Siapa pun yang hadir di tempat ini sudah pasti tahu bahwa tempat ini bukan tempat yang menyenangkan. Tidak ada tawa bahagia dalam tempat ini. Hanya ada tangisan dari beberapa orang yang meratap karena harus berpisah dengan seorang yang mereka kasihi, sedangkan sisanya hanya terdiam entah karena menahan rasa sedihnya atau sedang menaruh simpati kepada keluarga yang berduka.
Ya, tidak ada yang mau berpisah dengan seorang yang mereka kasihi apalagi berpisah untuk selama-lamanya, tidak terkecuali seorang pria yang saat ini sedang meratapi kepergian istrinya. Semua orang yang hadir di tempat pemakaman ini menatap prihatin seorang pria yang duduk di depan peti istrinya. Pria itu hanya terdiam, namun kesedihan sangat tampak di matanya. Ucapan belasungkawa yang dari tadi diberikan kepadanya hanya dia respons dengan gumam, seakan nyawanya sudah ikut pergi bersama istrinya.
Ia tidak menyangka istrinya pergi secepat ini, bahkan istrinya belum merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Bagi Arsa – pria yang sedang meratap itu- , Gayatri – istrinya - adalah separuh hidupnya. Jadi, ketika Gayatri tidak lagi bersama dengannya, ia merasa separuh nyawanya juga ikut pergi bersama Gayatri. Padahal ia pikir mereka akan berpisah sejenak, berpisah di antara ruang operasi dengan ruang tunggu namun ternyata takdir seolah mengkhianatinya. Seharusnya saat ini ia melihat istrinya yang sedang memberi ASI kepada anaknya yang baru hadir di dunia, bukan melihat istrinya tertidur di dalam peti. Seharusnya sekarang ia bersama istrinya di Apartemen mereka yang kecil namun hangat dan bukan di tempat pemakaman yang suram dan dingin ini. Pikiran pria itu dipenuhi dengan skenario yang berjudul "seharusnya" tapi ia juga sadar bahwa skenario dalam pikirannya hanya menjadi sebuah imajinasi saja.
"Arsa, makan dulu ya, gantian sama mama," Ayudia, mertuanya tidak tega melihat kondisi suami dari anaknya saat ini. Selama ini Ayudia percaya Arsa tulus mengasihi Gayatri, anak semata wayangnya. Binar mata yang selama ini ia lihat dari putrinya ketika putrinya bercerita tentang Arsa atau senyum tulus yang selalu Gayatri berikan kepada Arsa, kini sudah tidak bisa ia lihat lagi. Hatinya juga ikut sedih dan hancur mendengar kabar putrinya sudah meninggalkan dunia ini, namun ada satu jiwa yang baru hadir di dunia ini yang butuh kasih sayang. Cucunya memang saat ini tidak bisa merasakan kasih dari mamanya, namun sebagai seorang nenek ia dapat memberikan kasih sayang seorang ibu kepada cucunya. Jadi, ia berusaha tegar demi cucunya.
Arsa hanya menjawab dengan anggukan pelan. Arsa menyadari kondisinya saat ini, ia sadar bahwa sang istri tidak bersamanya lagi dan ia harus bangkit dari rasa kesedihannya. Tetapi, hatinya masih tidak mampu untuk menerima kenyataan sejak mendengar jam kematian istrinya. Ia tahu tapi ia tidak mengerti mengapa hatinya terasa sakit sekali menyadari bahwa ia harus terpisah selamanya dengan istrinya. Dengan lemah Arsa kemudian mulai berdiri dari kursi penyambut dan berjalan menuju meja yang sebelumnya sudah disiapkan beberapa camilan untuk menjamu para pelayat yang hadir, kemudian duduk di sana. Beberapa kursi, meja, dan juga camilan sengaja disiapkan untuk para pelayat yang mungkin ingin duduk sebentar untuk mengobrol dengan keluarga atau kerabat yang berduka sembari mengenang pengalaman mereka bersama Gayatri.
Arsa kemudian mengambil asal sebungkus roti, membukanya, dan makan sembari matanya yang tidak berpaling dari foto Gayatri yang ditaruh di depan peti, seakan takut jika ia berpaling sebentar saja ia akan melupakan melihat wajah cantik Gayatri. Sebenarnya, ia tidak bisa memikirkan kondisi perutnya yang belum terisi makanan. Selera makannya hilang. Namun, karena ia menghargai mama mertuanya dengan terpaksa ia makan meskipun ia tidak bisa merasakan rasa dari roti yang ia makan.
Saat roti yang ia makan sudah mau habis, tiba-tiba indra perasanya mengecap sesuatu yang familier. Arsa baru menyadari bahwa ternyata ia sedang makan roti coklat. Roti kesukaan Gayatri. Pikirannya mendadak memunculkan sebuah kilas balik di mana Gayatri akan memasang wajah cemberut ketika ia mendapati Arsa memakan roti coklat miliknya. Mendadak ia rindu sekali ingin melihat wajah cemberut Gayatri lagi, air matanya keluar dan tidak bisa ia tahan. Tak lama air mata itu menjadi isakan tangis. Tidak ada yang menenangkan dia, semua orang yang ada di tempat itu seakan serempak memberikan waktu bagi Arsa untuk meluapkan perasaannya.
Sampai ada suara tangisan lain yang menghentikan tangisan Arsa. Suara tangisan tersebut berasal dari seorang bayi yang sedang digendong oleh papa mertuanya. Ya, bayi itu adalah putrinya, yang bahkan belum sempat ia beri nama. Rasa bersalah kemudian hinggap di hati Arsa ketika menyadari bahwa selama ini dia sibuk dengan perasaannya sendiri sampai tidak memperhatikan putrinya. Sang mertua sudah berusaha untuk menenangkan cucunya namun rupanya tidak berhasil. Arsa kemudian mendekat dan meminta izin untuk menggendong putrinya. Tangisan putrinya kemudian berhenti ketika Arsa menggendongnya.
"Dia sepertinya ikut sedih melihat ayahnya sedih" kata ayah mertuanya sambil menatap cucunya yang dengan cepatnya terlelap dalam gendongan Arsa. "Arsa, maaf kalau waktunya kurang tepat untuk membicarakan hal ini, kami bersedia merawat cucu kami jika kamu kesulitan untuk merawatnya" lanjutnya. Arsa memang kehilangan separuh jiwanya namun separuh jiwanya yang tersisa adalah putrinya. Sehingga, dengan tegas Arsa menolak tawaran dari ayah mertuanya. Tidak ada yang boleh memisahkan dia dengan putrinya. Ia hanya punya putrinya. Orang tuanya sudah meninggalkannya sejak masih kecil, sekarang Gayatri pergi meninggalkan dia dan putrinya, tinggal putrinya yang ia miliki, dan akan ia jaga miliknya dengan baik.
Kemudian Arsa – masih dengan mengamati wajah putrinya yang terlelap – berbisik pelan, "Gantari, anak papa, tolong bantu papa ya untuk merelakan mama. Papa minta maaf tidak bisa mengenalkan mama, papa janji akan temani Gantari dan akan selalu bersama Gantari. Jangan tinggalkan papa ya nak, papa sayang kamu." Gantari yang artinya pembawa cahaya, nama yang sudah ia dan Gayatri rencanakan. Awalnya, ia membayangkan nama Gantari sebagai pembawa harapan bagi Arsa dan Gayatri. Namun, meskipun pada kenyataannya ia tidak bisa bersama Gayatri menyambut Gantari; ia bersyukur kehadiran putrinya tetap seperti namanya, yaitu membawa cahaya di tengah hidupnya yang gelap karena ditinggal Gayatri. Saat itu juga Arsa berjanji dalam hatinya akan menjadi ayah sekaligus menjadi ibu yang baik untuk putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grief
General FictionArsa Bratadikara belajar untuk menerima kenyataan bahwa orang yang ia kasihi pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tapi, dalam prosesnya, menerima kenyataan tidaklah mudah. Banyak hal yang harus Arsa lakukan untuk dapat memahami bagaimana cara...