[First chapter]

995 125 4
                                    


Kaki tanpa alasnya mengusir rerumputan basah. Embun yang bercampur dengan tanah mengotori telapaknya. Pemuda itu berlari sembari menyeka wajah. Menyingkirkan air mata yang membuat jarak pandangnya memudar. Isakannya bersahutan dengan kokokan ayam hutan.

"Haru, Haruto!" Dia menyuarakan vokalnya dengan lantang. Namun, bergetar.

Pemuda itu, si kecil Jeongwoo berlarian di hutan. Hanya untuk mencari seseorang yang baru dikenalnya semalam, Haruto.

Entah, sesaat setelah dia membuka mata, pria setengah-setengah itu sudah tidak nampak di rumah. Membuat Jeongwoo kebingungan, khawatir, juga takut akan ditinggalkan sendirian. Kemarin saja, dirinya ditinggalkan penduduk desa. Lantas, apa sekarang Haruto juga?

Menyesal kah Haruto, karena telah memungutnya?

"Haru ...." Pemuda itu ambruk.

Dia terduduk, dan kembali menyeka wajahnya. Bagaimanapun, Jeongwoo hanyalah seorang remaja. Dia tidak bisa tidak menangis akibat takut akan kesendirian. Sudah cukup selama ini dia hidup sendiri. Bahkan, tak ada seorangpun tetangga yang berbaik hati padanya. Hanya karena, dirinya ini tak punya apa-apa.

Fajar belum mencuat, hutan dingin ini nampak kelam. Jeongwoo rasa, dia tak apa jika ada seekor serigala yang hendak memangsanya. Itu akan lebih baik daripada--

"Hey, Jeongjeong."

Manik sayunya membola sempurna, kala kedua telinganya mendengar suara yang berat. Dia mendongak, lantas berdiri secepat kilat. Si kecil Jeongwoo membuka kedua tangannya.

Dia meloncat untuk memeluk Haruto.

"Haruto!" Jeongwoo terisak lagi.

Beberapa labu yang dibawa Haruto berjatuhan. Akibat si kecil yang secara tiba-tiba menubrukan tubuhnya. Wajahnya mengernyit, bingung dan heran bercampur dalam kepalanya. "Kau ... Baru saja ku tinggal memetik labu tapi--"

"--Kenapa kau meninggalkanku, Haru?!" Jeongwoo melirih.

"Semalam kau bilang mau makan labu rebus, kan? Makanya aku turun gunung untuk labu."

Labu?

Jadi, Haruto tidak meninggalkan Jeongwoo. Ah, tidak. Makhluk itu tetap meninggalkannya. Dia pergi memetik labu sendirian. Untuk Jeongwoo? Sepagi ini, bahkan sebelum fajar?

"Hey, Jeongjeong. Mau sampai kapan kau melekat padaku?"

Jeongwoo terkesiap. Dia baru sadar jika sedari tadi melekat pada tubuh jenjang Haruto. Bukannya melepaskan belitan tangannya pada tubuh Haruto, anak itu malah mengeratkan pelukannya. Dia mendongak, menatap wajah pucat Haruto yang sedang menatapnya.

"Tolong gendong aku," pinta Jeongwoo.

"Hah?!" Haruto mengerutkan wajahnya lagi. "Kenapa aku harus?!"

"Ayolah, aku lelah mencari mu."

"Aku tak menyuruhmu mencari ku, sialan."

Jeongwoo tidak bergeming. Dia cemberut, dan masih menempel. Tatapannya nampak menjengkelkan bagi Haruto. Ugh, dari mana anak manja ini berasal? Batin Haruto. Maka, terpaksalah makhluk setengah-setengah itu mengiyakan pinta Jeongwoo. Haruto memungut labu yang tadi berjatuhan. Lantas mengangkat si kecil naik ke punggungnya. Dia mengerlingkan maniknya, kala mendengar suara tawa Jeongwoo yang renyah.

"Nampaknya kau sangat bahagia membuatku kerepotan ya, Jeongjeong kecil?"

Yah, fajar pun muncul bersamaan dengan seri Jeongwoo di atas punggung si jenjang. Kokokan ayam tak lagi terdengar menyeramkan. Bahkan, rasanya pagi ini kaya akan kehangatan dua insan. Padahal, jelas-jelas mereka baru saja berkawan semalam. Akan tetapi celotehnya seolah sudah dekat ribuan tahun saja.

Maka, inilah awal mula terbebatnya ikatan antar dua insan kesepian.





ווו×





"Kau lihat, yang di sana adalah angsa."

Haruto menggulirkan maniknya ke arah di ujung telunjuk Jeongwoo. Dahinya berkerut sedikit. Menatap lekat-lekat sepotong awan di atas. Tubuhnya berjemur di halaman rumah, terlentang di sebelah si kecil. Jeongwoo itu, ternyata dia suka sekali berceloteh. Lihatlah, anak itu senang sekali berimajinasi dengan awan.

Angsa, katanya?

Ah, sudahlah. Terserahnya saja. Toh, Haruto tak memiliki kesempatan untuk menjawab semua perkataannya. Jeongwoo berisik sekali. Akan tetapi, Haruto tidak merasa terganggu sama sekali. Sebab, ini adalah kali pertama mendengar seseorang yang berbicara banyak padanya. Sejak dulu, tak ada satu manusia pun yang sudi mengobrol dengannya. Bahkan, menyapa saja tidak ada.

Setiap kali Haruto turun gunung untuk menjual hasil kebun dan kayu, manusia-manusia itu tak ada yang meliriknya dengan sorot yang tulus. Haruto dapat mendengar bisikan-bisikan mereka, soal tubuh pucatnya yang mencurigakan. Padahal, dirinya sudah pakai tudung dan menutupi sebelah matanya. Namun, manusia-manusia itu, mereka mengira jika dirinya adalah seorang aneh dan penyakitan.

Hey, hanya karena pucat dan berpakaian tertutup ketika terik, bukan berarti Haruto berpenyakit!

"Haru, nanti siang aku ingin membuat sup," ujar Jeongwoo.

Haruto bangkit. Dia terduduk, lalu mengacak asal rambutnya. Menyingkirkan daun yang menempel. "Isi kepalamu itu hanya makanan saja, ya?" Haruto terkekeh. Dia pikir, si kecil ini agak konyol. Baru saja mereka makan labu rebus beberapa jam lalu. Dan, sekarang Jeongwoo kembali ingin sup. Anak itu benar-benar dalam masa pertumbuhan kiranya

"Tidak!" Jeongwoo menggelengkan kepalanya. Dia ikut terduduk. Sebelah maniknya menutup ketika jemari Haruto merapikan poninya, agar helaian rambut tidak menghalangi pandangan. "Aku juga berpikir hal lain," kata Jeongwoo.

"Apa?"

"Aku tidak tahu, tapi aku yakin pasti memikirkan sesuatu."

Haruto tergelak. Si kecil benar-benar konyol. Sebenarnya, apa saja yang mengisi kepalanya itu?

Labu rebus?

"Kenapa malah tertawa?" Kepalanya miring beberapa derajat. Bibir mungilnya mengerucut, Jeongwoo kebingungan. "Haruto, kenapa tertawa?"

"Kau itu lucu." Haruto mengetuk-ngetuk dahi si kecil dengan telunjuknya. "Seperti bayi beruang," ungkapnya.

Jeongwoo tidak suka disamakan dengan beruang. Bagaimanapun, dirinya itu tidak bulat dan berbulu. Haruto itu bagaimana, sih. Makhluk pucat itu bodoh. Dirinya, Jeongwoo si anak mandiri ini kan, langsing dan tampan.

"Aku tidak suka beruang!" ucap Jeongwoo, sedikit menaikkan nadanya.

"Kenapa?"

"Beruang itu bulat. Aku tidak!"

Haruto tergelak lagi. Dia mencubit salah satu pipi si kecil. "Kau juga bulat. Seperti beruang."

"Aku tidak!"

Lantas, setelahnya hanya adegan di mana Jeongwoo nampak tak senang diejek sebagai beruang. Anak itu merajuk, mengancam tidak mau makan siang. Namun, peduli apa Haruto dengan ancamannya itu. Dia tahu, si kecil pasti tidak akan tahan jika sudah melihat makanan.

















































-Takoya_taki-

HAJEONGWOO SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang