"Reyhan, bisa tolong Bunda jaga Nesya? Ada banyak hal yang mau Bunda selesaikan dulu. Kamu bantu Bunda, ya?"Suara bantingan antara gelas kaca dengan dinding terdengar kuat. Gelas yang tadinya utuh di samping tempat tidur kini sudah dipastikan pecah dengan serpihan tajam yang tertinggal. Reyhan Aditama. Cowok dengan potongan rambut cepaknya itu menarik napas tersenggal, matanya yang terpejam kini membulat seketika begitu tersentak, tersadar akan perbuatannya.
Mimpi? Tidak, itu kenyataan yang hanya saja kembali datang di mimpinya.
"Sial," umpat Reyhan, menopang tubuhnya yang duduk di single bed itu dengan sebelah tangan, memperhatikan jam beker yang berada di ruang tengah.
Ah, salah. Bukankah di kos seperti ini ruang tamu, keluarga bahkan kamar dijadikan satu ruangan di bagian depan? Bahkan untuk dapur saja menyisakan lorong yang sempit, dan berseberangan dengan kamar mandi.
"Jam delapan," gumam Reyhan, mengibas bagian bawah gorden, memastikan kembali matahari sudah terlihat terik. Setengah hati, Reyhan mengembus napas panjang, kembali menarik sarung hingga menyelimuti lehernya. "Gue masih bisa tidur setengah jam lagi."
Ya, harusnya ia masih bisa tertidur jika saja tidak kepikiran untuk membersihkan pecahan kaca yang berantakkan. Lagipula bagaimana bisa tangan ini bergerak tanpa kehendaknya, hm? Dan rasa marah yang muncul tiba-tiba kenapa sulit sekali untuk dihilangkan?
Sembari kalut dalam pikiran, suara dentingan piano dari ponsel terdengar. Reyhan berdecak, secepat mungkin membersihkan lantai, lalu mengakhiri sampah kaca itu ke sebuah kantong plastik.
Nesya.
Reyhan mengacak rambut dengan gusar, memperhatikan nama yang jelas tertera di layar ponselnya. Nesya tidak pernah tepat waktu di saat menelponnya, selalu di saat kondisinya tidak begitu baik.
"Bang! Nomor lo kenapa sekarang jarang ak--"
"Bukannya gue pernah bilang, jangan pernah nelpon gue lagi, kan? Gue sibuk. Urus sendiri hidup lo, lo bukan anak kecil lagi, Nes."
"Tapi, gue--"
"Gue matikan dulu telponnya." Tombol merah pada ponsel ditekan. Hening sejenak, entah berapa lama hingga pada akhirnya ia berhasil menormalkan kembali deru napasnya, sembari memperhatikan tangan yang mencengkeram ponsel, gemetar.
"Lo ... bukan tanggungjawab gue, Nes."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes #2
Ficção Adolescente"Gue nggak ngerti, kenapa genre hidup kita jadi horor komedi gini, Yo?" Bagi Nesya cinta itu hanya sementara, tetapi bagi Gio cinta itu selamanya. Hingga suatu hal terjadi, ketika Gio tidak lagi memegang prinsip yang sama, Nesya juga semakin jauh ke...