6 : TUGAS AKHIR

50 2 0
                                    

"Nes, coba lo periksa lagi kuesioner gue. Kira-kira benar nggak?"

Nesya yang tadi berjalan menyusuri salah satu koridor ruangan rumah sakit, kini menyambar setumpuk kertas yang disodorkan Gio. Ulasan senyumn sinis terbit ketika melihat sahabat kecilnya itu tak hent-hentinya mendengkus sebal akibat perintah yang diberi beberapa hari lalu dari pihak terkait.

Gio yang ingin membuat kuesioner secara digital langsung ditolak dengan alasan tertentu. Mau tak mau, cowok yang tadi bersemangat, kini runtuh seketika. Seperti setengah hati harus mencetak dalam jumlah yang banyak dan membaca satu per satu jawaban dari lembar kertas yang diberi.

Kerja dua kali? Tidak, baik Nesya maupun Gio mengakui kalau ini rasanya lebih dari itu. Tugas yang seharusnya bisa diselesaikan kurang dari tiga hari malah memakan waktu lebih. Belum lagi jika ada halangan dari pihak karyawan tertentu maka .... Ah! Nesya menggeleng pelan, sudah cukup tugas akhir kali ini menjadi beban hidupnya, jangan ditambah dengan ilusi yang tidak masuk akal lagi.

Gio  yang berjalan bersisian, mengernyitkan dahi. Ia membenarkan tali tas hitam yang disandang. "Salah, Nes? Yang bagian mana? Haish! Sia-sia aja berarti gue tinggal di rumah semalam, elah! Tau gitu, mending gue ikut Bang Rean kerja."

"Bukannya udah benar? Semalam lo juga minta gue cek softfile-nya, kan?"

Gio mengangguk pasrah, cemberut.

"Yang semangat kali, Yo. Dikit lagi selesai." Nesya mendaratkan sebelah tangan ke belakang kepala Gio. "Kalau ini selesai, lo bisa fokus sepenuhnya buat pelajari sistem perusahaan. Nih, kuesioner lo. Entar gue boleh masuk ke ruangan bagian MSDM duluan?"

"Silahkan," jawab Gio, mengambil kembali tumpukan berkas dari tangan Nesya, berjalan menyusuri anak tangga dengan setengah hati. Lift? Inginnya, tapi mengingat ada papan yang memberi peringatan sedang ada perbaikan, tentu saja siapa pun akan mengurungkan niat. "Jujur, kadang gue merasa berubah jadi orang lain setiap lewat sini."

"Hm?" Nesya mengangkat kedua alis, meniti anak tangga satu per satu, sesekali berhenti sama halnya dengan Gio ketika oksigen yang dihirup semakin menipis. "Power rangers?"

"Yang benar aja." Gio tertawa pelan, sesekali memgerlingkan pandangan pada koridor, setelah berhasil memcapai puncak anak tangga. Tidak begitu jauh, hanya berada di lantai lima, tetapi cukup menyita waktu dan tenaga.

"Jadi?"

Gio mengangkat kedua bahu, sembari memperbaiki sandangan ransel yang turun. "Entahlah. Isi dalam kepala gue tiba-tiba penuh, berisik, badan gue juga rasanya dingin."

Nesya mengerjapkan nata tidak percaya, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangguk pelan. "Gue akui, Yo. Muka lo memang pucat sekarang. Mau istirahat?"

Gio menggeleng pelan, memejamkan mata sesaat sebelum memutuskan kembali mendaki tangga. Apa mungkin bau tempat yang khas sama sekali tidak dapat ditoleransi oleh tubuhnya? Akan ada rasa mual, seperti ingin kabur secepatnya untuk menghirup udara segar.

"Yo," panggil Nesya yang sudah beberapa anak tangga terlebih dahulu di depan, menoleh belakang. "Kali ini gue benar-benar serius, lo mau pulang aja? Biar gue yang bawa kendaraan. Kesehatan lo lebih penting daripada tugas akhir."

Kedua alis Nesya yang nyaris tertaut, nada gusar yang dapat didengar dengan jelas membuat bibir bawah Gio terangkat, merebahkan kedua tangan. "Gendong."

"Haish! Anak ini ...." Nesya berdecak, menatap sahabatnya itu tidak percaya, lalu melangkah dengan kasar hingga bunyi antara sepatu dan tangga terdengar jelas. "Buruan! Jalan sendiri! Nggak lulus baru tau rasa lo!"

___

"Gue pulang."

Pintu rumah didorong perlahan, menampilkan salah seorang dengan sandangan ransel dan wajah lelahnya. Terlihat lemas, seakan baru saja naik wahana yang menguji adrenalin ataupun gua hantu yang selalu membuat bulu kuduk bergidik. Gio yang tidak seperti biasa dengan energinya yang berlebihan.

Dikta yang merebahkan tubuh di matras ruang tengah, melirik sejenak, mengalihkan pandangannya dari layar televisi. "Nggak jadi ke tempat Rean?"

Suara kucuran air dari dispenser dapur terdengar, lalu disusuli dengan hentakkan gelas yang membentur meja. Setelahnya barulah Gio meletakkan tas di tunag tengah dengan sembarang, lalu seenaknya merebut bantal kepala milik Dikta.

"Woi!" Mata Dikta membulat.

Tak peduli, Gio memeluk bantal putih dengan erat, lalu menumpunya di belakang kepala, memejamkan mata. "Punya Iyo."

"Punya gue, heh!" Pergulatan terjadi, tentu saja sudah dpaat ditebak siapa yang akan kalah. Gio? Dikta mendengkus, terpaksa menggunakan sebelah tangan sebagai penumpu belakang kepala, si keras kepala itu mana bisa menyerah begitu saja. "Kenapa lo pulang cepat?"

Gio yang sibuk dengan game di ponselnya melirik. "Capek, mau istirahat. Lo sendiri, tumbenan juga udah pulang? Bang Reyhan ngurus kafe sendirian?"

"Hm," gumam Dikta, mengangguk pelan.

"Berantem?" tebak Gio mengangkat sebelah alis.

"Nggak juga." Bola mata bulat itu mengarah ke kiri, lalu kelopaknya terpejam sekaan berusaha menenangkan pikiran. "Gue juga lagi banyak butuh istirahat kayaknya. Pikiran gue, apa yang gue lakukan, benar-benar nggak berakhir dengan baik belakangan ini."

Gio mengernyitkan dahi dengan heran. "Marah?"

"Mungkin." Dikta mengangkat kedua bahu. "Gue lagi pengin nyalahin orang lain. Seandainya tidak kayak gini, srandainya tidak begitu. Pasti semuanya baik-baik saja. Meskipun gue yakin tetap ada masalah, tapi yang pasti bukan yang pernah dialami sebelumnya."

Sebelah sudut bibir Gio terangkat. "Gue kayaknya tau," cerocos Gio, lalu menyikut Dikta dengan kuat. "Maafin elah, Bang! Etdah! Nyakitin diri sendiri entar."

"Ngomong enak, Yo." Langsung saja Dikta membalikkan badan, menenggelamkan wajah di balik lipatan tangan. Tidak peduli dengan kehadiran Gio di balik punggungnya. "Gue berharap semuanya semudah itu, tapi nyatanya nggak."

"Lantas, kalau nggak bisa maafin. Hal apa yang bakal lo lakukan supaya bisa mengubah semuanya, hm?" tanya Gio, mengembus napas panjang. Mata bundarnya memperhatikan langit-langit ruangan, dengan setengah pandangan menerawang. "Nggak ada, Bang. Yang ada lo capek, tanpa hasil apa-apa."

"Berisik. Gue mau tidur." Dikta membenarkan posisi, semakin memperdalam benaman wajah pada lipatan tangan, menyembunyikannya dengan harapan baik Gio maupun ia si pemilik tubuh ini tidak menyadari betapa lacunya suasana hati. "Yo ...."

"Apa?" gumam Gio, turut memunggungi, setengah memejamkan mata berharap kantuk menguasai. "Gue juga mau tidur."

"Seandainya gue pergi, tinggal lo berdua sama Rean di rumah ini, apa baik-baik saja?"

Hening, hingga beberapa menit berlalu. Tak ada jawaban dari Gio, tetapi sebelah tangan itu tergepal, mencengkeram ujung bantal kepala dengan erat lalu memggunakannya untuk menutup telinga begitu juga wajah.

"Entahlah."

___

Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Maaf, beberapa bulan ini aku vakum dari tulis menulis, tapi aku bakal usaha pelan-pelan buat kembali lagi.
Makasih untuk yang sudah mendukung!

Vote, kritik, dan sarannya sangat membantu!
Up: 10.08.23

Brother Notes #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang