Suara kucuran air dari dalam teko terdengar. Warna hijau dari sirup terlihat segar belum lagi ditambah dengan toping potongan buah bersama whipped cream di bagian atasnya. Suara alunan musik terdengar dipadukan dengan suara khas pelanggan yang beragam.
Duduk, berbincang, sembari menikmati suasana kafe dengan aroma ruangan berbau kopi.
"Nah! Ini dia manusianya!"
Setengah mengembus napas lega, Dikta yang berada di bagian dapur memperhatikan seseorang baru saja datang. Reyhan, siapa pun tau siapa manusia yang langsung saja meletakkan tas dan menyambar celemek yang berada di gantungan sudut ruangan dapur.
Reyhan menelan ludah, menarik napas terengah. "Maaf, gue telat."
"Alasan?" tanya Dikta, berjalan mendekat. Ia meraih celemek lalu menyodorkannya ke Reyhan dengan sedikit kasar, lalu menatap tajam. "Gio nelpon gue, minta bantuan cari dealer buat perbaiki kendaraan adik lo."
"Kendaraan?" ulang Reyhan, terdiam sejenak, sebelum tertawa pelan. "Nesya? Rusak?"
Dikta mengembus napas panjang. Tangan itu terkepal geram, ketika membahas hal-hal seperti ini entah memgapa ada rasa ingin bagi Dikta untuk melayangkan pukulan sedikit saja.
Ya, agar salah satu anggota Aditama itu sadar betapa berharganya sebuah kehidupan yang bernama keluarga.
"Gue merasa aneh saat orang lain jauh lebih tau tentang kondisi adik lo, dibandingkan abangnya sendiri," tekan Dikta.
"Dik, ayolah." Reyhan tertawa hambar, laki-laki dengan potongan rambut spike itu menepuk bahu Dikta, mencoba menenangkan. "Cuma masalah kendaraan, lo nggak perlu kayak gini, kan? Besok-besok gue bakal beritahu ke Nesya untuk tidak merepotkan lagi. Gimana juga dia harus mandiri."
"Bukan itu yang mau gue bahas, B*go," umpat Dikta, mengacak ranhut drngan gusar, lalu mengembus napas kasar, memalingkan pandangan. "Keluarga lo, udah gue anggap sebagai keluarga gue sendiri. Selagi lo tidak ada niat untuk memanfaatkan keluarga gue, maka lo boleh bergantung sepuas apa pun."
"Jadi, apa yang mau lo bahas, hm?" tanya Reyhan mengangkat sebelah alis.
"Hal kecil yang lo anggap tidak berguna, pada akhirnya bisa menghancurkan lo, Rey. Gue nggak mau itu terjadi." Dikta menggertak gigi dengan geram. "Perhatikan Nesya. Lo tahu gimana sulitnya bertahan di lingkungan yang orang tua lo ciptakan. Jangan sampai Nesya juga harus menanggungnya terlebih lagi dari ketiga orang yang tidak bertanggung jawab kayak lo."
Reyhan tertawa sekali lagi, setengah menatap meremehkan. "Pandangan kita kali ini berbeda, Dik. Mungkin bagi lo, gue tidak peduli dengan Nesya. Namun, bagi gue, ini satu-satunya cara mendidik dia di lingkungan yang keras ini. Gue keluar dulu, ada pelanggan datang."
"Dengan cara menelantarkan dia?" tanya Dikta tahan, menghentikan langkah Reyhan yang baru melangkah keluar ambang pintu dapur dengan buku menu di tangan. Dikta tersenyum sinis. "Gue nggak nyangka, orang yang gue kagumi jauh lebih pecundang dari siapa pun yang pernah gue temui."
"Berisik, Dik." Reyhan memejamkan mata, untuk berapa kali embusan napas panjang ia lontarkan sebelum menuju beberapa meja pelanggan tanpa sedikit pun menoleh ke arah belakang. "Jangan ikut campur urusan gue."
___
"Gue pu ... Dik? Tumben lo udah pulang duluan?"
Sebagai jawaban, Dikta hanya melirik tajam, cowok berkaus cokelat tua itu kembali fokus dengan layar laptop di pangkuannya setelah berhasil merespon panggilan dari abang pertamanya. Rean.
"Kenapa lo? Deadline dari klien dipercepat?" tebak Rean, langsung saja meletakkan tas kerjanya di sofa lalu menarik jeratan dasi yang tergantung di lehernya dengan sebelah tangan. "Kusut amat itu muka."
"Jangan ajak gue bicara dulu," peringat Dikta, menaikkan kacamata yang hampir turun, sesekali memejamkan mata, mengembus napas gusar.
Ada masalah. Rean tau benar itu. Meski sekilas Dikta tampak tenang, tetapi tetap saja berubah drastis seakan awan mendung sedang berkumpul di sana.
"Oke." Rean mengangkat tangan pertanda menyerah. "Gue juga mau bersihkan badan, gerah. Sekalian mau nelpon Adek, dari tadi pagi dia mau bicara sama gue, tapi kepotong karena ada rapat."
Sebagai jawaban, Dikta hanya menggumam.
"Makan ma--"
"Lo pesan sendiri kalau masih lapar. Gue lagi nggak minat mau persiapkan makan malam," sambar Dikta langsung, setengah meninggikan suara berhasil membuat Rean pada akhirnya memutuskan untuk menyingkir terlebih dahulu dari ruang tengah.
Hingga dua jam berlalu. Tidak hanya Rean yang sudah menginjakkan kaki di rumah, sama halnya dengan Gio. Adiknya itu baru saja pulang dengan menyerahkan kantong plastik yang berisi keripik ubi.
Dari Nesya katanya. Sebagai satu tanda terima kasih telah menolong gadis itu tadi pagi. Hanya bantuan menelpon dealer kenalan keluarga ini, bukan menjadi masalah besar bagi Dikta. Nesya tidak perlu repot membalasnya, kan?
Salah satu pintu kamar dari lantai dua terbuka. Rean dengan baju tidurnya kini meniti turunan anak tangga, lalu merebahkan tubuh di sofa dengan nikmat, sembari memainkan tab di tangan.
"Gio udah pulang?"
"Udah," jawab Dikta singkat, mengedarkan pandangan guna menyegarkan kembali mata yang terus melihat layar laptop hingga berjam-jam lamanya. "Keripik dari Nesya, mau?"
"Enak kayaknya." Langsung saja Rean mencomot makanan tanpa ragu. Entah untuk berapa kali, Dikta yang berusaha mengabaikan abang pertamanya itu kini terasa risih. Apa yang ada di pikiran Rean sampai akhirnya terus-terusan meliriknya, seakan ingin berbicara, tetapi niat itu diurungkan.
"Lo kenapa, dah, Bang? Mau bicara?" ucap Dikta tak tahan lagi. Secepat mungkin ia menutup laptop, meletakkannya di meja. "Jangan bilang ke gue, kalau dalam waktu singkat ini lo mau nikah sama Kak Naya? Jujur, gue masih belum siap sama apa yang terjadi sebelumnya."
"Inginnya, tapi gue sendiri juga belum selesai benahin diri gue. Jadi, lebih baik ditunda dulu," ujar Rean mengangkat kedua bahu.
"Jadi, lo mau bicara apa?"
Rean menunduk sejenak, butuh beberapa detik bagi lelaki itu untuk mengatur kata di kepala, sebelum akhirnya menyampaikan. "Gue mau minta tolong."
Dikta yang membersihkan lensa kacamata hanya mengangkat kedua alis.
Rean mencondongkan tubuh, kedua tangannya saling mencengkram erat, memperhatikan dengan serius. "Ini mungkin sulit bagi gue, Gio, Reyhan, atau yang lainnya, tapi gue pikir udah saatnya lo benar-benar harus pergi dari sini, Dik."
____
Thanks for reading! I jope ypu enjoy it!
Setelah sekian lama kubaru bisa update lagi.
Maaf sudah menunggu, terima kasih sudah membaca.01.06.2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes #2
Fiksi Remaja"Gue nggak ngerti, kenapa genre hidup kita jadi horor komedi gini, Yo?" Bagi Nesya cinta itu hanya sementara, tetapi bagi Gio cinta itu selamanya. Hingga suatu hal terjadi, ketika Gio tidak lagi memegang prinsip yang sama, Nesya juga semakin jauh ke...