Menyayangi Udara

45 13 4
                                    

Selamat membaca Udara di Langit Kota

Hans dan Udara ❤️

***

Dokter Bian sudah datang lantas bergegas memeriksa keadaan Udara. Sementara Hans sedang gelisah melihat pujaan hatinya masih setia menutup mata. Laki-laki itu sangat mencintai Udara.

"Udara tidak apa-apa. Hanya kelelahan saja," kata dokter Bian kemudian mengambil obat dari tasnya dan diberikan kepada Hafshah. "Dua obat ini diminum sebelum makan. Tolong, beri tahu Udara untuk jangan telat makan. Asam lambungnya sudah semakin parah."

"Iya, terima kasih, Dokter," kata Hafshah.

Dalam hati Hafshah sangat jengkel kepada Udara yang sakit-sakitan. Begitu lemah berbeda dengan Alder dan Cahaya. Oleh karena itu dia menjadi ibu yang pilih kasih. Ditambah lagi mereka mengira kalau Udara penyebab kematian Hamzah.

Bagaimana dengan perasaan Udara kalau tahu Hafshah selalu berpura-pura baik kepadanya. Semenjak Hafshah menikah lagi, Udara kehilangan kasih sayang seorang ibu.

"Hans, tolong berikan obat ini kepada Udara," pinta Hafshah setelah itu ia dan yang lain meninggalkan Udara seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Hans melihat itu langsung menatap punggung mereka dengan tajam. Apakah keluarga Udara tidak punya perasaan? Bukannya merawat Udara yang lagi sakit malah duduk di ruang keluarga lalu menonton televisi sambil tertawa.

Hans menarik selimut hingga menutupi tubuh Udara sampai dada. Ia juga menghidupkan kipas angin karena Udara sedikit berkeringat lalu ia seka dengan tissu yang berada di meja belajar gadis itu.

"Kamu perempuan yang baik dan kuat. Aku harap suatu saat nanti kamu akan bahagia bersamaku," ujar Hans setelah itu duduk di kursi belajar Udara.

Mata Hans begitu sendu melihat Udara masih setia menutup mata,"Aku menyayangimu, Udara."

Mata Udara mengerjap-ngerjap secara perlahan-lahan hingga terbuka secara sempurna. Dapat ia tangkap di indra penglihatannya ada Hans sedang tertidur di meja belajar.

"Hans," panggil Udara.

Hans belum sepenuhnya tertidur tetapi ia sangat mengantuk. Namun, sebisa mungkin Hans tahan karena ingin menjaga Udara. Suara lembut Udara masuk ke telinga Hans hingga membuat hatinya berdesir hebat.

Mata Hans terbuka lalu menatap gadis manis yang sekarang sedang bersandar di kepala ranjang. Mata Udara sayu dengan pandangan menunduk. Tangannya menekan perut tepat di bagian ulu hati. Begitu perih dan menyiksa Udara.

Hans langsung menghampiri Udara ketika meringis kesakitan,"Dara, perutmu masih sakit?"

Udara mengangguk sambil mencengkram kuat perutnya. Hans bingung harus melakukan apa. Mungkin air hangat bisa meredakan sakit.

"Kamu kunyah dulu obat ini," suruh Hans sambil membukakan tablet kunyah. "Aku mau mengambil air hangat dulu."

Setelah Udara memasukkan obat tersebut. Hans bergegas mencari orang tua Udara agar membawakan air hangat ke kamar. Namun, rumah sudah sepi seperti tak ada penghuni. Beruntung Cahaya keluar dari kamarnya.

"Haya," panggil Hans.

Cahaya terlihat ketakutan karena Hans berada di rumahnya apalagi laki-laki itu keluar dari kamar Udara. Cahaya langsung teringat perlakuan Hans yang sering memaksa Udara. Jangan-jangan Hans menyakiti kakaknya.

"Kenapa Kak Hans masih ada di sini?" tanya Cahaya karena ia mengira kalau Hans sudah pulang.

"Maaf, saya hanya menjaga Udara," balas Hans tersenyum tipis. "Boleh ambilkan air hangat dan handuk kecil yang bersih untuk Udara?"

UDARA DI LANGIT KOTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang