1;

1.9K 163 3
                                    

Hava berjingkat menuruni tangga, matanya menatap sekeliling rumah yang sudah gelap, nggak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sini.

Sebisa mungkin dia nggak nimbulin suara, nafasnya tertahan saat cahaya dari layar televisi menghadang langkahnya, dia terhenti beberapa anak tangga sebelum lantai bawah.

Seorang pria sedang duduk di ruang tengah, fokus menatap pertandingan sepak bola yang tersaji.

Hava pikir, menjelang subuh begini dia udah bisa bernafas lega, tapi rupanya belum. Pelan-pelan, dia kembali ke atas, mengunci kembali pintu kamarnya dengan hati-hati.

Nggak sadar kalo pria tadi merhatiin dia diam-diam.

***

"Sungguhan po?"

"Iyooo."

Entah udah berapa kali Hava jelasin kalo keputusannya untuk pindah sekolah udah bulat banget, nggak ada yang bisa ganggu gugat sekalipun itu berbentuk perempuan cantik yang sedang nemenin dia makan di kantin hari ini.

"Emang kenapa harus pindah sih?"

"Butuh suasana baru aku, Nan."

Jenanda Naeswari—satu-satunya sahabatnya sejak mereka masih taman kanak-kanak—mencebikkan bibir, enggan ditinggal Hava yang udah nemenin dia dari kecil.

"Emang apa sih yang kamu cari di Jakarta?"

"Kehidupan baru. New life."

"Ra usah boso enggres, logatmu medhok."

Tawa Hava berderai lembut, diam-diam mengelus pergelangan tangannya yang dihias karet hitam.

"Ibumu udah fix setuju?"

Gadis itu mengangguk kecil, "Nanti aku coba ngomong lagi deh, yang jelas kelas dua nanti, aku udah pasti pindah Jakarta."

Nanda cemberut, tangannya memeluk Hava dari samping.

"Jangan lupain aku loh."

"Nggaklaaaaah."

***

Pulang ke rumah selalu jadi hal yang Hava tidak suka.

Nggak kok, ini nggak kayak yang kalian pikirkan. Ibunya baik, sangat baik malahan. Wanita itu selalu mengusahakan yang terbaik untuknya juga sang adik.

Tapi, sepasang sepatu hitam yang tertata rapi di rak membuat nyalinya ciut seketika.

"Oh, sudah pulang?"

Pertanyaan itu nggak galak atau diucap dengan nada membentak tapi bikin Hava ketar-ketir.

"Iya ... ayah."

Perempuan itu buru-buru melepas kaos kaki, berlari kecil ke lantai atas di mana kamarnya berada, kemudian menguncinya dua kali.

"Huft, untung tadi beli chicken katsu."

Badannya dilempar ke atas kasur, memeluk boneka teddy bear berukuran besar yang dikirim oleh Heidy dari Jakarta.

"Sabar, Va. Sabar, dua minggu lagi ujian selesai."

Papanya udah janji bakalan ngurus proses transfer nilainya dari Surabaya ke Jakarta, Tante Tissa juga nggak komentar macam-macam pas Hava mau pindah.

Alasannya karena pengen ngerasain hidup di kota besar, memberi kesempatan bagi papa kandungnya untuk merasakan hadirnya Hava sepenuhnya.

Walaupun sedikit tidak rela, namun sang ibu akhirnya mengangguk dan setuju.

Hava menghela napas panjang, sebentar lagi, sedikit lagi.

Matanya menatap sekeliling kamar, mulai dari lemari besar berwarna putih yang menempel di dinding, isinya baju-baju dari formal sampai non formal.

Meja belajar lengkap dengan satu set komputer juga laptop di atasnya, buku-buku sekolah dan fiksi berjejer rapi di rak.

Hidupnya di Surabaya sangat sempurna, sejujurnya.

Tapi Hava tidak tahan lagi.

Dia harus pergi dari kota ini secepatnya.

Dan satu-satunya alasan paling logis adalah ikut ke kota di mana ayah kandungnya menetap.

***

Makan malam selalu jadi hal yang Hava hindari, tapi panggilan sang ibu membuatnya harus bangkit dari kasurnya yang nyaman dan menyeret kaki menuruni tangga.

Adiknya—Hesa—sudah duduk manis di kursinya seperti biasa, tersenyum cerah menyambut sang kakak.

"Sini mbak!"

Hava tersenyum simpul, mengambil tempat di samping anak itu.

"Mama masak sop iga, kesukaan kamu."

"Makasih mama."

Dia bisa melihat, semua makanan yang tersaji di meja makan adalah favoritnya. Mulai dari sop iga, ayam rica sampai sate maranggi.

Tapi, nafsu makannya tidak terbit, dia hanya ingin menyelesaikan ini secepatnya dan kembali ke kamar.

"Gimana ujiannya, mbak?"

"Aman aja sih, Ma. Lancar kok sejauh ini."

Wanita itu mengangguk kecil, "Berarti sisa berapa minggu ya sampai ujiannya selesai?"

"Dua minggu."

"Langsung ke Jakarta?"

Hava mengangguk cepat, "Papa udah ngurus transfer nilainya kok."

"Nggak mau liburan di sini dulu? Ayah ngajak liburan ke Malang."

"Nggak usah, Ma. Mau langsung aja," tolaknya buru-buru.

"Kenapa sih buru-buru banget? Jakarta nggak kemana-mana, Va."

Suara itu membuat cengkraman Hava pada sendok mengerat, "Mau adaptasi aja kok ... ayah."

"Bener?"

Dia mengangguk kecil, "Lagian, tiket keretanya udah dibeliin papa. Nggak bisa reschedule."

"Lagian, kenapa mereka nggak jemput ke sini sih? Padahal ini kamu pertama kali ke Jakarta sendirian loh."

Hava menarik napas panjang, berusaha untuk menetralkan gemuruh dalam dadanya.

"Papa ada kerjaan, Tante Tissa juga nggak bisa ninggal Celia. Jadi, nanti dijemput Bang Heidy di stasiun."

"Oh, sudah akrab dengan yang di sana rupanya."

Kursinya didorong pelan, Hava natap mamanya yang mengangkat alis.

"Belom habis loh makanmu."

"Kenyang, Ma. Tadi makan banyak sama Nanda. Aku ke kamar duluan."

Dia bisa mendengar decakan dari sang ayah di belakang punggungnya, sayup-sayup berbisik pelan.

"Hava sejak dekat sama Papanya jadi kurang ajar gitu."

***


nouveau chapitreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang