Tentang Kiren 2

59 18 1
                                    

Kiren meneguk coklat panas yang sudah ia buat setelah pulang sekolah tadi. Ia duduk di balkon kamarnya dengan ditemani secangkir coklat panas sembari melihat warna langit jingga yang indah khas sore hari. Kiren merasa hidupnya benar-benar dalam kesunyian, tak ada seorangpun yang menemani bahkan tinggal bersamanya.

Kiren menghembuskan napasnya berat, ia penat, ia lelah, ia cape, tapi tidak tahu harus mengadu dengan siapa. Tak ada siapapun yang menanyakan kabarnya. Tak ada siapapun yang menanyakan bagaimana keadaannya.

"Kira-kira gimana ya rasanya punya keluarga yang utuh, yang disayangi, yang diperhatikan sama orang tuanya. Gue juga pengen, pengen bangett," perlahan Kiren mengeluarkan air matanya.

Air mata yang jika ada orang melihat, itu sangat menyakitkan. Dilubuk hatinya, terbesit keinginan agar orang tuanya memperdulikannya. Tapi itu tidaklah mungkin.

"Gue bisa kok hidup tanpa dibiayain mereka, tanpa dipeduliin. Ngapain gue nangis ya HAHAHAHA," gadis berambut panjang itu menghapus jejak-jejak air mata yang membasahi pipinya.

Kiren meneguk coklat panasnya lagi, kemudian terdengar suara berisik di lantai bawah rumahnya.

"Suara apaan buset, ko kaya ada yang jalan ya?"

Di sisi lain Zora sudah berada di rumah Kiren. Ia sangat susah payah membawa koper yang ia bawa dari rumah. Ia berniat ingin menginap di rumah teman sebangkunya itu.

"WOE KIREN!! OYY KELUAR KAMAR LO KIREN!" Teriak Zora sambil menggandeng kopernya.

Terlihat dari lantai atas Kiren berekspresi melongo memandang Zora yang menggeret kopernya.

"Lo ngapainnn ke rumah gue oii, pake bawa koper segala lagii," ucap Kiren dari lantai atas.

"HAAAA BANTUINN GUE LAH IYENN!" Teriak Zora lagi

Kiren berdecak lalu turun dari tangga "Ck, lo mau nginep di rumah gue? Katanya lo besok nggak berangkat sekolah karena ada acara keluarga. Lah ini lo ngapain nginep?"

"Gue nggak mau ikut acara itu! Masa katanya gue izin sekolah buat bantu-bantu cuci piring, tapi nggak boleh ikut pesta pernikahannya. Yaa nggak mau dongg guee," ucap Zora kesal.

Kiren meraih koper Zora, "Lah jadi babu? HAHAHAHAH. Kaciann, yaudah nginep aja gapapa di rumah gue. Emang yang nikahan siapa si?"

"Nggak tau, nggak kenal. Kata mommy si saudara gue. Udah ah nggak peduli, sebel." kata Zora mengeluh.

Mereka berdua berjalan ke lantai atas, menuju kamar Kiren. Sebenarnya di rumah yang Kiren tempati ini memiliki 3 kamar dan bisa jika Zora tidur di salah satu kamar yang kosong. Hanya saja menurut Kiren, akan lebih baik jikalau Zora satu kamar dengannya. Itu dikarenakan rumah Kiren ini memang terkesan sedikit menyeramkan sebab hanya ditinggali oleh Kiren seorang.

"Wih, baguss banget kamar lo," puji Zora.

Kiren memutar matanya malas, "kaya kamar lo nggak bagus aja."

"Bagus, tapi bagusan kamar lo anjir," ucap gadis berambut pendek alias Zora.

Zora merebahkan dirinya di kasur berukuran queen size milik temannya itu. Kiren juga ikut merebahkan dirinya disamping Zora.

Dalam benak Kiren ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Zora, istilahnya deep talk. Ia tiba-tiba ingin deep talk.

"Zora."

"Hmm."

"Ra."

"Hmm."

"Zora shibal!!"

"Apaan nyuk?!!" Ngegas Zora bangun dari rebahannya.

Kiren cengengesan ditatap Zora, Zora terlihat sangar. "Heheheh. Oke gue mau serius ini."

Zora menaikkan satu alis penasaran, perasaannya jadi aneh.

"Gimana sih rasanya punya keluarga yang utuh?" Ucap Kiren lirih.

Zora diam sejenak dan menatap temannya lekat, "Rasanya punya keluarga yang utuh? Bagi gue enak. Sebenarnya punya keluarga yang utuh itu nggak mesti semuanya enak atau bahagia Ren. Ada kalanya di sebuah keluarga itu muncul permasalahan atau pertengkaran, cekcok lah, ini lah, itu lah. Dan buat gue yang Alhamdulillah keluarganya masih utuh walau kadang cemara kadang enggak. Dan buat lo, gue paham lo sering banget merasa kesepian dan sunyi di rumah segede ini Ren. Tapi asal lo tau, mungkin Tuhan emang ngasih lo takdir kaya begini karena memang ini yang terbaik dan Tuhan tau kalo lo itu kuat. Lo sanggup sama apa yang Tuhan kasih. Gue emang gatau rasanya jadi elo Ren, tapi gue mencoba buat paham dan sebisa mungkin ada disaat lo butuh temen buat cerita, buat nanya-nanya hal apapun. Contohnya kaya gini." Zora tersenyum hangat sambil memegang pundak Kiren. Zora paham apa yang Kiren rasakan. Bahkan keluarga Zora yang kadang ada pertengkaran pun, ia sukar melihatnya.

Kiren mencerna perkataan Zora baik-baik. Ia diam, dan tak lama setetes air mata keluar dari pelupuk matanya.

"Ra, gue emang nggak tahu rasanya ngeliat keluarga cekcok. Tapi kalo misal gue dikasi pilihan sama Tuhan, gue mau punya keluarga yang ada di sisi gue Ra, gue nggak perduli walau kadang cemara kadang nggak. Gue cuman pengen ngerasain kasih sayang orang tua, sedikittt ajaaa.. gue mauuu Raaa... hiks." Suara Kiren semakin melemah, ia menangis sesenggukan.

Zora tak sanggup melihat Kiren saat ini, diposisi ini. Ia memeluk Kiren, erat. Sahabatnya yang biasanya tersenyum, cuek akan sekitar, dan ramah pada orang orang dekat, kini terlihat sudah sisi rapuhnya.

Zora memalingkan wajahnya, tidak sanggup.

"Ren, lo boleh nangis sepuas yang lo mau sekarang. Bebas. Keluarin semua unek-unek lo sekarang, gapapa gue dengerin. Jangan pendem sendiri ya iyennn. Gue udah anggep lo adek gue Renn," ucap Zora sambil menepuk nepuk pelan punggung Kiren yang masih di pelukannya.

KIREN🌧

halooo!! ini cerita pertamakuuu~
terimakasih yang sudah membaca yaa~
tolong benarkan jika menemukan typo^.^
nantikan bab selanjutnya~
paipai~~!!!

Tentang KirenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang