7 : HANYA DIBACA

39 2 0
                                    

Dik, lo balik lagi ke toko? Gue mau tutup.

Dibaca. Pesannya kepada Dikta tadi malam berakhir tidak ada balasan.

Setengah menggeram, Reyhan memasuki kafe. Ruangan yang sepi dengan cahaya matahari yang memasuki jendela,  aroma kopi yang jelas melekat di indera penciumannya berhasul membuat reyhan mengernyitkan dahi. Dikta sudah terlebih dahulu datang dan mempersiapkan semuanya sendirian?

"Dik, bahan-bahan di dapur--"

Pintu ruangan di lantai dua dihentak tiba-tiba, berhasil membuat Dikta yang bersantai dengan laptop di pangkuan itu menoleh sejenak. "Bisa buka pintunya pelan-pelan?"

Reyhan mengangkat kedua tangan, tak kalah terkejut dengan suara hentakan yang ia berikan tadi. "Sorry. Gue mau tanya, bahan-bahan di dapur--"

"Udah gue persiapkan. Bahan makan di dalam freezer," jawab Dikta, memalingkan wajah, sibuk kembali dengan layar laptopnya.

"Chat gue semalam kenapa nggak lo--"

"Suasana hati gue nggak bagus berapa minggu belakangan. Jangan ganggu gue dulu," potong Dikta.

Geram ucapannya dipotong, Reyhan melangkah lebar, berdiri tepat di belakang lalu menoyor kepala itu dengan kepalan tangannya tanpa ampun. "Lo kenapa, hm? Masih marah karena masalah gue nggak mau urus Nesya?"

Berhasil. Dikta meresponnya.

"Gila lo, ya! Kepala gue ini woi!" Dikta bangkit, berusaha membalas, tetapi dengan sigap Reyhan menghindar, menahan kepalan tangan Dikta agar tetap berada di jarak berapa meter darinya. "Sini lo deketan, gue tebas pala lo!"

"Ye! Sensi amat ini anak. Tenang elah! Napa dah lo!"

Berhasil menemukan celah, langsung saja Reyhan mengunci pergerakan. Dikta yang berada dalam kukungan memberontak. Nihil, Reyhan semakin memperkuat. "Cerita sama gue, woi!"

Dikta menggeleng. "Lepasin gue, Bego!"

"Nggak," jawab Reyhan santai.

"Kerjaan gue belum selesai! Klien keburu minta proyeknya!"

"Entar gue bantu," jawab Reyhan seadanya.

"Rey! Lo--"

"Apa, hm? Ada masalah apa lo sebenarnya? Murung mulu etdah! Gue lepasin, asal lo janji bakal cerita setelah ini." Reyhan mengangkat kepala. "Jawab iya, baru gue lepas."

Dikta mengangguk singkat, mengembus napas panjang. "Iya, gue cerita."

___

Suara jari beradu pada papan keyboard laptop terdengar dari salah satu ruangan. Tidak ramai, bahkan yang biasanya hanya dihuni oleh seseorang kini menjadi dua orang. Meski begitu, keduanya tetap fokus pada layar, mengerjakan kegiatan masing-masing.

"Bang Re," panggil Gio tiba-tiba, ia yang sedari menyentuh keyboard laptop dengan tidak selera dari sofa tamu, kini melirik abangnya itu yang sedang mengusap dagu dengan jempol sembari mengerutkan dahi, berpikir keras.

"Bang Re!"

"Apaan, Yo?" Rean mengalah, mengalihkan pandangan, tetapi tidak berniat bangkit dari kursi putar hitamnya. "Bicara aja gue dengar."

Gio menatap laptopnya tidak selera, memasukkan dalam tas dengan asal. "Gue mau nyerah, kayaknya nggak bakal bisa selesaikan tugas akhir tahun ini. Lo bisa beri gue waktu buat selesaikan kuliah gue tahun depan?"

Rean merenggangkan jari, begitu jiga halnya dengan tubuh, lalu mengecek ponsel yang ia abaikan selama satu jam lalu. "Nggak."

Gio membulatkan mata. "Gila lo! Beri gue sekali kesempatan kenapa?"

"Nggak selamanya kesempatan bakal datang kedua kali," ucap Rean tegas, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Jarinya tertahan sejenak, lalu berpikir keras. "Kenapa lo berpikir seperti itu?"

"Gue capek," gumam Gio, menggeleng pelan. Bahunya menurun lemas, menatap Rean yang masih saja mengabaikannya. "Gue merasa beberapa minggu nanti bakal ada hal yang nyerap tenaga gue, seperti dementor, atau vampir mungkin?"

"Kalau gue minta lo untuk berusaha gimana?" Rean menatap Gio sejenak, mengangkat sebelah alisnya, meremehkan. "Apa pun hasilnya, gue mau lo coba sekeras mungkin. Gimana mau jadi penerus perusahaan kalau kayak gini? Yang modelan gue aja masih oleng, apalagi--"

"Ya! Ya! Ya! Dasar orang tua!" umpat Gio, bunyi renyah terdengar dari leher begitu dimiringkan ke kanan dan kiri dengan kuat. "Gue kerjain, noh! Kerjain!"

Suara ketukan keyboard dengan kesal lagi-lagi terdengar jelas. Rean yang tanpa berminat untuk membalas gerutuan itu hanya membungkam, memperhatikan adiknya itu sembari tersenyum samar.

Maafin gue, Yo. Gue gagal jadi abang kalian.

________________________________________________

Thanks for reading! I hope you enjoy it! 

Vote, komen, dan krisarnya sangat membantu. 

Oh, ya, Brother's Note dalam proses penerbitan ya teman-teman. Jangan lupa nabung, rekomendasiin ke teman-teman, ya. 

Brother Notes #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang