Udara merasa bersalah karena telah menjadi sumber luka Hans. "Ayo, kita mencari udara segar di luar. Biar pikiran kamu lebih tenang."
"Bagaimana bisa aku mencari udara lain di luar. Sedangkan, udara yang selalu menjadi obat penenang sekaligus menjadikanku candu itu kamu." Hans membelai lembut rambut perempuan di depannya saat ini. Ia dekap dengan erat seakan-akan itu pelukan terakhir.
Udara mendorong dada Hans agar pelukan itu lepas. Namun, Hans tidak peduli karena yang menjadi tujuannya sekarang adalah menyalurkan rasa rindu.
"Sekali lagi kamu meminta untuk lepas dariku. Aku akan melakukan hal yang lebih nekad lagi," bisik Hans penuh penekanan. "Besok aku akan mengurus persiapan pernikahan kita!"
Udara memberontak dalam pelukan Hans. Ia menggigit kuat bahu Hans hingga ia terlepas dari laki-laki gila itu.
"Manusia gila!" marah Udara.
"Ya, aku memang gila, Udara!" desis Hans.
"Aku mau kita putus! Nggak ada pernikahan di antara kita berdua. Aku nggak sudi menikah dengan laki-laki gila seperti kamu, Hans!" Udara hendak pergi, tetapi tangannya dicekal kuat oleh Hans. "Lepas! Aku bukan kekasihmu lagi!"
"Nggak akan semudah itu, Udara! Apa perlu aku mengurungmu di sini biar nggak ke mana-mana!" seru Hans.
Udara menangis tak berhenti. Kalau ia tahu akan terjadi seperti ini. Ia tak akan menjenguk Hans di apartemen. Kenapa ia percaya saja ketika Jenan mengatakan Hans kecelakaan dan mengalami luka parah. Buktinya laki-laki itu sekarang masih sehat, segar bugar. Tidak, otak Hans geser makanya tambah gila.
"Tarik semua ucapanmu, Udara! Katakan kalau kamu nggak mau putus dariku." Hans memaksa Udara dengan cara memegang leher perempuan itu agak kuat. "Masih mau membantah?"
Udara menangis terisak-isak seraya menepuk tangan Hans agar tak mencekiknya lebih kuat. Ia menyesal telah menerima cinta Hans. Kalau saja ia tahu akan berakhir menjadi layaknya tawanan. Tidak ada kata jadian di antara mereka berdua.
Hans tak lagi mencekik Udara, tangannya sekarang beralih mengusap air mata kekasihnya. "Air mata, sialan! Kenapa kamu selalu menunjukkan air mata kesedihan di depanku?"
"Karena kamu menyakitiku, manusia gila." Udara merasa suaranya tercekat di tenggorokan.
"Jangan pernah lagi tampakkan air mata kesedihan di depanku. Kecuali, kamu itu putri duyung!" Jika air mata Udara bisa berubah menjadi mutiara. Setiap hari Hans akan membuat gadis manisnya menangis.
Tangis Udara semakin kencang sampai Hans mendelik tajam. "Aku benci suara tangismu, Udara! Itu akan membuat aku ingin memelukmu."
Itu adalah bentuk pengendalian diri Hans. Ia tidak mau Udara semakin merasa tersakiti karena dirinya. Hans memukul tembok apartemen sampai bingkai figura terjatuh mengenai kepala Udara.
"Argh," teriak Hans.
Udara meraba kepalanya yang perih tak ketulungan. Hans belum melihat banyak darah merembes keluar. Laki-laki itu masih mengendalikan emosinya. Udara buru-buru keluar mencari pertolongan.
"Udara!" teriak Hans lalu mengejar perempuan itu setelah melihat banyak darah berceceran di lantai. "Bodoh! Kamu bodoh, Hans!"
Udara menangis sambil menahan darah itu agar tidak merembes ke mana-mana. Udara memberhentikan taksi lantas melaju dengan kecepatan sedang. Hans berteriak kemudian kembali lagi ke apartemen untuk mengambil kunci mobil.
"Aku bisa gila gara-gara kamu, Udara." Hans menyetir dengan wajah penuh amarah.
Hans mengklakson taksi itu berkali-kali. Penumpang di dalamnya memohon kepada sang supir untuk tidak berhenti. Namun, Hans tak mudah goyah. Ia tetap mengejar Udara sampai ke ujung dunia sekalipun akan Hans lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UDARA DI LANGIT KOTA
RomanceKisah ini menceritakan tentang seorang anak tengah dari keluarga sederhana. Dia adalah Udara Medina Sophia. Udara menyesal bertemu dengan Hans Bumantara Selatan. Laki-laki yang mengejarnya bukan karena cinta melainkan obsesi semata. "Jangan sentuh...