Bohlam Cinta

19 6 0
                                    


"Hans," panggil Riana ketika anak laki-lakinya itu baru pulang. "Jangan seenaknya kamu memberi diskon di kafe."

Hans menghela napas. "Hans hanya ingin merayakan hari bahagia dengan Udara."

"Mama tahu, tapi lihat-lihat kondisi. Kafe lagi sepi pengunjung, pendapatan kita sedang menurun," kata Riana.

"Nanti Hans ganti uangnya." Hans tak mau memperpanjang masalah. Apalagi Riana yang selalu perhitungan tentang kafe.

"Mama tidak menyuruhmu mengganti uangnya," ujar Riana.

"Lalu mau Mama apa? Hans sekarang capek, Ma. Tolong bahas nanti saja." Hans melangkah pergi meninggalkan Riana yang tak berhenti mengoceh.

Banyak bisnis yang dijalankan oleh keluarga Hans. Namun, hanya kafe Ariana yang selalu menjadi perdebatan. Hans tahu kalau kafe tersebut memang memiliki sejarah perjuangan orang tuanya dari sejak pacaran sampai menikah hingga memiliki dua anak.

Hans juga ingin kisah cintanya juga dirayakan di kafe tersebut. Berharap, suatu saat nanti ia dan Udara menikah dan memiliki lebih dari dua anak.

Setelah berada di kamar, Hans duduk di sofa yang menghadap jendela. Hingga terlihat jelas pemandangan di luar sana.

"Aku berharap Udara benar-benar mencintaiku," ucap Hans lalu tersenyum tipis. "Tidak ada seorang pun yang akan mengambil kamu dari hidupku, Udara."

Hans beranjak untuk mandi setelah sekitar setengah jam. Ia keluar menggunakan piama berwarna biru. Lalu merebahkan tubuhnya di kasur.

"Kapan aku bisa menikahi Udara?" Hans berkhayal kalau di hadapannya sekarang adalah Udara. "Udara?"

Ketika Hans beranjak dan hendak memeluk seseorang yang menurutnya itu adalah Udara. Tiba-tiba suara menggelegar memekakkan telinga.

"Bang Hans!" teriak Rembulan hingga kuping Hans panas. "Ini aku Rembulan bukan Udara!"

Hans tersadar bahwa sedang berhalusinasi. Mungkin ini efek dari terlalu jatuh cinta kepada Udara. Sampai-sampai adiknya sendiri ia sangka Udara. Memang terlalu obsesi itu tidak baik.

"Pikiran Abang itu selalu Udara, Udara dan Udara. Udara saja tidak mencintai Abang! Seharusnya Abang sadar diri!" marah Rembulan.

"Buktinya Udara menerimaku sebagai kekasihnya," balas Hans tak mau kalah.

"Karena Udara merasa kasihan!" ungkap Rembulan.

Rembulan merasa kasihan dengan Udara yang selalu dipaksa Hans agar menerima cintanya. Namun, ia juga sedih karena Udara tidak mencintai kakaknya.

"Tapi sekarang Udara adalah milikku. Dan tidak ada satu orang pun yang memisahkan kami berdua!" tegas Hans.

Rembulan tak tahu apa yang ada dalam pikiran Hans. Kenapa kakaknya sangat terobsesi dengan Udara. Padahal dahulu saat bersama Aurel, Hans tidak seperti ini. Menurut Rembulan, Hans terlalu berlebihan dalam mencintai. Semoga suatu saat nanti Hans tidak sakit hati.

***

Udara menekan tombol penghubung antara lampunya dan Utara. Ia berusaha mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Namun, ingatannya belum sempurna. Hanya ada potongan-potongan kecil kenangan bersama Utara.

"Udara, kalau nanti kita sudah besar. Kamu mau tidak membangun rumah bersamaku?" ucap anak lelaki yang terlihat lebih tua empat tahun dari Udara.

"Aku punya rumah. Kenapa harus membangun rumah lagi?" tanya Udara tak mengerti.

"Rumah yang aku anggap paling nyaman ternyata membuat lukaku semakin dalam," balas Utara.

UDARA DI LANGIT KOTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang