Hmmm...angin segar yang begitu menenangkan
Dimana aku?
Disinilah aku sekarang, berdiri ditepi pantai. Menerawang kenangan tiga tahun silam.
"hah hah hah stop kak stop gue nyerah" ucap Alin terengah-engah.
"huh...oke" tapi bukan Leo namanya jika harus menuruti ucapan sang adik. Leo dengan senangnya melanjutkan aksi menjahili Alin yang sempat tertunda.
"ALIN AWAS LIN DI PUNDAK LO ADA CICAAAKKK" dengan wajah panik yang dibuat-buat. Alin yang tak fokus lantas mengerjap hingga,,satu detik..dua detik..dan
"AAAAA MANA KAK MANAAAA AAA PERGI LO CICAKKK PERGIIII" seraya mengibas-ngibaskan tangannya ke pundak.
"LIN CICAKNYA PINDAH KE PUNDAK SEBELAH KIRI LO LIIINNN"
"PAAAA TOLONG PAAAAA USIR CICAKNYA DARI PUNDAK ALIINN" hampir Alin hampir menangis karna ulah kakaknya. Pasalnya Alin sangat takut dengan hewan transparan itu. Bukan takut lebih tepatnya sedikit j*j*k dan geli karna tekstur tubuhnya yang seperti--kalian tau itu.
Sedangkan dari kejauhan Leo tak henti-hentinya menertawakan raut muka Alin yang panik.
"hahaha mampus Lo"
"PAAA TOLONG PAAAA AMBIL CICAKNYAAAA" Alin berlari menuju celano - papanya.
"coba sini papa liat" celano tau ini hanya akal-akalan Leo demi menjahili adiknya. Mana mungkin kan tiba-tiba ada cicak disana, kecuali cicak itu memang terjun langsung dari langit.
"ga ada Alin, ga ada cicak di pundaknya Alin" ujar celano
"tapi pa tadi kata kak Leo ada"
"ga ada apa-apa sayang"
Alin diam "tunggu inikan dipantai mana mungkin tiba-tiba ada cicak dipundak gue" diliriknya leo yang masih setia menertawakan kejahilannya tadi.
"gue kerjain balik Lo kak" Alin tersenyum licik.
"KAK AWAS ADA KECOA TERBANG DIATAS KEPALA LO"
"HIII ALIN MANAAA,,LIN TOLONG GUE LIIINNN..PAAA TOLONG PAAA" Leo berlari kesana-kemari berusaha mengusir kecoa itu "DEMI APAPUN TOLONG GUEEEE"
"hahaha mampus Lo" ketawa kemenangan menghiasi wajah Alin. Leo yang baru sadar, segera berlari menuju Alin.
"Lo ngerjain gue? Mana mungkin di pantai ada kecoa" nafas Leo naik turun.
"biar impas aja sih, tadi Lo ngerjain gue,,ya gue kerjain balik lah. Lagian ganteng-ganteng keren begitu takut kecoaa"
"ya biarin suka-suka gue" bela Leo untuk dirinya sendiri.
"biirin Siki-siki gii" ledek Alin
"Sudah-sudah kalian ini hobbynya berantem" lerai sang papa.
"kak Leo duluan yang mulai" bela Alin.
"ya elo gampang-gampangnya di bohongin"
"Minimal ngaca bro"
"Minimal-minimal, minimal badan Lo tuh tinggian"
"yeee bawa-bawa fisik. Badan Lo tuh kek tiang listrik"
"idaman ciwi-ciwi gue mah" sambil menaik turunkan alis.
"Dih"
Celano hanya menggelengkan kepala melihat pertikaian anak-anaknya -- sudah biasa.
"Sudah, kapan pulangnya kalo kalian berantem terus-terusan. Ayo Alin masukan barang-barangnya kedalam box makan. Dan kamu Leo angkat kursi-kursi lipat itu ke dalam bagasi mobil.
"Siap papa celan" jawab keduanya serentak.
Kenangan itu teringat kembali setiap Alin mengunjungi pantai ini. Dia, Leonard Alekstra Gralindo kakak laki-laki satu-satunya Alin. Leo meninggal tiga tahun lalu akibat kanker otak yang di deritanya. Dokter hebat dari berbagai negara sudah celano datangkan demi menyembuhkan putranya. Doa pun tak henti-hentinya mereka panjatkan. Namun takdir berkata lain - waktu itu, keajaiban tidak memihak pada Leo. Tepat pukul 03:00 dini hari di ruang operasi lentera keluarga, Leo menghembuskan nafas terakhirnya. Pertahanan yang Alin tahan selama jalannya Operasi akhirnya runtuh, tak ada yang bisa Alin lakukan selain menangis. Marah? Ya celano marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia tak menyadari perubahan-perubahan yang Leo alami. Rambut Leo yang menipis, tubuh yang kian mengurus, dan wajah pucat setiap harinya. Celano pikir hal yang seperti ini sudah biasa. Terlalu banyak pikiran juga menyebabkan rambut rontok dan tubuh sedikit mengurus terutama bagi Leo yang notabenya seorang pelajar, wajah pucat pun sudah jadi hal biasa, efek terlalu kelelahan. Kini menyesal pun percuma dan celano menyadari bahwa hal seperti itu tak bisa di sepelekan.
"Teringat kembali?" Celano datang lalu menepuk pelan pundak Alin.
Alin tersenyum "iya pa"
"Mau sampai kapan kamu seperti ini sayang?"
"Mulai hari ini pa"
"Maksud kamu?"
"Mulai hari ini Alin mau melepaskan semuanya"
Celano tersenyum mendengar ucapan Alin "terimakasih sayang" celano mengecup pucuk kepala Alin lantas memeluk erat tubuh putri satu-satunya itu.
"Pulang sekarang? Tanya celano kemudian.
"Papa duluan saja kemobil"
Celano mengerti lalu melangkahkan kaki, membiarkan Alin menyelesaikan urusannya.
Alin menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Kak" Alin tersenyum "mulai hari ini tepat di pantai ini, gue ikhlas kak. Udah cukup gue menyesali kepergian Lo, udah cukup gue menyalahkan takdir kenapa Lo di jemput terlebih dahulu. Selama tiga tahun itu juga gue belajar apa arti kata ikhlas yang sesungguhnya. Gue janji kak, gue bakal kejar mimpi gue, jemput masa depan gue seperti kemauan Lo dulu" ucap Alin bersamaan dengan langit senja yang semakin menghilang "kak kalo suatu saat nanti gue dateng kesini lagi. Disaat itu berarti gue udah bener-bener sukses dan pastinya bawa kebahagiaan buat Lo. Janji gue satu lagi, gue janji kalo gue bakal terus ada di samping papa" Alin kembali tersenyum kali ini bukan lagi senyum keraguan melainkan senyum sebuah kebanggan.
Sudah lega dengan semuanya Alin melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.
"Sudah? Kita pulang?" Tanya celano ketika Alin telah duduk dengan nyaman di samping kursi kemudi.
"Sudah pa, ayo pulang"
Celano tersenyum lantas menjalankan mobilnya meninggalkan tempat yang penuh dengan kenangan.
Alin sudah berjanji, makan Alin tidak akan mengingkarinya.
Leonard Alextra Gralindo
🍒🍒🍒
Jangan lupa baca Alquran-nya juga ya🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Gralind
Teen FictionDi titik juang yang sama Menetap di satu tempat singgah Diberi banyak persamaan dari semesta Juga sesekali di temukan tiba-tiba Akankah semesta membuka percakapan kita? Ketika takdir menyatukan perbedaan Apa itu alasan semesta menyamakan? Penasaran...