Tidak mempedulikan tubuh dan pikirannya yang sudah lelah, Arsa mengendarai mobilnya menuju sebuah tempat yang cukup jauh sebenarnya untuk ditempuh namun ia harus menuju ke sana untuk sekali lagi membuktikan dugaannya. Setelah setengah jam berada di jalan, ia tiba di rumah mertuanya. Arsa tidak pernah menginjakkan kaki di sini sejak lima tahun yang lalu. Datang ke rumah mertuanya menurutnya sama dengan menyerahkan Gantari kepada mertuanya, tetapi untuk memastikan dugaannya mau tidak mau ia datang ke rumah ini. Padahal dulu sebelum Gantari hadir di dunia ini, Arsa sering kali sengaja datang ke rumah ini untuk dapat melihat Gayatri.
Ting Tong! Tok! Tok! Tok!
Arsa tidak tahan menunggu. Tidak peduli tetangga di kanan dan kiri akan mengomel atau ia akan dimarahi oleh mertuanya karena bertamu di waktu selarut ini, yang penting ia harus segera membawa Gantari keluar dari rumah ini. Tak lama, Pram, ayah mertuanya membukakan pintu. Pram tidak dapat menutupi wajahnya yang terkejut melihat kedatangan menantunya di malam yang selarut ini. "Arsa? Ada apa datang selarut ini?" Mengetahui Arsa yang ternyata datang, Ayudia, ibu mertua Arsa segera menyusul menemui Arsa.
"Di mana Anta?" tanya Arsa tanpa basa basi. "Anta tidur di kamar, tadi kami mau mengantar dia pulang tapi Anta sudah tertidur duluan jadi kami tidak tega membangunkannya," Ayudia yang menjelaskan kepada Arsa. "Ayo Arsa, masuk dulu. Kamu juga malam ini tidur di sini saja, temani Anta," ajak Pram. Arsa kemudian masuk ke dalam rumah dan segera masuk ke kamar yang adalah kamar Gayatri sebelum tinggal bersama dengannya. Ia menemukan Gantari sedang tertidur di sana. Arsa kemudian segera menggendong Gantari di punggungnya kemudian berjalan keluar dari kamar. Namun, sebelum keluar dari kamar Gantari terbangun dan menyadari bahwa sekarang dia berada dalam gendongan papanya. "Papa?" tanya Gantari, ia belum menyadari situasi saat ini, namun ketika Arsa berjalan keluar ke arah pintu rumah Gantari baru tersadar di mana ia saat ini. "Papa, mau turun" Arsa kemudian tanpa bersuara menurunkan Gantari dari gendongannya kemudian menggandeng tangan Gantari dengan erat. "Arsa," tegur Pram. Pram menahan Arsa di depan pintu, terlalu berbahaya membiarkan Arsa menyetir selarut ini.
Arsa tidak menghiraukan teguran Pram dan berusaha untuk segera keluar dari rumah. Tidak tahan melihat sikap Arsa yang keras kepala, Pram terpaksa berjalan ke arahnya hendak mengambil alih Gantari namun Arsa tidak membiarkan Pram melepaskan tangannya dari Gantari, ia menggengam tangan Gantari lebih erat kemudian membawa Gantari ke belakang punggungnya seakan tidak mau kehilangan Gantari. "Papa sakit!" rengek Gantari namun dihiraukan oleh Arsa. Dari belakang, Ayudia kemudian berusaha melepaskan Gantari dari Arsa. Namun, Arsa segera membalikkan badannya dan menggagalkan usaha Ayudia untuk melepas gengaman Arsa dari Gantari.
"Arsa lepasin tanganmu dari Anta, dia kesakitan!" tegur Pram dengan suara yang lebih keras. "Arsa jangan lepaskan Anta, mereka mau membawa Anta pergi!" suara Gayatri tiba-tiba terdengar kembali. Arsa kemudian menolehkan kepalanya dan melihat bayangan Gayatri di sebelahnya yang memasang wajah ketakutan. "Arsa, tolong lepaskan Anta" pinta Pram lagi. "Papa," kata Gantari dengan suara yang gemetar karena takut dengan sikap Arsa yang tiba-tiba berubah. "Lari Arsa," suara Gayatri kembali mendesaknya. Arsa merasa sangat pusing, ia kemudian menundukkan kepalanya berusaha menghilangkan rasa pusingnya. "Arsa, tenang, kami tidak akan mengambil Anta. Tolong sekarang lepaskan tanganmu," pinta Ayudia dengan suara memohon. Arsa masih bergeming sampai ia kembali menoleh dan bukan menemukan bayangan Gayatri namun menemukan Gantari yang menangis kesakitan.
Sebuah kilas balik kemudian tanpa permisi menghampiri ingatan Arsa. Potongan-potongan ingatan yang asing muncul dalam pikirannya. Sebuah ingatan bahwa hal yang serupa pernah terjadi sebelumnya, di mana kedua mertuanya meminta dia untuk melepaskan Gantari. Tapi, kilas balik ingatannya tidak berhenti di situ. Muncul sebuah kilas balik yang lebih mengerikan. Ia melihat dirinya yang membentak Gantari, dan Gantari yang tidak sadarkan diri dengan darah yang keluar dari kepalanya. Arsa sangat pusing dan frustrasi kenapa ada memori mengerikan ini. Ia tidak ingat dengan peristiwa ini. Memori yang ia ingat adalah mertuanya yang memaksa dia untuk menyerahkan Gantari kepada mereka dan melarang Arsa untuk bertemu Gantari. Bukan memori mengerikan ini. "Arsa," panggil Ayudia lagi. Arsa akhirnya melepaskan gengamannya dari Gantari dan memukul kepalanya berusaha menghilangkan ingatan yang menyakitkan ini.
Ayudia kemudian memeluk Gantari untuk menenangkan Gantari yang menangis ketakutan, sedangkan Pram berusaha menghentikan Arsa yang memukul kepalanya. Arsa kemudian menangis histeris, dan masih berusaha memukul kepalanya meskipun sekarang sudah berhasil ditahan oleh Pram. "Arsa, tenang!" seru Pram, namun Arsa masih histeris. "Jangan bawa Anta!" "Anta jangan pergi!" racau Arsa. Beruntung, tidak lama setelah Arsa histeris, suara kendaraan berhenti di depan rumah mereka. Pram dan Ayudia menarik nafas lega melihat Bara segera keluar dari mobil dan masuk ke rumah mereka. Menyadari kehadiran Bara, suara Gayatri muncul lagi, "Arsa lari! Bara jahat! Dia mau bawa Anta!" Arsa kemudian memberontak dan berusaha menarik Gantari dari pelukan Ayudia. Namun, Pram dengan cepat memeluk Arsa, menahan Arsa dengan sekuat tenaga supaya berhenti memberontak. Bara kemudian segera menyuntikkan obat penenang kepada Arsa. Perlahan tenaga Arsa melemah, namun ia tetap meracau meminta Gantari untuk tidak pergi, sampai akhirnya Arsa tidak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grief
General FictionArsa Bratadikara belajar untuk menerima kenyataan bahwa orang yang ia kasihi pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tapi, dalam prosesnya, menerima kenyataan tidaklah mudah. Banyak hal yang harus Arsa lakukan untuk dapat memahami bagaimana cara...