[Sixteenth Chapters]

288 58 24
                                    

"Tuan Haruto, ada apa?"

Angin yang berhembus di setiap batang bambu dan ranting, menyebarkan irama bak pentungan. Derap langkah yang sedari tadi menapak rumput kering terhenti. Jaehyuk penasaran, mengapa Haruto tertegun secara mendadak. Keduanya tengah mengumpulkan rebung sedari pagii, keranjang keduanya sudah terisi lumayan banyak. Jaehyuk pikir, dirinya bisa segera pulang untuk menghitung hasilnya bersama Asahi dan Jeongwoo. Akan tetapi, mengapa Haruto hanya berdiri saja?

"Tuan Haruto, kenapa diam saja?" tanya Jaehyuk lagi.

Bukannya menyahuti, Haruto malah memejamkan maniknya. Dia bak berkonsentrasi penuh. Jaehyuk tidak berani menginterupsi lagi. Beberapa saat kemudian, dua ikat kayu bakar dijatuhkan Haruto dari genggamannya. Maniknya pun ikut terbuka, sekilas nampak kilatan merah pada salah satunya. Membuat Jaehyuk tercengung. Alis Haruto yang menekuk ke dalam membuat Jaehyuk berpikir, jika si setengah-setengah sedang dalam mode marah. Akan tetapi, marah akan apa?

"Jaehyuk, kau hafal jalan pulang, kan?"

Jaehyuk mengangguk. Tentu saja dia hafal. Sudah dua bulan semenjak dia diselamatkan Haruto dan memutuskan untuk tinggal bersama yang lain di gunung.

"Kalau begitu pulanglah sendiri, bawakan kayu-kayu ini. Aku ada urusan mendesak."

Lantas Haruto pergi, berlari begitu kencang. Sampai Jaehyuk tak sempat bertanya apapun lagi. Bahkan si penjual sayuran itu tidak dapat menilik gerak langkah Haruto, karena saking cepatnya. Yah, tak heran lagi. Haruto kan penghuni gunung, sudah seharusnya orang itu memiliki kemampuan berlari cepat di hutan, kan?

Jaehyuk memungut dua ikat kayu bakar yang tergeletak. Kedua tangannya membawa kayu, lalu di punggungnya sekeranjang rebung dan tanaman liar. Ck, ck, ck. Jaehyuk benar-benar sudah menjadi pria gunung seutuhnya. Yah, begitulah pikir Jaehyuk. Karena di desa tempatnya tinggal dulu, tidak perlu mengumpulkan rebung dan kayu bakar. Semuanya lengkap di jual di pasar. 

Jaehyuk menghela nafasnya, dia merasa lega karena telah pindah dari keramaian untuk tinggal di gunung ini. Ketika dirinya dan Asahi kembali ke desa sesaat setelah sembuh, ternyata rumah dan gerainya telah hirap. Rata dengan tanah. Perkataan Haruto kala itu benar. Pemerintah menginginkan lahan kecil secara cuma-cuma. Argh, perbuatan mereka benar-benar keji!

Untunglah, ketika dirinya dan Asahi kembali ke gunung, Haruto menyambutnya dengan hangat. Tidak, sebenarnya wajah orang itu datar saja. Dan, hanya bilang, "tinggal lah bersama kami." Bagi Jaehyuk, Haruto adalah malaikat penyelamat. Sungguh, Jaehyuk amat bersyukur. Kini dirinya pun masih berjualan sayuran. Dia menjajakkan hasil kebun dan perburuan Haruto juga Jihoon. Dirinya membuka toko kecil, sangat kecil di daerah perbatasan sebelah Utara. Di sana sangat aman, dan jauh dari perang.

Karena tempatnya yang agak jauh, makanya Jaehyuk hanya berjualan seminggu sekali saja. Wilayah perbatasan sangat ramai dengan rombongan- rombongan musafir. Tak ayal jika apapun yang dijajakan selalu habis terjual. Keuntungan berjualan dipakai untuk memenuhi hidup dirinya, dan semua orang yang tinggal di hutan.

Entah mengapa, Jaehyuk rasa dirinya seperti kembali memiliki keluarga. Bukan cuman asahi saja. Jaehyuk bahagia, amat bahagia akan hidupnya yang sekarang.

"Wohoo ... Kau sudah kembali Nak pedagang!"

Itu Jihoon. Si pria kekar sedang berleha-leha di teras rumah. Dia menyeka keringatnya dengan kain. Rupanya Jihoon telah menyelesaikan tugas garapan hari ini juga. Yah, mantan tentara tidak perlu diragukan. Padahal kan, ladang milik Haruto cukup luas untuk dikerjakan sendirian.

Jaehyuk segera menjatuhkan barang bawaannya. Dirinya menerima segelas air yang dituang Jihoon. Lantas meneguknya sembari ikut duduk di teras. Sudah mulai petang, akan tetapi mentari masih sangat cerah. Untunglah ada angin yang rutin berhembus, sehingga tetap sejuk walaupun terik.

HAJEONGWOO SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang