[Seventh Chapter]

697 106 11
                                    

Rembulan telah beranjak pergi. Giliran fajar yang muncul kembali. Pendarnya menari-nari, menelusup masuk ke celah dahan. Menembus rimba yang penuh dengan kabut dingin. Embun sisa nafas pohon semalam, kompak berbaring di rerumputan. Sehingga bentang hijau di sepanjang tanah, menjadi basah.

Cahaya-cahaya obor sederhana di sebuah rumah tunggal di hutan, satu persatu padam. Haruto, sang empunya kediaman membuka pintu utama. Membiarkan sedikit asap dari obor yang dipadamkannya berlarian keluar. Dia membawa selembar kain dan setelan bersih, pergi menuju sungai untuk mandi.

Sebenarnya, dirinya memiliki bilik mandi. Hanya saja, si kecil Jeongwoo tengah menggunakannya. Anak itu mandinya lama sekali, sehingga Haruto keburu bosan menunggu giliran.

Makhluk jangkung itu menyimpan setelannya di tepi. Dia berjalan ke sisi sungai yang lain, untuk menjemput sewadah keladi beracun yang direndamnya semalam. Haruto tersenyum sedikit. Dia tidak sabar untuk membuat keripik keladi.

Ditaruhnya wadah keladi di sisi setelannya. Ia segera menceburkan diri ke aliran sungai yang teramat sejuk. Seketika membangunkan syrafnya yang masih mengantuk. Haruto rasa, tulang-tulangnya hampir membeku karena air dingin. Dia bergidik. Lantas, melucuti pakaian tidurnya di dalam air.

Haruto membasuh wajahnya yang kering. Dia bercermin pada pantulan air. Melihat matanya yang tidak sewarna. Dia agak terganggu dengan warna merah di manik kanannya. Begitu mencolok. Namun, Haruto tetap suka. Sebab itu adalah salah satu yang diwariskan sang ayah. Ibunya bilang, fisik Haruto sangatlah mirip dengan ayahnya.

Yah, seingat Haruto memanglah begitu.

Dia menghembuskan nafas panjang. Duduk di bebatuan yang tenggelam. Haruto menyugar rambut basahnya. Berendam sembari memandang hutan yang sunyi--

"Haruto!"

Tidak sunyi.

Jeongwoo malah berteriak di pagi hari.

"Haru!"

Anak itu berlarian keluar rumah. Jeongwoo belum memakai baju dan hanya mengenakan selembar handuk saja. Anak itu celingukan mencari Haruto. Berteriak memanggil si jangkung. Dia sama sekali tidak menyadari jikalau Haruto sedang berendam di sungai. Jeongwoo malah mau berlari lurus ke hutan.

"Jeong, aku di sini!" Haruto memanggilnya. Dia menghentikan gerak kaki si kecil. Membuat Jeongwoo mencari sumber suara, dan menoleh ke arah samping rumah. Anak itu berhembus lega. Bibirnya menekuk ke bawah. Kedua maniknya turut berembun, lengkap dengan hidung yang merona. "Ada apa?" tanya Haruto. Kala Jeongwoo telah sampai di tepi sungai.

Anak itu terduduk di rumput. Berhadapan dengan Haruto yang masih betah berendam. "Kupikir kau meninggalkanku lagi," rengeknya. Dia teringat momen ketika Haruto turun gunung di pagi buta, dan meninggalkannya sendirian.

Tadinya, Jeongwoo yang baru selesai mandi, tidak mendapati Haruto di kamar. Bahkan setelah mencari di seluruh rumah pun, anak itu tidak menemukannya. Sehingga Jeongwoo pergi keluar untuk menyusul Haruto. Karena dia pikir, Haruto meninggalkannya turun gunung.

"Aku hanya mandi. Kenapa kau sampai menangis begini?" tanya Haruto lagi. Dia menyentuh hidung Jeongwoo. Membuat anak itu merenggut karena jari dingin Haruto.

"Kubilang aku takut ditinggalkan lagi!" ketusnya. "Aku belum menangis!" Dia tidak terima disebut menangis.

"Kau menangis. Kau cengeng, dan penakut."

"Kau jahat sekali, Haruto!"

Haruto tertawa. Dia tidak pernah tahu jika Jeongwoo akan membuang muka padanya. Rupanya, si kecil Jeongwoo marah. Bahkan, anak itu sampai cemberut dan mendengkus. Wajahnya merah padam.

HAJEONGWOO SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang