"Jadi begitu ceritanya Sa. Yah biasalah, nasib seorang pengusaha kecil yang usahanya cuma mau buat café ini rame dan dinikmati setiap orang yang datang. Kadang untung tapi kadang juga rugi, tapi yang penting usahanya benar dan buat orang yang datang jadi senang aja sudah cukup." Sejak awal Chandra bercerita Arsa hanya menanggapi seperlunya. Ia masih khawatir dengan putrinya. Seharusnya mengambil pesanan tidak selama ini, tapi sedari tadi Gantari tidak kembali ke sini.
"Kerjaan kamu gimana Sa?" Chandra masih tidak menyerah membuat Arsa menaruh fokus kepadanya. "Baik." "Baik yang kayak gimana? Lancar laporannya?" Chandra masih mendesak Arsa untuk bercerita lebih panjang. "Yah enggak juga, kesulitan pasti ada, tapi laporan tetap selesai tepat waktu dan karena bos orangnya jujur terus tegas jadi semuanya lancar." Arsa masih tidak mau menuruti keingan Chandra. Bagi Arsa, Chandra memang temannya tapi bukan berarti dia boleh kenal Arsa lebih dalam. Apalagi, dengan sikapnya kepada Gantari membuat Arsa semakin memperkuat tembok pemisah di antara hubungan mereka. Chandra akhirnya menyerah, dia hanya menganggukkan kepala.
Gantari masih belum kembali, Arsa semakin gelisah. Menyadari kegelisahan Arsa, Chandra berusaha menenangkannya, "Ah! Sa mau dengar cerita temanku gak?" Arsa tidak merespons dan memilih untuk meminum kopinya. "Dia juga sama pergumulannya sama kamu, istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya. Awalnya dia sangat stress sampai butuh bantuan untuk dapat pulih dari perasaan dukanya. Lalu, waktu dia sudah bisa mengatur stressnya ternyata dia harus mengalami rasa duka lagi." Arsa mulai tertarik dengan cerita Chandra ketika Chandra berkata, "anak satu-satunya juga meninggal karena kecelakaan." "Lalu, kamu ajak pergi ke gereja?" tanya Arsa.
Dulu sewaktu dia baru pindah ke kota ini dan beribadah di salah satu gereja di kota ini, di sanalah ia berkenalan dengan Chandra. Melalui Chandra, ia tahu bahwa gereja tersebut punya kegiatan persekutan yang anggotanya adalah mereka yang pernah maupun sedang mengalami kedukaan karena ditinggal oleh keluarga atau rekan yang mereka kasihi. Dalam persekutuan tersebut, mereka biasanya selain bersama-sama membaca Alkitab dan berdiskusi tentang ayat yang mereka baca, mereka juga saling menceritakan perasaan mereka, dan sebelum pulang mereka akan saling mendoakan satu sama lain. Sampai sekarang Arsa masih rutin mengikuti persekutuan tersebut. Mendengar, menguatkan, dan mendoakan mereka yang pernah atau sedang berduka tidak hanya menghibur mereka tetapi juga menghibur Arsa. Melalui kehadiran orang-orang di dalam persekutuan tersebut membuat Arsa tidak merasa menghadapi masa duka sendirian. Chandra memang bukan anggota dalam persekutuan tersebut, namun dia sering ikut hadir dalam setiap pertemuan mereka. Terkadang membawa teman baru, terkadang juga yang memimpin diskusi di antara mereka.
"Iya, tapi sayangnya dia sekarang jarang hadir." Arsa tersenyum miris. Fase-fase terbuka dengan perasaan memang bukan hal yang mudah. Jika Chandra tidak rutin mengajak dia pergi ke gereja dan ikut persekutuan tersebut mungkin saja dia juga enggan untuk hadir. "Aku kok gak pernah lihat teman yang kamu maksud itu? Dari kapan dia gabung?" "Mangkanya minggu ini datang ya. Selesai ibadah jangan langsung pulang, kita kumpul dulu. Siapa tahu minggu ini dia datang dan kamu bisa kenalan sama dia." "Iya, nanti kalau Anta sudah bisa adaptasi dengan lingkungannya aku akan ikut lagi." "Alasan," Chandra mendengus. Meskipun alasannya tidak masuk akal, namun Arsa tidak bermaksud membuat alasan itu untuk menghindari pertemuan. Selama kurang lebih setahun sejak pindah ke kota ini, entah kenapa Gantari tidak ingin berlama-lama di gereja. Setiap selesai ibadah, Gantari sering meminta Arsa untuk segera pulang.
Arsa tidak tahu apa penyebab Gantari menghindari lama-lama berada di gereja, Gantari tidak pernah dan tidak mau menceritakan alasannya. Arsa pernah memaksa Gantari untuk lebih lama berada di gereja, karena sepengetahuan Arsa, anak-anak muda di gereja biasanya sering mengadakan persekutuan atau sekedar kumpul-kumpul setelah ibadah dan menurut Arsa akan sangat baik jika Gantari berteman dengan teman sebayanya di gereja. Gantari awalnya mau tetapi akhir-akhir ini dia menghindari teman-temannya. Asumsi Arsa mungkin Gantari sedang berkonflik dengan temannya dan butuh waktu untuk meredakan emosinya. Gantari tidak pernah melarang Arsa untuk mengikuti persekutuan, tetapi Arsa yang terkadang tidak tega membiarkan Gantari sendirian.
"Tenang aja Sa, Anta enggak akan marah kok kamu tinggal sendirian. Dia sudah remaja, Sa. Tidak baik mengekang dia terus." Chandra melihat Arsa seperti orang tua yang protektif kepada anaknya. "Enggak mengekang kok, memangnya tidak boleh kalau aku sering bersama Anta?" tanya Arsa heran. "Yah, boleh-boleh aja, tapi sebagai orang tua kamu harus belajar untuk berani melepas anakmu." "Haha, kayak kamu punya anak aja." Sebagai orangtua, Arsa tersinggung dengan nasihat Chandra, apalagi terkait dengan melepas anak. Ia setuju mengekang anak bukan hal yang baik, tapi bukan berarti ia membiarkan putrinya melakukan apapun sesukanya tanpa tahu resiko dari perbuatannya. Melepas anak bukan berarti tidak menjaga dan membimbing mereka. Arsa kemudian menghabiskan kopinya dengan cepat. "Temanku kembali depresi ketika kehilangan anaknya. Itu karena selama ini dia selalu bersama anaknya. Jadi, dia sulit melepaskan kepergian anaknya."
Arsa mengambil dompet dan beranjak dari kursinya. Emosi marahnya memuncak. Sebelum rasa ingin memukul Chandra semakin tinggi, ia memutuskan untuk keluar saja dari café ini. Cerita Chandra tidak salah, tapi membuat Arsa semakin takut. Akhir-akhir ini ia sering mimpi buruk. Dalam mimpinya, terkadang ia melihat putrinya yang tertidur lelap dan tidak bisa ia bangunkan sekalipun dengan suara yang keras, terkadang ia juga seperti hadir dalam ibadah kedukaan dan mengenakan baju hitam serta bukan foto Gayatri yang ia lihat dalam pemakaman tersebut, tetapi foto putrinya. Hal itu yang sebenarnya membuat Arsa tidak tega meninggalkan Gantari sendirian di unit. Ia takut kesibukannya membuat ia tidak bisa menjaga Gantari, dan membuat mimpi buruknya menjadi kenyataan.
Arsa bergegas menghampiri meja kasir, di sana ia melihat Gantari yang sedang asik melihat-lihat kue yang dipajang di etalase. Kehadiran Gantari membuat hatinya menjadi cukup tenang. "Ternyata di sini kamu, pantes enggak balik dari tadi." Arsa menawarkan akan membelikan Gantari kue yang ia mau tetapi putrinya menggelengkan kepala. Arsa tidak memaksa, ia kemudian memberikan sejumlah uang kepada pegawai di sana dan menggandeng tangan putrinya keluar dari café tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grief
General FictionArsa Bratadikara belajar untuk menerima kenyataan bahwa orang yang ia kasihi pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tapi, dalam prosesnya, menerima kenyataan tidaklah mudah. Banyak hal yang harus Arsa lakukan untuk dapat memahami bagaimana cara...