8 : POSISI SEBENARNYA

29 2 0
                                    

"Jadi lo uring-uringan selama beberapa hari ini karena bingung sama posisi lo?"

Dikta mengangguk pelan, lelaki berkacamata itu mengaduk cappuchino frape-nya dengan sedotan begitu pelan sembari menopang wajah dengan sebelah tangan.

Hari semakin malam, meskipun kata open pada pintu telah diputar menjadi close, tetapi tetap saja membuat kedua orang itu enggan beranjak untuk menutup kafe sepenuhnya.

Reyhan menaikkan kursi di atas beberapa meja, lalu meraih sebatang sapu yang berada di gudang begitu kain lap dan cairan pembersih kotoran. "Saran gue, pikirkan lagi matang-matang. Mana yang menurut lo terbaik."

"Semuanya terbaik, tapi juga terburuk." Dengan malas, Dikta menghabiskan minumannya dengan cepat, lalu menaikkan kursi yang tadi di duduknya dan menyambar kain lap yang bergantung di pundak Reyhan, membersihkan  etalase meja bagian pemesanan dan kasir.  "Seketika gue merasa jadi orang yang plin plan, gimana gue bisa memimpin sesuatu kalau masalah sesederhana ini saja gue nggak bisa buat keputusan?"

"Pekerjaan ya pekerjaan, masalah pribadi lo ya tetap jadi masalah pribadi lo. Jangan merambat ke mana-mana," gerutu Reyhan, menoleh drngan kesal. "Duduk aja lo! Biar gue bersihkan! Pikiran lo lagi kacau juga!"

Benar, Dikta meletakkan lap dengan asal. Kali ini menyeret kursi bagian kasir. Duduk di sana. Bagaimana juga ia bukan Rean yang bisa mengerjakan banyak hal meskipun berada di dalam tekanan yang cukup besar. Ia hanyalah Dikta, seseorang yang tergolong sedehana, bahkan pemilik tuhuh itu sendiri tidak tahu apa hal yang bisa ditonjolkan selain berkutat dengan komputernya.

"Bang Rean minta gue pergi secepatnya dari rumah buat nyusulin Nanta. Di sisi lain gue ngerti, Nanta sendirian di luar negeri, culture shock, pertemanan, dan meskipun mandiri, tapi tetap saja buat kita bertiga yang ada di sini terus berpikir gimana kehidupan dia di sana sendirian. Apa bertemu dengan orang yang baik? Siapa yang mendengarkan dia secara langsung ketika sedang kesulitan? Dia makan apa? Kesehatannya?"

Reyhan terdiam, menatap Dikta sejenak lalu mengangguk pelan.

"Lo pernah merasakan itu pada Nesya, Rey?" tanya Dikta.

Reyhan hanya bisa mengangkat kedua bahu, sembari membersihkan lantai dengan sapu di tangan. "Entahlah."

"Tapi di sisi lain, gue juga sulit untuk pergi dari sini. Abaikan kafe, gue percaya sama lo. Tapi yang jadi kesulitan gue ... Gio." Dikta mrgangkat sudut bibir dengan sama, sembari mengembus napas sinis. "Kalau dia tahu keputusan ini, gue nggak tau apa yang terjadi."

"Ninggalin dia dan biarin Gio tinggal berdua sama Bang Rean?" tebak Reyhan, lalu menggeleng pasrah. "Dik, Gio udah dewasa, woi! Lo kalau gini terus bisa-bisa terlalu manjakan dia. Yah ... meskipun gue tahu Gio sama Bang Rean kayak apa, tapi nggak buruk-buruk amat itu, etdah."

"Kadang gue berharap juga seperti itu, Rey." Dikta tertawa pelan, menatap pintu kaca kafe dengan pandangan menerawang. "Tapi, dia kadang memang nggak sedewasa itu. Begitu juga gue, yang nggak bakalan pernah dewasa kalau masalah ditinggal dan meninggalkan."

"Ini manusia benar-benar," geram Reyhan. Meletakkan gagang sapu dengan asal, lalu menyeret kursi, duduk di hadapan sahabatnya iyu, menatap menekankan. "Nanta juga adik Gio, dia pasti paham sama keputusan itu. Lo ke sana untuk jaga Nanta, bukan untuk yang lain."

Dikta membungkam, tanpa suara.

"Kapan lo pernah egois sama diri lo sendiri, Dik? Nggak pernah gue lihat." Reyhan menatap menyalang, menggeleng tidak percaya. "Dari kita sekolah dulu, hidup lo cuma untuk mikirin Gio, Nanta, Bang Rean, Gue, Nesya. Kapan lo mikirin diri lo sendiri, hm? Nggak usah terlalu banyak mikirin orang lain, Dik. Ada diri lo sendiri yang perlu di perhatikan."

"Gue ...." Dikta menunduk sejenak, tertawa hambar. "tanpa kalian semua, gue nggak yakin bisa bertahan sejauh ini."

"Lantas, kalau kita semua ninggalin lo, gimana? Hm?"

Hening seketika, butuh waktu lama untuk Dikta berpikir panjang. Tidak menemukan jawaban, akhirnya ia menaikkan bahunya dengan pelan. "Gue cari orang baru lain lagi mungkin?"

"Hah?" Reyhan setengah membanting lap, menoleh tidak percaya. "Tidak ada selain itu?"

Dikta menggeleng pelan, memakan butiran es kecil yang tersisa di gelas. "Bukannya manusia hidup untuk saling tolong menolong? Seseorang dianugerahi sebuah keahlian juga untuk menolong orang lain, kan?"

"Lo sahabat gue, tapi gue nggak tau lo benar-benar polos atau gimana." Reyhan menggeleng, melanjutkan rutinitas. "Jangan sampai lo dimanfaatkan orang lain. Gue nggak mau, ya, kalau ada orang yang berteman sama lo cuma buat ngejar keuntungan dari lo, dan tiba kesulitan, lo udah nggak ada lagi harganya buat mereka. Kalau ketemu, gue hajar tuh orang."

Dikta tertawa. Reyhan, meskipun tidak jauh menyebalkan, bukankah sahabatnya ini juga seperti Rean? Menyebalkan, tetapi tetap menjadi orang terpercaya untuknya.

"Jadi, menurut lo, gue mesti gimana?"

"Pergi, Dik." Reyhan mematikan beberapa lampu, eetelah dirasa usai menyelesaikan semuanya, barulah ia berdiri sembari meletakkan kedua tangan di pinggang di hadapan Dikta sekarang. "Jangan sampai gue ketemu lo lagi ngemis sama seseorang, apa pun itu bentuknya."

Dikta hanya tersenyum miring, memutar sedotan plastik di bibir gelas yang kini kosong.

"Janji nggak lo sama gue?"

"Iya, iya, berisik bener." Kursi digeser kuat, Dikta mencuci gelas sejenak lalu mengibaskan tangan, menepuk pundak Reyhan yang kini berdiri di ambang pintu kafe. "Boleh minta tolong antarin gue pulang?"

☆☆☆

Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Udah lama ga update wkwkwk
Up : 11.08.24

Brother Notes #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang