[Prolog]

2.3K 135 11
                                    

[Tahun pertama kepemimpinan Putra Mahkota]

[Kerajaan Barat daya]

Tepat satu tahun setelah terbunuhnya Yang Mulia Raja, para penghuni kerajaan Barat daya berkumpul untuk mengenang kepulangan sang pahlawan mereka. Dialah ayahanda dari Putra Mahkota--pemimpin saat ini, yang terbunuh ketika misi perang dengan kerajaan Utara.

Walau sang Raja telah dikalahkan, tapi kuasa kerajaan tetap tak bisa direbut pihak lain begitu saja. Putra mahkota, dia langsung menetapkan diri sebagai pengganti ayahnya ketika di medan perang itu juga. Keberaniannya tak gentar, walau sekujur raganya gemetar akibat menyaksikan kematian sang ayahanda.

Namun, keberaniannya saat itu tak cukup untuk membawa pulang kemerdekaan. Nyatanya, perang dengan kerajaan Utara masih saja bergejolak. Hingga serangkai petuah  meluncur dari bilah seorang dukun. Supaya Putra Mahkota mempersembahkan satu dari banyaknya rakyatnya, untuk Dewa penguasa gunung. Dengan harapan agar Dewa itu akan menyelamatkan negeri mereka.

Yah, pikiran kolot nan berkarat itu, telah menggelapkan nurani mereka.

Kini, semua orang, berbondong-bondong mengarak persembahan menuju tanah tertinggi. Entah berapa banyak lentera yang menerangi jalanan becek dan licin itu. Mereka bahkan, tak peduli jika seseorang yang menjadi persembahan, menangis sembari meronta.

Pemuda itu tak mau dijadikan tumbal.

"Tolong ... Aku tak mau mati ...." Dia merintih. Suaranya serak, hampir tak terdengar. Dia kelelahan. Dan, hampir putus asa.

Namun, tak ada selembar telinga pun yang menangkap permohonannya. Semua orang hanya berjalan, wajah mereka tak peduli pada si pemuda dalam kurungan.

Pemuda itu menjatuhkan tangannya. Dia tak lagi mencekram jeruji kayu, energinya telah habis. Terkuras karena menangis. Malang sekali, pemuda tan belasan tahun itu ditinggalkan seorang diri. Di tengah hutan kelam nan mencekam. Entah, dia tidak tahu, hewan buas mana yang akan memangsanya kemudian.

Tirtanya menetes. Dia mengatupkan bibirnya, berusaha menahan isakan. Dia takut, sangat takut. Rimba ini begitu bising. Suara seperti kepakan sayap burung bersahutan dengan angin yang kencang. Juga serangga-serangga yang menjerit, begitu menakutkan. Kalau saja kurungan ini tak terkunci, pastilah dirinya akan melarikan diri. Pergi ke mana saja, asal tidak terjebak di sini. Dia juga tak akan kembali ke desa tempat asalnya.

Mentang-mentang dirinya hanyalah seorang yatim piatu yang tak memiliki apapun, lantas mereka seenaknya saja membuang dirinya ke gunung. Dukun sialan! Raja dan semua orang, mereka orang-orang gila sialan!

Air matanya menetes lagi. Padahal, esok dirinya hendak panen labu. Bagaimana nasib kebun dan bebek-bebek peliharaannya. Ah, hanya kebun kecil di samping rumah, dan dua ekor unggas itu pasti akan diambil pemerintah. Walau hanya itu yang dia punya, tapi semua itu tidak akan bisa melunasi hutang pajaknya pada kerajaan.

Dia menyeka matanya. "Kebun nenek." Pemuda itu bergumam. "Padahal aku mau makan labu rebus dan--"

"--Labu rebus?!"

Pemuda itu terkejut. Dia melotot, mencari sumber suara yang menyahutinya. Lantas satu sekon kemudian, tersadar lah dirinya. Jikalau suasana rimba telah berubah. Tidak ada lagi suara serangga, semuanya senyap. Bahkan angin pun rasanya tak lagi melesat. Hanya ada pepohonan yang berdiri tegap.

"Aku juga mau labu rebus!"

Mulutnya hampir saja berteriak, kala seorang pria meloncat dari atas dahan pohon. Bak muncul dari kegelapan. Si pria berjalan mendekati kurungan, setelan gadingnya nampak kotor. Sandal jeraminya nyaring berbunyi ketika menapak rumput. Pria dengan surai legam dan sedikit panjang itu berjongkok. Menghadap pemuda yang hanya membeku.

HAJEONGWOO SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang