Trigger Warning: mengandung kekerasan seksual, sexual harassment, rape, pedofil.
read at your own risk.
***
Hava memilih untuk tidak ikut makan malam tadi, dia baru selesai menelepon Nanda pukul sebelas malam soalnya.
Matanya melirik jam digital di meja belajar, malas banget untuk turun, apalagi menyentuh dapur. Tapi, dia butuh makan. Kalau nggak makan, kemungkinan dia nggak bisa tidur karena kelaparan.
Selimutnya disingkap pelan, melompati anak tangga tanpa menimbulkan suara. Hanya lampu ruang tamu dan dapur yang menyala.
Kemungkinan besar penghuni rumah sudah terlelap.
Hava membuka kulkas setelah memanaskan air dan mengambil mie instan dari sana.
"Va, masak mie ya?"
Heidy yakin, suaranya nggak sekeras atau sekecil itu untuk membuat Hava kaget sampai menjatuhkan panci.
"ASTAGA! HAVA!"
Tangannya buru-buru mendorong Hava ke sisi yang tidak basah, genangan air berasap di lantai membuat Heidy panik.
"Hava, you okay? Sorry, abang ngagetin ya?"
Cowok itu masih berusaha membersihkan lantai yang basah oleh air panas.
"Va, kakinya kena?"
"NGGAK!"
"Va?"
"JANGAN MENDEKAT!"
Mata bulat Heidy mengerjap bingung, dia bahkan berada dalam radius satu meter dari tempat Hava duduk.
"Hava ... hey?"
"AAAAAAAAAAAAAA!"
Teriakan Hava membuat Tissa bergegas mengikat rambut dan keluar dari kamar, dia bisa lihat ada bayangan di dapur dan berasumsi kalau anaknya pasti di sana.
"Hava? Sayang? Hei, kenapa?"
Gadis itu sudah terduduk di atas lantai yang dingin, menutup kedua telinganya dengan tangan, sementara nggak jauh dari sana, putra sulungnya mematung dengan lap basah di tangan kanan.
Jo menyusul nggak lama kemudian, menatap Heidy dan Hava bergantian.
"Ke ruang tengah aja yuk, sayang?"
***
Wajah perempuan itu masih tersembunyi di pelukan mami, Heidy sudah menjelaskan meski terbata-bata, masih kaget juga melihat reaksi Hava.
Mami masih memeluknya, mengelus rambut yang basah oleh keringat, berusaha menenangkan badannya yang gemetar.
"Hava, kenapa sayang? Ada apa? Bilang mami, ya? Abang tadi kenapa?"
"Mi, aku nggak ngapa-ngapain!?"
Tissa melotot, membuat Heidy bungkam.
"Va? Kalau kamu nggak cerita, mami bingung mau bantuin kamu kayak gimana, sayang."
"You will help me?"
"Of course, I am."
Pelukannya pelan-pelan terurai, namun kepala gadis itu masih terkulai lemah di bahunya.
"Aku bingung mau cerita gimana ..."
Remasan tangan dari papa membuatnya menoleh, "Pelan-pelan, sayang. Kita punya banyak waktu."
***
Semua bermula dari satu tahun lalu, saat Hava masih kelas sepuluh.
Hari itu, mamanya dinas ke Solo, meninggalkan dia, ayah dan Hesa di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
nouveau chapitre
Fanfictionpergi ke Jakarta bagi Hava adalah memulai kembali hidupnya yang sempat ingin diakhiri. Warn: GS.