[Fourteenth Chapter]

715 90 6
                                    


"Orang gila!" Jihoon berlari sekencang yang ia bisa. Tangannya sibuk mengontrol sebatang kayu besar dengan manusia yang terikat. Jihoon menggunakan sihirnya untuk membawa sang persembahan kabur. Dia tidak berekspektasi sama sekali, jikalau Haruto akan melemparkan batang kayu ke arahnya.

Bagaimana jika dirinya tertimpa dan mati?!

Jihoon tidak peduli dengan apa yang Haruto lakukan setelahnya. Mungkin tak ada gunanya mengkhawatirkan orang itu sekarang, toh Jihoon sudah tahu kalau Haruto lumayan pandai menindas orang. Dia telah menyaksikannya tadi.

Kakinya terus berpacu tanpa henti, Jihoon sadar jika energi supranaturalnya mulai terkuras lumayan banyak. Membawa batang pohon dan manusia sekaligus itu perlu tenaga ekstra. Ya, sebenarnya Jihoon bisa saja melepaskan si persembahan terlebih dahulu, dan menyuruhnya untuk ikut berlari. Akan tetapi, dia tidak mau menyia-nyiakan batang kayu besar.

Lumayan untuk dijadikan bahan bakar.

Akhirnya rumah tua milik Haruto terlihat jua. Jihoon mempercepat larinya, kemudian nampaklah si kecil Jeongwoo menyembulkan kepalanya dari celah pintu. Anak itu membola kala menyaksikan Jihoon menurunkan batang kaju besar di pekarangan. Pintu utama berdecit seraya Jeongwoo membukanya lebar-lebar.

"Tuan Jihoon, kau menebang pohon?" Dia berlari kecil, menghampiri Jihoon. Lantas beberapa sekon kemudian, maniknya kembali membola. "Kau menculik orang?!" pekiknya. Terkejut akan kehadiran seseorang yang terikat. "Tuan Jihoon, kenapa kau mengikatnya seperti ini? Bagaimana jika dia mati?!"

Anak kecil itu terus saja mengoceh. Padahal yang sempat akan mati kan, Jihoon. Andai Jeongwoo tahu bagaimana kelakuan keji Haruto padanya tadi. Jihoon hanya menghela nafasnya, membiarkan si kecil melepaskan sang persembahan pada batang kayu. Sedangkan dirinya memeriksa keadaan sekitar, matanya tidak dapat melihat apapun, selain hutan yang gelap.

"Tuan Jihoon, kemana Haruto pergi?" Jeongwoo meraih ujung baju Jihoon. Anak itu mencari Haruto sedari tadi, katanya hanya akan membilas keladi. Akan tetapi, tidak ada siapapun di sungai. "Apa dia ikut menebang pohon?"

"Y-ya, dia ... Dia akan menyusul sebentar lagi," kata Jihoon. Berharap Haruto baik-baik saja, dan segera kembali. Untunglah si kecil Jeongwoo hanya berpikir jikalau dirinya dan Haruto pergi menebang pohon. Kalau anak itu sampai tahu hal yang sesungguhnya, maka akan dipastikan dia akan menangis khawatir.

Sudah beberapa saat, tetapi Haruto belum muncul juga. Jihoon baru terpikir, bagaimana jika Haruto kalah bertarung. Ada banyak orang yang menjadi lawannya. Arg, haruskah Jihoon kembali ke sana, dan memeriksanya. Namun, energinya sudah hampir habis. Kalaupun dirinya pergi, Jihoon tak dapat berbuat banyak. Bertarung dengan kelompok dukun itu, tidak cukup hanya dengan mengandalkan pedang saja. Mesti pakai energi supranatural juga.

Persetan. Dia tidak dapat diam saja!

"Jeongwoo, aku perg--"

Seketika semilir angin berhembus menerpa pekarangan. Sesosok makhluk nampak bergerak di bawah keremangan rembulan, melesat dari balik rimba dengan begitu cepat. Itu Haruto. Sebelah tangannya melempar seorang manusia ke tanah. Orang yang tak dikenal itu tidak sadarkan diri.

"Kak Jaehyuk?!"

Semua orang dikejutkan dengan pekikan sang persembahan. Lelaki yang sempat terikat itu buru-buru meraih pria yang tergeletak. Dia meraupnya begitu erat. Terdengar isakan yang bergema samar. Orang itu sepertinya menangis. Entah, mungkin saja si persembahan mengenal pria yang Haruto bawa.

Haruto menghembuskan nafasnya. Dia cukup lelah, kakinya bahkan memiliki goresan halus sebab terkena ranting dan rumput tajam saat berlarian di hutan. Tangannya juga kotor, ada bercakan darah yang menempel di sana.

Ketika hendak menyusul Jihoon tadi, tanpa sengaja Haruto menemukan seseorang dengan luka terbuka di betisnya, berjalan terseok-seok. Mengikuti bekas tapak Jihoon yang tercetak di tanah. Nafasnya tersengal, tetapi tetap saja memaksakan diri untuk bergerak. Orang itu nampak bergetar, dia bergumam hal yang tak dapat Haruto dengar dengan jelas.

"Asa ... Asahi ..."

"Adikku, Asahi ..."

"Lepaskan adikku ... Jangan bawa Asahi."

Haruto pikir, orang dengan luka terbuka itu adalah saudara si persembahan. Mungkin dia datang untuk menyelamatkan saudaranya. Entah apa yang telah dia lewati sampai terluka begitu. Hanya saja, rasanya Haruto tidak dapat membiarkannya sekarat di tengah hutan sendirian. Bukannya kasihan, gunung ini milik Haruto. Dirinya tidak mau ada bangkai manusia menyedihkan mendekam di hutan.

Makanya, Haruto membawanya pulang.

Haruto meminta Jihoon untuk membawa keduanya masuk ke dalam. Sedangkan dirinya menjatuhkan diri pada Jeongwoo di hadapannya. Haruto mendekap anak itu, mengisi ulang energinya yang hampir habis. "Aku pulang, Jeong," ucapnya. Haruto menjadi lega setelah melihat Jeongwoo nya baik-baik saja di rumah.

Sekarang tidak perlu khawatir akan orang-orang yang mencemari hutan. Si dukun payah dan anak-anak buahnya telah Haruto manipulasi dengan mereka ulang ingatannya. Sangat mudah bagi Haruto untuk melakukannya, sebab dukun itu palsu. Si tua bangka hanya mendapatkan energi supranatural dengan cara instan. Mungkin saja orang itu telah melakukan perjanjian dengan setan gentayangan.

"Haah ...." Haruto menghembuskan nafasnya lagi. Begitu lega sebab dia berhasil menyingkirkan petaka dari bumi miliknya.

"Haruto." Tangan-tangan si kecil mendorong tubuh Haruto menjauh darinya. Anak itu menatap manik Haruto yang masih memakai penutup di salah-satunya. "Kenapa kau dan Jihoon menculik orang?"

Haruto tak bereaksi banyak. Sudah terduga, pasti Jeongwoo akan berspekulasi yang macam-macam. Namun, agaknya anak sedikit berlebihan dengan menuduhnya menculik orang. Untuk apa Haruto melakukan hal demikian. Manusia kan, hanya merepotkan. Kecuali Jeongwoo.

"Aku tidak menculik siapapun, Jeong," kata Haruto.

"Lalu?"

"Aku dan Jihoon, kami justru menyelamatkan mereka."

Jeongwoo mengerutkan keningnya. Dia memiringkan kepalanya sedikit. Ingin mendengar lebih banyak penjelasan dari Haruto. Akan tetapi, Haruto malah membungkam saja. Dia menarik tubuh anak itu dengan kedua tangannya. Membawa Jeongwoo ke dalam gendongannya. Lantas melangkah ke dalam rumah. "Temani aku berendam di sungai, kau harus menggosok punggungku," titahnya. Pergi menuju tempat peralatan mandi.

"Haruto, kau harus menjelaskan padaku dulu!"

"Menjelaskan apa?"

"Kenapa kau dan tuan Jihoon membawa orang-orang itu? Kenapa kalian berdua tidak mengajakku menebang pohon?"

Haruto terkekeh. Dia mengusak surai si kecil. Wajah Jeongwoo nampak merah padam, anak itu rupanya kesal tidak segera diberikan penjelasan. Lagipula, Haruto tidak mau Jeongwoo mengetahui hal yang sebenarnya. Dia pikir, Jeongwoo akan ketakutan jika mendengar kata dukun dan persembahan. Bagaimanapun juga, Jeongwoo memiliki ingatan buruk. Haruto hanya tidak mau Jeongwoo nya mengingat hal yang buruk. Dia tidak ingin si kecil miliknya ini menjadi suram.

"Besok akan kujelaskan semuanya," kata Haruto. "Sekarang, temani aku berendam, ya?"

Bahu si kecil turun. Padahal kan, dirinya hanya penasaran saja. "Baiklah."























































Hi, Taki di sini!
Bagaimana kabar kalian?
Taki akan slow update, sebab sedang agak sibuk. Terimakasih.

-Takoya_taki-

HAJEONGWOO SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang