Seperti Biasa

16 6 0
                                    


****

Hans melihat kedatangan Jeffran bersama dengan Ciara. Gadis kecil itu tersenyum lantas berlari menghampirinya. Hans sangat merindukan tawa dan rengekan Ciara.

"Kak An," panggil Ciara kemudian mendekap tubuh tegap itu dengan erat. "Ciara kangen banget sama Kak An."

Hans langsung mengendong Ciara. "Kak An juga kangen sama Ciara."

"Benarkah?" Mata Ciara  berbinar. "Tapi, Kak An sekarang jarang main sama Ciara."

Hans terkekeh geli melihat wajah Ciara memberengut. Kemudian perhatiannya teralihkan kepada Jeffran yang sedang sibuk memainkan ponsel.

"Oh iya, Ciara hari ini mau ketemu kakak cantik," ujar Ciara.

"Kak Bulan?" tebak Hans.

Ciara menggeleng kuat.

Hans mengernyitkan dahi. Siapa kakak cantik yang Ciara maksud kalau bukan Rembulan? Seolah-olah tahu dengan tatapan Hans. Ciara pun membisikkan sesuatu di telinga Hans. Tubuh Hans menegang, ia terkejut bukan main. Mengapa harus dia, apakah tidak ada perempuan lain saja?

"Udara?" tanya Hans. Ia berharap bukan Udara pacarnya.

"Iya, Papa bilang kakak cantik itu calon mama Ciara,"  ujar Ciara senang.

Hans menurunkan Ciara dari gendongannya. Kenapa anak umur lima tahun itu percaya-percaya saja dengan bulan Jeffran. Ia mendelik tajam kepada Jeffran yang berstatus sebagai omnya.

"Kita butuh bicara, Om," kata Hans. Setelah mengatakan itu ia menoleh Ciara. "Cia main sama kak Bulan dulu di kamar, ya."

Jeffran sadar akan perubahan mimik wajah Hans. Ia langsung menurut saja daripada akan ada perang dunia kedua. Jeffran menaruh ponselnya ke dalam saku celana.

"Maksud Om apa?" Hans mengepalkan tangan menahan rasa kesalnya.

"Om ada salah?" Itu seperti bukan pertanyaan, tetapi ejekan yang membuat Hans sedikit tersinggung. "Ucapan Ciara memang benar. Ia memang punya calon mama."

"Di dunia banyak perempuan! Kenapa harus Udara, Om?" marah Hans.

Jeffran tertawa mengejek. "Lalu bagaimana dengan kamu, Hans?"

Hans tertawa sumbang. Benar apa kata Jeffran kalau ia juga ingin memiliki Udara. Bukan berarti harus bersaing dengan omnya sendiri. Sial! Kenapa Jeffran menyukai Udara juga?

"Udara itu pacarku, Om," tekan Hans.

"Tapi aku menyukai pacarmu, Hans," kata Jeffran sambil bersedekap dada.

"Janda banyak, Om. Kenapa milih jadi pedofil?" Hans tak mau Udara menjadi tantenya. Lebih baik ia terlebih dahulu memperistri perempuan itu.

"Memang janda banyak, tetapi Udara kelihatannya lebih manis," kata Jeffran mengedipkan matanya lantas tersenyum meledek.

"Mana mau Udara sama duda," geram Hans.

"Mudah, sih, tinggal pelet aja. Pasti Udara bakal klepek-klepek sama Om."

"Brengsek!" Hans menonjok perut Jeffran tanpa ampun. "Aku nggak bakal ngebiarin Om mendekati Udara! Udara itu milikku, hanya milikku dan tetap milikku!"

Jeffran tak melawan, ia menikmati setiap pukulan yang dilayangkan oleh Hans. Ia tertawa sambil menyeka darah di sudut bibirnya. Jeffran akui kalau ia juga jatuh hati dengan Udara saat pertama kali mengajar di SMA.

"Bang Hans!" pekik Rembulan ketika Hans ingin memukul kembali wajah Jeffran. "Apa yang Abang lakukan!"

Untung saja Ciara sedang tidur di kamar. Jadi mereka tidak memberi luka yang berujung trauma. Hans menghela napas panjang kemudian melenggang pergi membiarkan Rembulan mengurus Jeffran.

UDARA DI LANGIT KOTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang