantai dan mulutnya. Aku hanya sempat membersihkan yang ada di mulut dan meminta anak yang berdiri di dekat pintu membersihkan lantai."

Dokter Marvin menyeka keringat di dahinya. Dia benar-benar dibuat panik tadi. Warasnya seolah terenggut saat melihat Andrew yang hampir kehilangan kesadarannya dengan darah di mana-mana.

"Kau tahu siapa anak itu, Ax?" Selena mendengar Martin bertanya pada Joan yang juga ada di ruangan itu. Mereka bertiga duduk di sofa panjang tak jauh dari brangkar Andrew berada. Masih dengan setelan kerja masing-masing.

"Salah satu roommate Andrew di asrama. Kami sempat bertemu kemarin malam. Aku bilang padanya untuk tidak mengatakan apapun. Mr. Charles juga akan mengurus berita yang muncul di forum akademi. Alergi makanan atau anemia, sesuatu seperti itu. "

"Syukurlah kalau begitu. Tetap pantau, jangan lengah. Aku benar-benar tidak ingin Andrew menarik banyak perhatian selama sekolah di sini. Tapi, Dokter, kenapa aku merasa kondisi Andrew agak berbeda belakangan ini? Gejala-gejala yang dialaminya terasa baru dan berbeda dari biasanya. "

"Kau tahu penyakitnya tidak akan bisa sembuh. Apa yang kita lakukan selama ini hanya untuk mencegahnya semakin buruk," kata Dr. Marvin sambil menghela napas.

"Kita harus lebih hati-hati mulai sekarang. Sesuatu yang sepele untuk orang lain bisa sangat fatal untuk Andrew.  Tapi yang paling sulit tentu mengendalikan rasa penasaran anak itu sendiri. Dengan kondisinya, kita sebenarnya membutuhkan kerja sama dengan orang-orang yang selalu ada bersamanya. Tapi masih terlalu dini untuk percaya pada anak-anak yang bahkan belum genap dua puluh empat jam dia temui."

"Aku mengandalkan kalian untuk menjaganya di sekolah, " ucap Selena setelah cukup lama memilih diam. "Dokter yang paling tahu apa yang harus dilakukan. Jadi jika ada sesuatu yang terjadi-- walau aku berharap ini yang terakhir-- lakukan tindakan apapun untuk adikku."

"Kami mohon kerjasamanya," ucap Martin "Aku harus pulang sekarang. Aku akan mengurus ibu. Ponselku dan Selena sudah seperti di teror penagih hutang sejak siang tadi. "

Setelah berbicara sedikit lebih banyak mereka akhirnya membubarkan diri. Ada perasaan tidak rela yang memenuhi hati Selena, tapi dia tidak punya pilihan. Mereka harus pergi dari sana sebelum ada yang mulai curiga kenapa Putra Mahkota dan Tuan Putri Tora ada di rumah sakit selarut ini.

******

"Tak perlu pura-pura lagi. Aku tahu kau sudah terbangun sejak tadi, " ujar Dr. Marvin santai tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di pangkuannya.

Zach mendengkus dan membuka matanya perlahan. Sedikit menyipit saat cahaya yang kelewat terang mulai memasuki indranya. Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas infus untuk menutupi cahaya itu sampai matanya bisa beradaptasi.

"Bisakah Dokter mematikan lampu utama? Mataku sakit, " ucap Zach dengan suara seraknya. Tenggorokannya masih sakit bahkan untuk sekedar menelan air liurnya sendiri.

Dr. Marvin beranjak dari tempat duduknya dan menuruti kemauan pasiennya itu sebelum akhirnya duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Selena.

"Kenapa pura-pura tidur tadi? Kau tidak ingin menyapa kakak-kakakmu?"

Zach hanya mengangkat bahunya. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya. Mungkin jarak itu benar adanya. Tanpa sadar, ada sekat yang perlahan membesar di antara dirinya dan kakak-kakaknya. Dan Zach tidak siap jika dia yang harus lebih dulu menghancurkan sekat itu.

"Akan ada sedikit kehebohan karena kejadian ini. Seorang murid baru ditemukan tak sadarkan diri di dalam toilet jelas menjadi berita besar. Kau harus menjawab sesuai skenario yang kami buat jika nanti ada yang bertanya, mengerti, Drew?"

Zach mengangguk patuh. Dia sendiri tidak menyangka jika rasa penasarannya justru berakhir bencana. Sungguh memalukan jika orang lain tahu. Dia harus di rawat di rumah sakit hanya karena tersedak duri ikan, amat sangat tidak dapat dipercaya.

"Oh, ya. Ku harap ini menjadi pelajaran untukmu. Lebih berhati-hati. Kau yang paling tahu di mana batasanmu jadi aku tidak akan bicara banyak. Ini baru hari pertama dan kau sudah tumbang. Kakakmu berusaha keras meyakinkan orang tuamu jika kau ingin tahu. Mereka memohon agar kau diberi kesempatan lagi. Jadi, demi dirimu sendiri dan juga mereka, tetaplah sehat. "

"I know. Kapan aku bisa keluar dari sini?"

"Kau sendiri yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tanya pada tubuhmu. "

Zach mencoba merasakan seluruh bagian tubuhnya. Badannya lemas luar biasa, tenggorokannya sakit apalagi saat dia berbicara dan kepalanya seolah-olah ditarik dari segala sisi. Dia memilih untuk memejam kembali.

"Bantu aku agar segera keluar dari sini, Dok. Suntikkan apapun yang memungkinkan. Aku tidak mau semakin menarik perhatian jika di rumah sakit terlalu lama."

"Ya, aku usahakan. "

"Dan satu lagi. Jika Dokter bertemu teman-teman Dokter itu nanti, bisakah aku memohon satu hal? Call me Zach, please. Bahkan saat aku tidak ada di antara kalian sekalipun. Jangan membuatku semakin krisis identitas. "

*******

The Hidden Prince (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang