"Yo, Dikta belum pulang ju ...."
Ucapan Rean terhenti, ia baru saja melangkah keluar kamar, langsung saja menggeleng ketika memperhatikan Gio yang tampak terkantuk di ruang keluarga sembari menghadap layar laptop. Buru-buru ia menopang dahi lebar adiknya itu dengan telapak tangan, ketika kepala itu hampir tertunduk.
Rean menjentik dengan sebelah tangan. Berhasil membuat pihak lawan membuka mata, sembari mengusap dahinya yang memerah. "Gue memang minta lo berusaha kerjakan tugas akhir lo, tapi nggak perlu memaksakan diri. Tidur, istirahat kalau lo ngantuk. Udah jam berapa juga lagian."
Dengan mata yabg mengerjap ngantuk, Gio mengangkat kepala, memperhatikan jam dinding. "Dua. Nggak apa, gue juga sambil nungguin Bang Dikta. Nggak bisa disebut memaksakan diri."
"Kalau gitu, biar gue yang tunggu Dikta pulang." Langsung saja Rean menyimpan data milik Gio, mematikan laptop itu, lalu menutupnya sembari memberi tanda halaman dan mengemas buku yang berada di meja. "Tidur di kamar lo sekarang."
Gio hanya diam, kehabisan tenaga.
"Yo?" Rean menyodorkan buku dan laptop itu sekali lagi pada Gio.
Sebenarnya, entah dugaannya saja atau tidak. Gio merasa ada beberapa kejanggalan yang terjadi di belakangan minggu ini. Tidak hanya abang keduanya yang terasa sedikit dingin, tetapi abang pertamanya ini juga yang melakukan banyak hal tidak penting.
Apa mungkin kedua jiwa abangnya ini bertukar? Tapi mana mungkin, kan?
Bang Rean? Sejak kapan mulai bersikap sabar dan seperti ini? Ia yang biasanya seperti Tom & Jerry tentu asing akan situasi seperti ini.
"Lo sendiri belum tidur, Bang?" tanya Gio, meraih buku dan laptop, lalu bangkit setelah mengambil jeda beberapa menit.
"Sudah cukup satu jam tadi. Sekali terbangun, gue nggak bakal bisa tidur. Udah, buruan sana lo. Perlu gue lempar biar sampai ke kamar?"
Gio berdecih, membalikkan badan. Tidak seharusnya ia menduga seperti tadi. Menyebalkan. "Gue tidur dulu, Bang. Selamat malam," ucap Gio, begitu sesampainya di lantai atas, berdiri di koridor depan pintu kamar.
Rean mengangguk singkat.
Tutupan pintu terdengar. Baru saja Rean hendak mengembus napas panjang, sembari merebahkan tubuh di sofa, sontak suara kendaraan dari teras terdengar. Bukan milik Dikta, ia tahu itu, tapi ....
"Bang Re, sorry, gue baru antar adik lo pulang."
Rean yang membuka pintu depan mengernyitkan dahi drngan heran. Ya, pada akhirnya sahabat dari adiknya itu yang mengantar. Tampak Dikta yang duduk di belakang itu, turun dengan asal bersama wajahnya yang pucat, lalu melepaskan helm, berjalan tidak selera.
"Thanks, Rey. Mau nginap sekalian?" tanya Rean, memperhatikan Reyhan yang memperhatikan punggung Dikta yang berjalan masuk ke dalam rumah dengan cemas.
"Nggak, Bang." Reyhan mencondongkan tubuh, berbisik. "Suasana hati adik lo beberapa minggu belakangan ini nggak bagus, kondisi fisik, sama kinerja dia di kafe benar-benar drop. Gue pikir, lo harus bicara lagi sama dia soal keputusan itu."
"Lo tahu?" tanya Rean.
Reyhan mengembus napas panjang, memasang wajah tidak enak. "Begitulah, setelah susah payah gue maksa dia untuk cerita."
"Oke." Rean mengangguk paham. Pada akhirnya Dikta tetaplah Dikta bukan? Ada beberapa sifat yang tidak dapat diubah sekalipun entah berapa lama waktu berjalan. "Hati-hati lo pulangnya. Kalau butuh bantuan apa-apa, bilang ke gue."
"Sip." Reyhan mengangkat jempol, lalu kembali mengengkol kendaraan dan berlalu.
"Dik, gue mau bicara sebentar," cegat Rean, berhasil membuat Dikta yabg baru saja keluar dari toilet untuk membasuk wajah itu menghentikan langkah, setengah mengangkat wajahnya dengan malas.
"Ya, gue tau ini salah. Gue minta maaf udah pulang kemalaman," jawab Dikta sekenanya, ingin kembali berjalan tetapi bahu itu dicegat oleh Rean.
Dikta berdecak. "Gue capek! Butuh istirahat, mengerti!"
Rean menggeleng. "Selama apa pun lo istirahat, nggak bakal hilang, selagi lo menyimpan semua kegusaran lo sendirian. Buruan cerita!"
"Sh*t!" umpat Dikta, membuang wajah.
"Ayo!" Rean membuka kulkas di dapur, setengah melemparkan sebotol air soda berukuran sedang dan ditangkap dengan sempurna oleh pihak lawan. "Kali ini biarkan gue yang bantu lo."
Dan entah merupakan sebuah keberuntungan atau tidak bagi Dikta saat Rean membantunya. Ya, memang Rean sama sekali tidak memotong ucapan ataupun menyangkal setiap pemikiran yang Dikta tuturkan, tapi maslaahnya sekarang adalah punggungnya. Ya! Entah berapa umurnya sekarang.
"Re! Woi! Sakit gila! Lo kerokin punggung gue pakai garpu atau apa dah?"
Rean membalurkan minyak lalu menggosoknya dengan kuat menggunakan koin di tangan. "Merah semua, banyak bener angin lo. Lain kali, kalau nggak biasa jangan sok-sokan pulang larut malam, ngerti? Wajah lo pucat udah kayak apa aja. Sudah makan belum lo?"
Dikta mendesis. "Gue bukan kayak lo, gila kerja sampai lupa makan sama tidur."
Tanpa basa-basi, Rean mendaratkan kepalan tanfan ke kepala Dikta, menjitaknya dengan kuat. Entah berapa kali umpatan yang ia dengar dari adiknya itu hari ini. "Apa yang lo cemaskan sebenarnya, hah? Gue minta lo tolong jaga Nanta di sana, bukan nyuruh lo jalani kegiatan perusahaan. Atau lo cemas sama Gio, hm?"
Dikta mengangguk pelan, menopang keoala dengan kedua tangan yang terlipat di meja ruang tengah, meskipun sesekali bersendawa dan meringis saat Rean mengerok punggungnya dengan kuat. "Sebenarnya tinggal nunggu waktu, sampai dia benar-benar tunjukkan sisi gelapnya."
Rean diam saja, enggan menjawab.
"Dia benci ditinggalkan, kepercayaan dirinya benar-benar rendah, tapi beruntungnya dia tidak mengerti arti benci dan dendam. Setidaknya itu yang membuat gue sedikit lega." Dikta tersenyum samar. "Gue beritahu ini karena gue yang urus dia sedari dulu selagi lo pergi bersama bokap nyokap. Gue harap lo nggak marah sama dia, meskipun lo tau sendiri dia penuh gengsi, tapi sebenarnya dia tetap Gio yang lo kenal dulu."
"Yang suka cegat gue pergi? Ke mana-mana mau selalu ditemani? Manja? Cengeng?" tanya Rean.
Dikta mengangguk. "Gue selalu ingin menghapus sisinya yang itu, tapi selama apa pun juga nggak bisa. Di dekat gue, dia bukan orang yang mau menunjukkan sisi rapuhnya. Ketika nanti gue pergi, dan hal itu terjadi, lo mau bantu gue, Bang?"
"Gio juga adik gue, Dik. Asal lo tahu, kalian semua adik gue, tujuan dari gue hidup dan berusaha sejauh ini," ucap Rean. "Lagipula lo tenang aja, bukannya dulu lo pernah kenal seseorang lagi yang sifat nggak jauh kayak dia? Atau sebenarnya lo lupa?"
Dikta terdiam sejenak, butuh beberapa detik baginga untuk berpikir sembari menatap pigura foto yang tergeletak di lemari kaca, lalu tertawa pelan, menghadap belakang. "Pantas aja, gue kayak nggak asing menghadapi Gio selama ini, ternyata ...."
Rean ikut tertawa pelan, menepuk bahu Dikta dengan kuat. "Lo tenang aja. Cepat atau lambat kita semua memang harus hadapi semua ketakutan dan ketidaknyamanan di diri kita. Dah, gue mau cuci tangan, lanjut tidur! Gila, bau minyak urutnya nyengat benar, woi!"
Dikta yang kini merenggangkan tubuh, hanya bisa menggeleng pasrah. "Lo emang berisik, Bang."
____
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Up : 17.08.2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes #2
Teen Fiction"Gue nggak ngerti, kenapa genre hidup kita jadi horor komedi gini, Yo?" Bagi Nesya cinta itu hanya sementara, tetapi bagi Gio cinta itu selamanya. Hingga suatu hal terjadi, ketika Gio tidak lagi memegang prinsip yang sama, Nesya juga semakin jauh ke...