Tentang Kiren 9

37 10 9
                                    

Di dalam lemari pakaian dua pintu terdapat seorang anak kecil meringkuk. Menangis dalam diam. Secara umum, lemari itu hangat, tapi sungguh bagi anak kecil berumur empat itu sangatlah dingin, dimana air matanya juga meluruh membasahi pipi.

Disaat anak berumur empat tahun di luaran sana bergembira dan bahagia menikmati masa kecilnya, tetapi tidak dengan Kirenia Azalea Laurel. Gadis mungil dengan rambut terurai serta poni yang membingkai dahinya setiap hari hanya bisa menangis mendengar kedua orang tuanya yang berselisih.

"Mamaaaa, papaah, Iyen takutt!!" Teriak gadis mungil tersebut dengan tersedu-sedu di sela tangisan.

Dari kamar Kiren, terdengar suara pecahan kaca berasal dari gelas, vas, piring dan benda-benda lain yang membuat anak kecil di dalam lemari terus meringkuk.

Tak terlewat barang sehari pun dalam keluarga Kiren pertengkaran orang tuanya. Bahkan hampir setiap hari antara papah dan mamahnya terus bertengkar seperti membiarkan anak kecilnya terluka mentalnya secara perlahan. Sakit, tapi apa yang bisa dilakukan anak sekecil itu?

Kiren mungil membuka pintu lemari dan menapakkan kakinya ke lantai menyusuri dimana kedua orang tuanya bertengkar. Tepat di belakang sofa panjang ruang tamu, Kiren kecil berhenti, memperhatikan kedua orangtuanya yang tetap beradu mulut satu sama lain.
Kiren kecil menahan suara tangisnya agar tidak keluar dan menjadi sasaran amukan keduanya.

"Aku sudah muak mas sama kamu! Kamu terus-terusan selingkuh sama sekretaris kamu! Aku dapat laporan dari teman-teman kantor kamu kalo kamu berkali-kali pergi ke hotel dengan wanita yang berbeda, aku cape mas!" Teriak wanita dengan dres merah, mamah Kiren.

Laki-laki dengan jas hitam terlihat murka atas apa yang dikatakan mamah Kiren, "Iya jelas! Kamu tidak pernah melayani saya semenjak anak sialan itu lahir! Jelas saya bermain dengan wanita lain, saya nggak cinta sama kamu. Kamu ingat? Saya dan kamu itu menikah karena perjodohan! Perjodohan kuno!" ucap papah Kiren dengan nada tinggi.

PLAK

Wanita dengan dress merah maju dan menampar pipi papah Kiren, "BRENGSEK KAMU MAS! Asal kamu tau aku juga nggak pernah cinta sama kamu! Tapi aku mencoba buat nggak selingkuh karena aku istri kamu! Tapi apa sekarang? HAHAHAH SIALAN, MULAI HARI INI AKU PERGI DARI SINI!" Teriak mamah Kiren dengan lantang dan membanting bingkai foto keluarga hingga hancur berkeping-keping.

PRAK

"Ma-mah, MAMAHHHH!!!" Kiren kecil berlari menyusul mamanya yang pergi namun tangan mungilnya di tahan oleh sang papa.

Tangan besar laki-laki berjas hitam menggenggam erat tangan mungil Kiren, "ANAK SIALAN, mati saja kamu!"

Papah Kiren, menyeret tubuh mungil Kiren menuju kamar mandi. Laki-laki dewasa tersebut mendorong tubuh anaknya sendiri ke dinding kamar mandi yang dingin. Kiren kecil menangis keras, sakit, hancur rasanya.

Sang papa kembali mengambil gayung dan memukulnya ke badan serta kepala anak berumur empat tahun tersebut. Jeritan, tangisan, ringisan tak mampu membuat papah Kiren berhenti memukulnya.

Darah segar perlahan keluar dari lengan, kaki, serta kening anak tersebut. Lagi, laki-laki yang dianggapnya seorang papa, heronya, mengambil shower dan mengarahkannya pada sang anak.

Kiren kecil hanya pasrah. Ia sayang papanya. Ia sayang mamah. Mata mungil Kiren mencoba menatap mata sang papa mencari dimana kasih sayang dan kelembutan. Tapi nihil, Kiren kecil tidak menemukan apapun.

"Papah, Iyen sayang papah," gadis mungil dengan rambut yang sudah basah itu tersenyum pedih menatap sang papa.

"BANGSAT! KENAPA KAMU DARAH DAGING SAYA! KENAPA?!" Teriak papah Kiren sambil menangis.

Terakhir, papah Kiren menendang tubuh mungil Kiren yang sudah tidak berdaya hingga terlempar ke pojok dan meninggalkannya begitu saja. Ia tidak peduli bahkan jika anak itu mati.

Kiren kecil tak kuat, dengan badannya yang sudah terasa sangat remuk. Pandangannya mulai memburam, anak kecil yang belum genap 5 tahun itu menangis. Ia hanya pasrah, apakah besok ia masih ada atau tidak. Dunia ini terlalu kejam untuk anak seusianya.

"JANGANNN!!" Teriak Kiren di atas ranjang tidurnya. Kiren bangun dari tidurnya dengan nafas yang memburu. Mimpi itu lagi. Kilasan balik masa kecilnya selalu saja terulang. Ia sadar masa kecilnya sangat buruk sehingga membuatnya trauma dan dihantui oleh kenangan buruknya saat kecil.

Kiren mengusap wajahnya kasar, "arghh, gue pengen balik ke masa lalu dan peluk diri gue yang semenyedihkan itu. Pasti sakit ya Iyen, maafin gue yang dulu nggak bisa apa-apa."

Kiren menangis, bayangan dirinya saat masih kecil mengalami kekerasan seperti itu benar-benar membuatnya tidak berdaya.

"Kiren benci papah! Kiren benci mamah! KIREN NGGAK PUNYA ORANG TUA!!" Kiren memberontak di atas kasur, ia menarik-narik rambutnya sendiri. Sakit di fisiknya saat ini tidak sebanding dengan sakitnya Kiren saat masih kecil.

Kiren mencoba menenangkan dirinya, ia menghembuskan napasnya pelan dan memejamkan matanya sejenak. Ia capek, haruskah dia ke psikiater minggu ini? Tapi selama bertahun-tahun itu tidak membuahkan hasil.

Kiren melirik jam dinding di kamarnya, sudah pukul 05.30 pagi. Ia harus bergegas mandi dan berangkat ke sekolah.

🪴🪴🪴

Suasana kelas Kiren sudah mulai ramai. Banyak murid yang sudah berangkat ke sekolah. Tapi menurut Kiren lebih ramai seseorang di sampingnya kini, sedari ia berangkat Zora terus saja memanggilnya berulang kali.

"Kiren," panggil Zora dengan menoel bahu Kiren.

"Ren."

"KIRENNN ANJAY MABAR SLEBEW!" Teriak Zora di telinga Kiren membuat Kiren berjingkat kaget.

"Astaghfirullah ukhti, kaget tau nggak, kenapa sih?" Tanya Kiren yang sudah sangat lelah. Kiren lebih banyak diam hari ini karena mimpi buruknya.

Zora menatap Kiren tak percaya, "kenapa? Lo tanya kenapa?" Zora menabok lengan Kiren, gemas sendiri jadinya. "Lo tuh ya, dipanggil-panggil nggak nyaut. Itu telinga apa cantolan panci?"

Kiren menatap Zora dengan mata berkaca-kaca, "jangan marahin gue dong, hari ini gue lagi sedih nih."

Zora panik dan langsung memegang kedua bahu Kiren, "eh lo kenapa anjir, gue nggak bermaksud marah. Lo kenapa?"

Kiren melepaskan tangan Zora yang ada dibahunya. Ia menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan.

"Jangan ganggu gue dulu, gue mau tidur, lagi nggak mood ngapa-ngapain, nanti gue cerita ke lo," ucap Kiren dengan mata terpejam.

Zora mengedipkan matanya beberapa kali, ini sangat bukan Kiren. Sangat lunglai sekali menurutnya.

Zora mengangguk, "yaudah lo tidur aja, urusan guru kalo lo ketahuan tidur gue punya alasan nanti. Bobok yang nyenyak ya."

KIREN🌧

halooo!! ini cerita pertamakuuu~
terimakasih yang sudah membaca yaa~
tolong benarkan jika menemukan typo^.^
nantikan bab selanjutnya~
paipai~~!!!


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang KirenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang