Waktu berjalan sangat cepat, tidak terasa tahun sudah mau berganti. Seperti biasanya, setiap bulan desember semua gereja di seluruh dunia kompak memperingati maupun merayakan hari natal. Arsa baru saja selesai mengikuti acara natal yang diadakan oleh persekutuan "keluarga Allah" –nama persekutuan yang mereka usul supaya setiap orang yang berada di dalamnya saling menguatkan di tengah masa berduka mereka seperti sebuah keluarga sehingga melalui kehadiran satu sama lain mereka dapat merasakan Tuhan Allah menghibur dan menguatkan mereka —. Dalam acara tadi, selain bernyanyi dan mendengarkan renungan, mereka merayakan natal dengan tukar kado. Jadi, setiap anggota akan memberikan kado kepada temannya di dalam persekutuan tersebut, juga menerima kado dari temannya. Menariknya mereka -termasuk Arsa- sepakat untuk memakai sistem acak. Jadi, mereka akan membawa kado yang sudah terbungkus barang yang ketika melihat barang tersebut mereka akan teringat keluarga atau sahabat terkasih mereka yang sudah tidak lagi berada di dunia ini. Lalu, mereka akan mengumpulkan menjadi satu kemudian dengan sistem undian siapa yang mendapat urutan pertama berhak memilih salah satu kado tersebut -yang tentu bukan miliknya- begitu seterusnya sampai semua sudah mendapatkan kadonya. Setelah semua sudah mendapatkannya, satu per satu membuka kado yang mereka pegang dan pemilik asli dari kado tersebut dapat menceritakan alasan memberi kado tersebut. Jadi, tujuan dari acara tukar kado ini seperti saling memperkenalkan teman atau keluarga mereka yang saat ini sudah tidak bisa hadir di antara mereka.
Arsa mendapatkan pensil warna satu set yang berisi dua belas warna. Temannya -yang memberikan kado tersebut- menceritakan bahwa anak pertamanya suka sekali dengan kegiatan mewarnai. Dulu, temannya -yang berprofesi sebagai arsitek- setiap malam meluangkan waktu untuk menggambar apa pun yang terlintas di pikirannya saat itu, dan gambar tersebut yang nanti akan diwarnai oleh anaknya. Sayang, sepuluh tahun yang lalu, anak pertamanya tidak lagi bisa mewarnai gambarnya karena sudah meninggal akibat sakit leukimia yang dideritanya. Saat ini, ia tinggal bersama dengan istri dan anak keduanya. Meski sudah sepuluh tahun berlalu, dia dan istri dengan anaknya masih sering merindukan anak pertamanya ini. Jadi, selain bergabung dalam persekutuan ini, mereka juga masih menyimpan pensil warna milik anaknya. Setiap mereka rindu, mereka akan menghibur diri mereka dengan melihat pensil warna tersebut. Pensil warna yang Arsa terima adalah pensil warna yang baru temannya ini beli. Tapi, meskipun baru atau lama, kenangan bersama anaknya masih temannya ini ingat. Arsa tersentuh mendengar cerita dari temannya. Ia membayangkan, jika anak dari temannya ini masih hidup mungkin usianya tidak jauh jaraknya dari Gantari dan mungkin Gantari bisa menjadi temannya.
Arsa sendiri memberikan kado salah satu novel karya Leila S. Chudori. Meskipun kado yang ia berikan adalah novel terbaru penulis tersebut dan tentu saja belum sempat dibaca oleh Gayatri, tapi setiap melihat nama penulis tersebut ia teringat dengan istrinya. Dulu, Gayatri suka sekali berbicara tentang novel atau cerpen yang mengangkat isu sosial. Gayatri adalah lulusan hukum sedangkan Arsa adalah lulusan akuntansi. Jadi, setiap Gayatri membahas isu-isu sosial dan politik Arsa tidak terlalu mengerti, begitu sebaliknya setiap Arsa membahas soal matematika atau berkaitan dengan keuangan Gayatri tidak terlalu mengerti. Mereka berbeda, tetapi justru perbedaan itu tidak menghalangi relasi mereka. Perbedaan minat dan kemampuan mengajarkan mereka untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain. Sekalipun Arsa tidak suka dan mengerti novel atau cerpen yang Gayatri suka ceritakan kepadanya, ia tetap serius mendengarkan Gayatri bercerita karena ia suka melihat Gayatri yang semangat dan berbinar ketika membahasnya. Oleh karena itu, novel yang ia berikan sebagai kado tersebut, mengingatkannya akan mata Gayatri yang berbinar dan suara Gayatri yang semangat menceritakannya.
Selesai dari kegiatan tersebut, Arsa menyempatkan waktu untuk mengobrol dengan teman-teman dalam persekutuan tersebut. Ketika ia sudah berpamitan dan hendak pulang, Chandra memanggilnya. Meskipun rasa kesal Arsa masih ada ketika melihat Chandra, ia tetap menghentikan langkahnya untuk pulang dan menunggu Chandra yang berjalan menghampirinya. Suasana hatinya saat ini sedang baik, jadi untuk kali ini ia menunda sejenak rasa kesalnya kepada Chandra. "Sa, teman yang pernah aku ceritakan ke kamu itu belum bisa datang hari ini. Karena hari ini persekutuan 'keluarga Allah' terakhir di tahun ini, tahun depan kalau ada persekutuan 'keluarga Allah' kamu ikut lagi ya! Siapa tahu dia datang tahun depan." Arsa mengangguk. "Selamat natal Arsa, sampai bertemu tahun depan. Hati-hati di jalan." Chandra melambaikan tangan dan Arsa kembali mengangguk setelah itu Arsa kembali melanjutkan langkahnya. Seperti kesepakatan dengan Gantari sejak mereka pindah ke kota ini, setiap liburan mereka akan pulang ke rumah orangtua Gayatri dan merayakan natal sekaligus memulai tahun yang baru di sana. Jadi, sudah jelas ia tidak akan bertemu lagi dengan Chandra di sisa tahun ini.
----
Ketika Arsa sudah tiba di unitnya, ia menemukan Gantari sedang berbaring di sofa dan asik menonton film. "Sana hari ini mampir ke sini gak ta?" Arsa harus memastikan pacar Gantari ini tidak datang ke unitnya ketika ia meninggalkan Gantari sendiri di sini. Gantari hanya melirik Arsa sekilas, lalu menjawab pertanyaan papanya dengan tatapan yang masih fokus ke layar TV. "Enggak pa, Sana lagi sibuk siapin festival sekolah." "Anta, kalau ada orang yang ajak ngobrol mata kamu jangan liat yang lain, gak sopan." Gantari langsung duduk dan menghadap Arsa kemudian meminta maaf.
Ponsel Arsa tiba-tiba berbunyi dan ketika dicek ternyata Ayudia yang menelfonnya. Arsa mengangkat telfon tersebut dan menekan tombol speaker supaya Gantari bisa bergabung dalam percakapan mereka. Ayudia menelfon Arsa ternyata untuk memastikan tanggal dan waktu mereka akan tiba di rumahnya. Setelah selesai mengobrol, Arsa menutup telfonnya dan kembali bertanya kepada Gantari. "Lusa ya festivalnya?" Gantari mengangguk. "Aku sudah selesai persiapan untuk pentas seni, jadi aku bisa santai hari ini. Kalau Sana, dia masih sibuk dekorasi, mangkanya dia masih di sekolah sekarang." Sebelum Arsa bertanya, Gantari sudah menceritakan terlebih dahulu aktivitasnya hari ini. Arsa mengangguk, "kasihan ya Sana, sudah malam gini masih di sekolah" giliran Gantari yang mengangguk.
"Oh ya, papa sudah izin untuk lusa nanti masuk kantor agak siang. Papa mau lihat Anta pentas." "Eh? Enggak usah pa nanti bos papa marah, bos papa kan galak?" Bekerja di perusahaan yang besar membuat Arsa cukup sulit untuk menggunakan hak cutinya, tetapi karena ia tidak ingin mengecewakan Gantari ia berusaha menggunakan hak cutinya meskipun di waktu yang tidak tepat seperti saat ini. Akhir tahun memang masa tersibuk untuk para akuntan perusahaan karena mereka harus merampungkan laporan keuangan setahun, atau istilahnya 'tutup buku' jadi kemungkinan besar Arsa yang menggunakan hak cutinya akan mendapatkan teguran dari atasannya. Tapi, lagi-lagi dia tidak mau mengecewakan Gantari. "Anta malu ya papa liat Anta pentas?" goda Arsa. Muka Gantari seketika berubah menjadi merah, tanda tebakan Arsa benar. Arsa tertawa melihat putrinya yang salah tingkah dan sulit meredakan tawanya sehingga membuat Gantari cemberut, tapi Arsa tidak peduli ia menikmati melihat ekspresi wajah putrinya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grief
General FictionArsa Bratadikara belajar untuk menerima kenyataan bahwa orang yang ia kasihi pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tapi, dalam prosesnya, menerima kenyataan tidaklah mudah. Banyak hal yang harus Arsa lakukan untuk dapat memahami bagaimana cara...