[Thirteenth Chapter]

767 89 4
                                    

"Tuan Jihoon ...."

"Jika kerajaan kalah, apa yang akan terjadi?"

Sehelai daun terjatuh dari tempatnya. Dihembuskan angin menjauh entah kemana. Mentari telah berpindah posisi, tetapi tak ada seekor pun ikan yang tersangkut di kail. Bahkan setelah Jihoon mengambil alih pancingan dari Haruto. Makhluk jangkung itu sudah lelah menunggu ikan, makanya dia tak masalah kala Jihoon bilang ingin menggantikannya. Haruto berpindah ke dahan yang lebih tinggi. Dia bersandar dan menutup wajahnya dengan topi jerami. Agaknya Haruto berniat untuk tidur siang.

Kini hanya dua orang yang menunggu ikan. Jihoon yang melempar kail, sedangkan Jeongwoo bertugas mengisi ulang cacing. Pria ibu kota itu mulai senang berbicara dengan si kecil. Sebab dirinya anak tunggal, Jihoon tidak pernah bisa berbicara terlalu banyak dengan orang lain. Ternyata babi-babi hutan itu telah menggiringnya ke tempat yang tepat. Mempertemukannya dengan bocah cerewet. Rasanya, jika Jihoon bertemu babi lagi, dia akan mengucapkan terimakasih.

Jihoon membuat senyuman di wajahnya. Lesung pipinya nampak tak begitu dalam. "Jika kerajaan kalah, pihak yang menang akan mengambil alih kekuasaan," jawab Jihoon.

"Eeh? Lalu kita bagaimana?"

"Entah, mungkin gunung ini juga akan mereka kuasai," kata Jihoon. Dia menarik tali pancing, ternyata umpannya lolos lagi. Jihoon meminta Jeongwoo mengaitkan cacing ke kail lagi. "Mungkin kalian akan menjadi rakyat raja baru. Dan aku, mungkin akan dijadikan tahanan."

"Tapi Tuan, gunung ini kan milik Haruto."

"Benarkah?"

Jeongwoo mengangguk. Anak itu memandang hutan di seberang sungai. Tatapannya mengerut, seolah tengah berpikir serius. "Haruto tidak akan menyerahkan gunung ini pada siapapun," ucapnya. Pandangannya turun, menengok air yang tak pernah berhenti mengalir. "Tuan Jihoon juga, tidak akan menjadi tahanan."

Jihoon senang mendengarnya. Akan tetapi, dirinya sudah pasti akan ditangkap jika ditemukan, ia akan menjadi tahanan. Atau mungkin langsung dieksekusi di tempat. Ya, tak apa. Mungkin mati pun tak apa. Toh, dirinya tak memiliki siapapun untuk pulang.

"Haruto tak akan membiarkanmu ditahan orang jahat."

Jihoon menarik pandangannya pada  Jeongwoo. Entah mengapa, anak itu terdengar serius.

"Di sini, Haruto lah rajanya," ujar Jeongwoo. Jemari-jemari kecilnya menyentuh telapak Jihoon. Menggenggamnya hangat. "Mereka harus mengalahkan Haruto dulu, baru bisa menguasai gunung!"

Jihoon membolakan mata. Kemudian dia tertawa kecil. Senang sekali mendengar semuanya dari bibir mungil Jeongwoo.

"Tuan Jihoon, jangan tertawa. Haruto tak akan membiarkanmu jadi tahanan," kata Jeongwoo lagi. "Dia akan bertarung demi kita."

"Haa?! Kau bilang siapa yang bertarung?!"

Jeongwoo sontak terkejut. Haruto mendadak berteriak dari atas. Suara beratnya bahkan membuat burung-burung terbang ketakutan. Rupanya Haruto mendengarkan ocehan Jeongwoo. Makhluk itu tidak terima jika dirinya disuruh bertarung. Memangnya, Haruto itu kesatria? Huh, ini bukanlah kisah dongeng. Di dunia nyata, seorang kesatria tangguh pun tak akan menang jika bertarung sendirian. Apalagi melawan satu kerajaan.

"Haruto, kau akan melindungi kami dari orang jahat, kan?" tanya Jeongwoo. Anak itu mendongak, menatap Haruto.

"Tidak. Kau pikir kau seorang putri, apa?"

Jeongwoo mendengkus. Dia kesal. Haruto begitu ketus hari ini. Memangnya hanya seorang putri yang harus Haruto lindungi. Makhluk itu sepertinya tidak menyayanginya sama sekali. Mungkin Haruto tidak peduli jika dirinya ditangkap penjahat nanti. Ugh, Jeongwoo kesal. Sangat kesal.

HAJEONGWOO SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang