[Second chapter]

767 108 6
                                    

"Dengar, aku tidak peduli kau lapar atau tidak."

Si kecil semakin mengerucut. Dia tidak percaya dengan apa yang diucapkan Haruto. Benarkah makhluk itu tidak peduli terhadapnya. Jahat sekali. Huh, Jeongwoo lapar. Dia ingin makan sup nya juga. Akan tetapi, sekarang ini dirinya sedang kesal dengan Haruto. Karena makhluk itu sedari tadi mengejeknya sebagai beruang.

Ah, sup wortel dan ikan. Jeongwoo belum pernah mencobanya. Dia tidak tahu, jika ada makanan jenis itu. Biasanya, dirinya hanya makan kentang rebus, atau mungkin labu. Ya, Jeongwoo tidak mampu untuk beli ikan. Apalagi daging. Dia selalu tidak punya uang. Bahan makanan hanya didapatnya dari hasil berkebun saja. Tidak ada seorangpun yang mau mempekerjakannya, karena dirinya masih terlalu muda.

Jeongwoo menelan ludah, ketika menyaksikan Haruto yang melahap potongan ikan. Dia juga lapar. Bahkan, mungkin suara perutnya kini terdengar layaknya guntur. Bergemuruh begitu kencang. Akan tetapi, Jeongwoo terlalu malu untuk menyinduk sup. Dia kan, sedang kesal.

Akhirnya, Jeongwoo hanya beranjak dari tempatnya. Dia berbalik badan, dan pergi keluar dari gubuk milik Haruto. Membuat si empunya heran--lagi, dan bingung hendak berbuat apa.

"Uuh ... Aku lapar," ringisnya. Sembari terus berjalan ke arah samping rumah. Jeongwoo berhenti di tepi sungai tak jauh dari halaman. Dia menengok pantulan dirinya di permukaan air. Sangat jelek. Wajahnya ini begitu buruk dipandang. Ia tidak suka. Benci.

Maniknya berkaca-kaca. Selain karena lapar, Jeongwoo juga jadi teringat akan anak-anak tetangga yang sering mengejeknya jelek. Dan, miskin. Seperti pengemis. Memang, dia sadar akan dirinya yang tidak semenarik mereka. Namun, Jeongwoo memang tidak memiliki apapun. Dirinya tidak memiliki baju bagus seperti orang lain. Dirinya juga lusuh. Sampai-sampai dibuang ke hutan.

Sebenarnya, jika neneknya masih ada, Jeongwoo ingin sekali mengeluh kepadanya. Ingin menangis. Hatinya yang tidak seberapa ini, bisa sakit juga jika diejek.

Ah, Jeongwoo jadi menangis.

Memang ya, jika sedang lapar pasti jadi sensitif. Jeongwoo malah terisak sembari memandang arus air yang pelan. Bahkan, si kecil itu sampai tak sadar akan kehadiran makhluk setengah-setengah di belakangnya.

Haruto menghela nafasnya. Entah, dia merasakan aura menyedihkan di sekitarnya. Apa iya, anak itu menangis karena dirinya yang bilang tidak peduli padanya? Jika benar, Haruto menjadi sangat merasa bersalah. Dia kan, hanya bergurau saja.

Haruto duduk di sebelah Jeongwoo. Dia menengok wajah si kecil. Benar-benar merah, air matanya mengucur deras. Haruto mengusap sebutir tirta yang hendak meluncur ke pipi Jeongwoo. Dia tidak peduli dengan keterkejutan anak itu. Haruto malah tersenyum segaris. Lantas, menepuk pelan surai si kecil beberapa kali.

Persis, seperti yang sering ibunya lakukan dulu ketika Haruto menangis.

"Haru, aku jelek, kan?"

Haruto mengernyit, lagi-lagi heran. Ada apa dengan anak ini, mendadak bertanya hal yang aneh. Dia menghela nafas lagi, tubuhnya digeser hingga dekat sekali dengan Jeongwoo. Maniknya menabrak retina si kecil yang basah. "Kenapa?" tanyanya.

"Anak-anak di desa, sering sekali bilang jika aku jelek," Jeongwoo terisak-isak. "Apa aku seperti pengemis?" Dia lanjut menangis. Hingga bibir mungilnya menekuk ke bawah, layaknya meleleh. Mata sipitnya juga mengatup. Akibat memeras air mata.

Haruto, makhluk itu tidak tahu apa yang telah Jeongwoo lalui selama ini. Sampai-sampai si kecil bilang begitu. "Tidak, Jeongwoo." Haruto menyentuh kedua pipi anak itu. Dia membiarkan telapaknya basah. Wajah si kecil menjadi hangat karena letupan emosi. "Kau tidak jelek. Tidak seperti pengemis," ujarnya.

HAJEONGWOO SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang