"Mau minum nggak?"
Hava menggeleng pelan, matanya menatap atap-atap rumah yang tampak kusam dari tempatnya berdiri.
"Butuh sesuatu?"
"Nggak, Abang. Makasih banyak ... aku pengen sendiri."
Mama udah berpesan, jangan pernah ninggalin Hava sendirian. Pikirannya masih sangat rentan, terlebih dia habis ketemu sama manusia yang menyebabkan traumanya.
Penderita PTSD itu cenderung sering menyalahkan diri sendiri dan mudah merasa putus asa juga dirundung takut. Emosi mereka sangat labil dan sering marah tanpa alasan.
Makanya, Heidy sudah menyetok banyak sabar juga melapangkan hati untuk menerima semua perlakuan Hava.
Dia juga sudah membawa obat yang diresepkan oleh dokter seperti antidepresan, anticemas juga beberapa butir untuk mencegah mimpi buruk.
Mama pokoknya udah siaga banget untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Heidy bahkan sampe pegel dengerinnya.
"Va?"
"I'm okay, abang. Temenku juga bakalan dateng kok."
"Kalo gitu, abang tungguin sampe temen kamu dateng."
Heidy rebahan di atas kasur, mainin ponselnya tanpa ngomong apa-apa. Yang penting Hava nggak ditinggal sendirian, kan?
***
Jo nggak nyangka urusannya bakalan berjalan selancar ini.
Setelah puas menghajar suami mantan istrinya—atau sebentar lagi juga akan jadi mantan suami karena Amira udah siap mengajukan gugatan cerai—mereka melapor secara resmi ke kepolisian.
Jo nggak peduli laporannya bakal diproses cepat atau engga, dia udah puas matahin hidung juga beberapa gigi, ditambah memar-memar di seluruh kulit.
Tapi, Amira udah janji kalo pria brengsek itu akan mendekam di penjara untuk waktu yang cukup lama. Wanita itu menyewa pengacara yang cukup punya nama, memastikan kalo hukumannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Makasih udah kooperatif ya, Mir."
"I do it for my daughter, Jo."
Jo mengangguk kecil, mereka melakukan ini memang untuk Hava, untuk memulihkan mental putri mereka.
"Aku ... boleh ketemu Hava?"
"Boleh, tapi mungkin nggak sekarang."
Amira memaklumi, dia menarik napas panjang, menatap mantan suaminya yang masih berdiri di depan mobil.
"Aku pulang duluan kalo gitu, Hesa sendirian di rumah."
"Iya. Hati-hati, ya."
Wanita itu berlalu setelah berpamitan, Jo masih ngeliatin sampe mobilnya ilang ditelan malam sebelum dia pulang ke hotel.
***
"JIANCOOOOOK!"
Heidy berjengit saat Nanda berteriak keras di atas kasur, dia melipir ke dekat jendela, agak trauma dengerin umpatan kasar dari mulut temen adeknya.
"Udah, Nan. Kasian abangku."
"Oh iya, sepurane yo mas. Abisnya aku kesel."
Gadis itu menarik bantal, masih menatap Hava yang tampak tenang di depannya.
"Maaf ya, Va. Maaf banget soalnya kamu harus ngalamin itu sendirian."
"Aku ... udah lega sih, Nan. Kata Papa, dia juga udah di penjara, tinggal nunggu sidang aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
nouveau chapitre
Fanfictionpergi ke Jakarta bagi Hava adalah memulai kembali hidupnya yang sempat ingin diakhiri. Warn: GS.