3 : EGO YANG DIPERTAHANKAN

51 5 0
                                    

"Lo langsung pulang, Rey? Atau ke mana?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo langsung pulang, Rey? Atau ke mana?"

Kata 'open' pada depan pintu dibalik menjadi 'close' begitu jam menunjukkan pukul sepuluh. Terlalu cepat? Strategi yabg tidak tepat? Atau mungkin harusnya ia buka selama dua puluh empat jam? Ingin rasanya Dikta mengangkat sebelah sudut bibir dengan sinis, terserah orang mengatakannya apa. Ia belum berniat mempercayakan tempat ini selain kepada Reyhan, dan tentu saja, ia bukqn tipikal Rean yang gila kerja.

Rumah adalah segalanya. Berkumpul bersama, menikmati beberapa camilan, sembari menemani kedua adiknya.

Dikta mengembus napas panjang, setengah mengacak belakang rambut dengan gusar. Bagaimana bisa ia lupa bahwa Nanta tidak lagi di sini semarang. Padahal sudah dua tahun, tetapi baik ia maupun Gio belum terbiasa tanpa kehadiran si tukang yang helas payah dalam memasak itu.

"Langsung pulang." Reyhan merunduk, sembari mengecek stok yang telah habis di dapur. Sementara Dikta yang menggeser kursi dan meja, sembari sibuk dengan pel di tangan itu entah berapa kali mengembus napas berat. "Kenapa lo, Dik?"

Dikta tersenyum samar. "Pada akhirnya gue belum juga terbiasa nerima kalau Nanta berhasil studi di luar negeri."

"Kebiasaan lo belum hilang juga, hm?" tanya Reyhan, mematikan keran, lalu mengelap tangan sebelum melepaskan celemeknya. "Bukannya gue udah bilang, ditinggalkan dan meninggalkan itu wajar? Lagipula lo, Rean, Gio, Nanta, benar-benar hubungan keluarga kalian begitu dekat, itu anak bakal pulanglah."

Dikta tertawa hambar. "Ya, begitulah. Gue pikir Gio juga merasakan yang sama, itu anak sebelas dua belas sifatnya sama dengan gue."

Reyhan keluar dari dapur, mematikan beberapa lampu ruangan begitu juga kipas setelah ruangan keseluruhannya sudah dibersihkan.  "Untuk negatifnya, iya. Sifat positif lo sama sekali nggak ada ditiru dia."

Dikta meraih tas sandang di lantai dua sejenak, lalu setengah meleparkan milik Reyhan, disambut oleh pemilik itu dengan sigap. "Berisik," umpat Dikta.

Pintu kafe dikunci, keduanya duduk di kendaraan masing-masing, sudah mengenakan helm meskipun belum berniat untuk pergi. "Tukang bolos, penuntut, dan terakhir ... selalu takut untuk ditinggal."

"Ini orang minta dihajar," desis Dikta, setengah ingin menendang, tetapi dengan cepat Reyhan menghindar duluan. "Kejujuran lo nggak gue butuhkan."

"Adik lo yang cowok benar-benar nggak ada tenangnya sama sekali, Dik. Heran gue." Reyhan tertawa terbahak, lalu memgibaskan sebelah tangan setengah menyadarkan diri untuk berhenti sebelum membuat seseorang di hadapannya tersinggung. "Gue malah ngeri kalau dia diam apalagi sok tenang. Pasti ada masalah."

"Ya, gue jadi keingat waktu gue, Rean, sama Nanta dimusuhi dia semua." Dikta menggeleng tidak percaya, menghidupkan mesin kendaraan, memundurkannya. "Selama ini lo memang nggak takut ditinggal?"

"Gue tanya balik, di umur yang hampir mau tiga puluh, memang lo masih takut?" tanya Reyhan, menghidupkan mesin kendaraan, tetapi langsung saja mengumpat saat menyadari betapa krisisnya bensin yang tersisa. "Sial, moga gue nggak dorong lagi buat sampai di kosan."

Brother Notes #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang